"In the silent corridors of affection, an unspoken ardor thrives, unseen yet fervently felt, a whispered longing swallowed in solitude, awaiting the dawn of recognition."
*
Romi menjejakan kaki di depan gerbang sekolah yang sudah lama tidak ia datangi. Terakhir dirinya berada di sana adalah ketika ia masih berada di middle school—setara SMP kalau dalam kurikulum nasional. Dengan obsesi kedua orangtuanya yang ingin ia jadi dokter, Romi mau tak mau pindah ke sebuah sekolah Katolik khusus laki-laki yang berada di Menteng.
Sedikit aneh, pada awalnya. Setelah menjalani kurikulum internasional segala macam, masuk ke dalam sekolah Katolik yang ketat cukup menyiksa. Walau memang, siksaan itu berbuah manis karena kini, Romi terdaftar sebagai mahasiswa kedokteran di Universitas Indonesia.
Berjalan pelan ke dalam sekolah, ia kembali merasakan berbagai pengalaman nostalgia yang satu per satu datang. Ia mengamat-amati seisi sekolah juga anak-anak yang pulang. Seharusnya, cuma ini satu-satunya pintu yang digunakan untuk pulang.
Senyum mengembang ketika Romi melihat sosok yang ia cari. Ia melambaikan tangannya. "Adhisty!"
Perempuan yang namanya dipanggil itu menengok. Matanya membola, kaget luar biasa dengan kehadiran Romi yang tiba-tiba berada di depan gerbang sekolah. Ia seperti mengucapkan salam perpisahan pada teman-temannya sebelum berlarian kecil ke arah Romi.
"Romi? Ngapain di sini?"
Romi terkekeh pelan. Ia mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah buku bersampul hitam tampak di tangannya. "Mau ngasih kamu ini. Aku baru beli, bagus banget. Kamu harus coba baca!"
Wajah Adhisty tampak senang. Ia mengembangkan senyum lebar. "The Givers," bacanya. "Aku belum pernah baca! Wah!"
Melihat raut Adhisty, diam-diam, pipi Romi menghangat. Ada desiran yang tak bisa ia deskripsikan dengan ilmiah apapun ketika bersama perempuan di hadapannya. Senyum Adhisty begitu candu dengan tingkah yang menggemaskan untuk terus dilihat.
"Jadi, kamu ke sini... cuma buat kasih aku ini aja?" tanya Adhisty cepat.
Romi menegang. Ia menelan ludah. Jelas, tidak. Tetapi, tiba-tiba, lidahnya kelu dan mati rasa. Ia tidak sanggup mengucapkan apa-apa.
"Itu..." Romi menunduk. Ia memandangi sepatunya yang berada di atas aspal.
"Kamu bawa mobil?" tanya Adhisty tiba-tiba.
"Hah?"
"Kamu mau coba kafe es krim deket sini?" tanyanya lagi. "Aku yang traktir, soalnya, kamu kan udah bawain aku buku." Adhisty tersenyum lebar. "Tapi, sebentar ya, aku bilang ke supirku dulu kalau kamu yang antar aku."
Adhisty tak membiarkan Romi membuka mulut karena detik berikutnya, ia sudah berlari ke sebuah mobil dan berbicara dengan seorang supir yang menjemputnya di sana sebelum melambaikan tangan pada mobil tersebut yang pergi meninggalkan mereka.
*
Kafe es krim itu tampak begitu tenang. Hanya ada beberapa orang di sana. Di tengah udara yang dingin di bulan Desember, makan es krim bukan sebuah ide yang baik, sebenarnya. Awan kelabu yang menggantung tak cocok dengan dua cup es krim yang tergeletak di meja.
Tetapi, di sanalah Adhisty dan Romi berada. Duduk berhadapan dengan es krim di meja dan buku di tangan.
Acara membaca bersama ini bukan kali pertama mereka lakukan. Setelah pesta di kediaman Adhisty malam itu, setiap kali mereka bertemu di pesta, maka, Adhisty akan ikut menghilang untuk menyusul Romi lalu duduk bersebelahan dengan membaca tanpa kata terucap hingga pesta berakhir.
Ya, Silent reading. Tak ada percakapan yang terjadi. Tak ada kata yang terucap. Mereka hanya duduk bersebelahan dengan buku di tangan.
Tetapi, hanya sekadar itu. Bukan seperti ini. Tidak di tempat umum begini. Apa ini namanya kencan? Is it what they call as 'book date'?
"Kamu baca buku pelajaran? Tumben?" Adhisty menaikan alis mengomentari buku yang dibaca Romi—diktat perkuliahan bergambar sampul jantung.
Romi meringis tipis. "Ujian akhir semester bentar lagi. Aku harus belajar."
Adhisty memajukan bibir. "Nggak seru!" protesnya yang dapat tawa dari Romi. Ia memangku dagu sambil kembali menyuap satu sendok es krim cokelat dari cup-nya. "Kalau anak kedokteran itu, selalu belajar, ya?"
"Entahlah, tapi, masuk kedokteran memang... susah." Romi mengangkat bahu. Ia berdecak. Susah sampai ingin mati.
"Terus, kenapa masuk kedokteran?" tanya Adhisty bingung.
"Isn't it obvious?" Hela napas terdengar. "Orangtuaku pengin aku masuk kedokteran karena mereka juga dokter."
"Jadi... kamu masuk kedokteran karena orangtuamu?" Adhisty bertanya lagi.
Walaupun nadanya terdengar polos, pertanyaan itu terkesan sedikit memojokan dengan penuh intimidasi. Secara tiba-tiba, pertanyaan retoris muncul di hati Romi.
Apa ia melakukan ini karena orangtuanya? Atau kenapa?
"Padahal, buatku, jadi dokter itu, pekerjaan yang hebat, loh!" Adhisty memangku dagu. "Kayak superhero."
"Uhum?"
"Soalnya, kamu menyelamatkan banyak orang!" Adhisty tersenyum manis.
Begitu manis. Bahkan mengalahkan manis yang terasa di ujung lidah saat merasakan eskrim cokelat yang baru saja dicecap Romi beberapa detik lalu.
Adhisty menyandarkan tubuhnya dengan cup esk krim di tangan. Ia mengaduk-aduk es krim stroberi dan cokelat yang sekarang sudah tidak jelas bentuknya.
"Dulu, kakakku sakit-sakitan." Tiba-tiba saja, Adhisty berkata demikian.
"Darma?"
"Iya, Mas Darma," angguk Adhisty. Matanya menerawang ke langit-langit. "Memang kondisi tubuhnya lemah, sih. Dia itu gampang kecapekan, tapi aktifnya luar biasa." Tawa kecil meluncur dari bibirnya saat bercerita soal kakaknya yang satu itu. "Aku nggak tahu dia sakit apa, tapi yang kuingat, dia kejang sampai orangtuaku panik. Setelah itu, Mama udah nangis-nangis, seperti nggak ada harapan. Untungnya, Mas Darma selamat."
Romi memerhatikan mimik wajah Adhisty. Saaat bercerita, wajahnya berubah-ubah, sedih lalu lega.
"Setelah itu, aku selalu menganggap, orang yang bisa jadi dokter itu hebat. Bukan karena pintar, tapi karena pekerjaan mereka itu menyelamatkan orang." Adhisty tersenyum kecil. "Aku juga pengin jadi dokter."
Mata Romi membelalak. "Oh, ya?"
"Sayangnya, setelah sudah umur segini, aku baru tahu kalau jadi dokter susah. Makanya, itu menambah kekagumanku, lima kali lipat!" Perempuan itu membuka tangannya sambil tertawa.
Romi menghembus napas sambil tertawa. Adhisty benar-benar lucu. "Cuma lima?"
"Kalau ganteng, kutambah jadi sepuluh!" Adhisty meletakan cup es krimnya dan membuka tangan lainnya.
Kepala Romi tergeleng perlahan. Ia menyungging senyum miring. "Jadi, kalau aku... berapa?"
"Hah?"
"Kata kamu kan, kamu kagum sama anak-anak kedokteran." Romi melipat tangannya. "Kalau nilai kekagumanmu ke aku, standar? Lima kali lipat? Atau sepuluh kali lipat?"
Adhisty diam sejenak. Ia tidak memalingkan wajah dan malah menatap mata Romi dalam-dalam sebelum mengulas senyum kecil. "Dua puluh."
"Hah?" Romi membelalak. Jawaban Adhisty di luar ekspektasinya. "Apa?"
"Dua puluh," ulang Adhisty. Ia diam sebelum menggeleng. "Bukan, bukan dua puluh. Lima puluh!"
"A-apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Oh So Perfect
RomanceADHYAKSA SERIES 1.5 Buat Romi, Adhisty adalah sesuatu yang berada di luar jangkauannya. Tetapi, kenapa bayangan perempuan itu terus ada dalam pikirannya? [A less than 10k words novella]