Juni 2007

4K 512 40
                                    

"Lost time is never found again, yet it's in those fleeting moments with loved ones that we truly find ourselves."

*

Romi masih berkutat di depan laptopnya ketika suara pintu terbuka terdengar. Tubuhnya yang sedang duduk di mini bar tersenyum tatkala melihat wajah seorang perempuan yang mengenakan pakaian olahraga dengan bersimbah keringat masuk dari pintu.

Wajah perempuan itu tampak kaget. Sedikit kebingungan, juga sedikit bercamput dengan rasa bersalah. Tubuhnya menunduk, membuka ikatan tali sepatunya.

"Habis dari mana, Ti?" tanya Romi. "Aku bangun udah nggak ada."

Romi sebenarnya tak perlu bertanya. Dari pakaiannya yang saja, Romi sudah tahu ke mana Adhisty pergi. 

Cengiran tampak dari wajah perempuan itu. Ia menggaruk belakang lehernya yang tak gatal "Gym," jawabnya. "Tadi pagi, aku mau bangunin kamu, tapi, kamunya masih pulas banget. Aku nggak enak."

Romi mengangguk-angguk perlahan. Ia kembali memusatkan perhatiannya pada laptop. Aksi yang membuat Adhisty menghela napas panjang-panjang.

Awalnya, ketika pulang ke Indonesia, Adhisty pikir, ia akan punya banyak waktu dengan Romi. Ia bahkan sudah membuat daftar tempat kencan yang belum pernah mereka datangi dan sederet aktivitas lainnya.

Sayangnya, mereka masih harus terpisah. Walau raga berada di tempat yang sama, tumpukan dan gunungan pekerjaan memisahkan mereka. Punya Romi, terutama.

Mata Adhisty melihat ke arah jam dinding yang menunjukan pukul setengah sepuluh sebelum menengok ke arah Romi. "Kamu mau pesan sarapan apa? Mau ke restoran di lantai bawah?" tawar Adhisty sambil membuka kulkas. Ia mengambil botol air minum lalu menuangnya di gelas dan menegaknya hingga tandas. "Atau mau bikin toast dan makan ringan aja terus kita jalan nanti siang?"

Romi menggeleng. "Telepon aja, suruh antar ke sini." Ia berucap sambil tidak memalingkan wajah dari layar.

Sontak, Adhisty menghela napas. Ia menghentak kaki ke arah telepon. Tangannya menelepon kombinasi nomor yang sudah dihapalnya. Mulutnya menyebut dua menu yang juga sudah biasa ia pesan sebelum kemudian mematikan telepon.

Ketika berbalik, ia masih melihat Romi dengan dahi berkerut pada layar laptop.

"Sayang, kamu kerja apa, sih?" Adhisty berucap manja. Ia berjalan ke arah kekasihnya lalu dengan sengaja memeluk sambil bergelayut di punggung Romi. "Sibuk banget deh, perasaan."

Romi masih tak menjawab. Tangannya masih mengetik.

"Romi, kamu lagi ngapain...?" tanya Adhisdty lagi dengan nada manja yang dibuat-buat.

Romi mengambil napas. "Lagi bikin kajian jurnal, Ti. Bentar, ah. Jangan gelayutan gini. Berat." Tangan Romi menepis tubuh kekasihnya untuk melepas diri.

Sejenak, Adhisty memajukan bibir bawahnya. Ia mendudukan diri di kursi yang terletak berhadapan dengan Romi. Rasanya, ingin sekali Adhisty untuk protes akan kesibukan Romi yang tak berkesudahan itu.

Ketika pertama kali pulang dari London, Romi sibuk dengan persiapan ujian seleksi spesialisnya. Lalu sekarang, ketika sudah menjadi residen dan mengenyam pendidikan dokter spesialis, ia sibuk setengah mati dengan segala kertas yang Adhisty tak tahu bentukannya.

Bunyi bel membuat Adhisty tersenyum semringah. Makanan pagi mereka akhirnya datang. Setidaknya, ia bisa sedikit berpikir jernih dengan perut kenyang. Membuka pintu, ia menemukan petugas pengantar yang menyodorkan dua plastik beraroma menggiurkan.

Adhisty meletakannya di meja makan. Ia mengambil dua sterofoam putih dari dalam sana.

"Nasi goreng seafood punya kamu, mie goreng punya aku!" Adhisty berkata sambil menyodorkan kotak makanan tersebut.

Miss Oh So PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang