Januari 2010

3.9K 485 53
                                    

"In the realm of dreams, I dance with you, painting our world with hues of happiness and whispers of love, where every moment is a symphony of blissful serenity."

*

Bunyi debur ombak yang menghantam karang terdengar sayup-sayup seraya janji suci pernikahan dibacakan di depan altar. Romi ada di sana. Tidak, ia tidak membaca janji suci pernikahan. Romi duduk di deretan tamu, menjadi saksi sepasang manusia yang tak lain dan tak bukan adalah Darma dan Salsa saling bertukar cincin. Senyumnya mengembang tatkala melihat seorang anak kecil yang ikut berdiri di depan altar.

Sejak Salsa hadir di hidup Darma, Romi juga jadi sering bermain bersama anak lelaki berusia tujuh tahun yang bernama Nolan itu. Pasalnya, Adhisty—yang terobsesi dengan anak-anak—suka sekali mengajak Nolan jalan-jalan atau bermain bersama.

Pesta pernikahan Salsa dan Dama dilakukan dua kali. Yang pertama di sebuah vila di Bali dan menyusul nantinya resepsi lain di Jakarta untuk tamu-tamu perusahaan. Di Bali sendiri tak banyak orang yang diundang. Hanya keluarga dan teman dekat. Katanya, mereka ingin punya acara yang bisa dikenang sebelum nanti pekerjaannya hanya jadi robot salaman.

Suasana haru tampak nyata ketika Darma mencium Salsa. Romi menahan napas. Matanya melirik ke arah Adhisty yang mencengkram tangannya dan ikut menitikan air mata diam-diam.

Dengan sigap, Romi merogoh kantong. Ia mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya sebelum menyodorkannya pada Adhisty. "Jangan nangis, kan ini bahagia, Ti," bisik Romi.

"Aku ini nangis bahagia, tau!" tukas Adhisty memukul pelan lengan Romi sambil mengambil sapu tangan itu.

Romi tersenyum simpul. Ia tak ingin mendebat kekasihnya.

Pesta berjalan dengan hangat dan meriah. Walau hanya makan malam, namun, rasanya benar-benar intim. Rona bahagia tampak dari Darma dan Salsa.

Bahagia itu. Apa bisa suatu hari Romi memiliki bahagia yang sama. Bahagia dengan Adhisty, begitu?

"Bengong aja, Rom?" tegur Adhisty yang tiba-tiba hadir di sebelahnya. Sejak tadi, Adhisty lumayan sibuk mondar-mandir sehingga baru bisa duduk di sebelah Romi.

Romi menggelengkan kepala. Ia memandang Darma dan Salsa. "They look so happy."

Pandangan Adhisty berpindah ke arah kakaknya yang baru menikah. Ia tersenyum kecil. "They are, Rom. Kamu bayangin aja, gimana sulitnya Mas Darma selama ini." Ia mendengkus kecil. "Dengan cewek-cewek penjilat di sekeliling dia, Mas Darma udah dikecewakan berkali-kali sampai mati rasa, lalu datang Mbak Salsa."

Romi diam. Menunggu Adhisty melanjutkan.

"Mbak Salsa juga bukan cewek yang sempurna sih. Tapi, ngelihat mereka bareng itu, rasanya, mereka sempurna. Kamu ngerti nggak sih, Rom? Dua orang yang nggak sempurna, pas disejajarkan, malah jadi sempurna. Melengkapi satu sama lain." Adhisty menjelaskan dengan sedikit kebingungan.

Romi mendesah keras. Ia mengulurkan tangan untuk merangkul kekasihnya. "Ngerti kok, Sayang. Ngerti."

Adhisty mencebik. Ia tidak tahu Romi sedang serius atau menyindir.

"Ti, nanti, kita bisa kayak gitu, nggak ya?" tanya Romi menerawang.

"Hm? Kayak gitu apa?"

"Bahagia kayak gitu." Romi berucap lagi.

Dahi Adhisty berkerut. Ia menengok ke arah kekasihnya. "Kenapa nggak bisa?"

"Nggak, bukan nggak bisa. Aku cuma nanya." Romi menghela napas. "Aku berharap bisa bahagia seperti Darma dan Mbak Salsa, Ti. Bahagia bareng kamu."

"We surely will, Rom. Soon. Setelah kamu selesai sama program spesialis kamu, mungkin?" Adhisty tertawa. "Aku mah, udah siap-siap aja. Tapi, kamu yang kayaknya masih banyak hutang kerjaan."

Romi meringis kecil. Ia yang memang masih punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan terlebih dahulu.

"Maaf ya bikin kamu nunggu lama," ucap Romi lirih. "Temen-temenmu yang pacaranya lebih belakangan dari kita malah udah nikah duluan."

Kepala Adhisty menggeleng. Ia menggenggam tangan Romi erat-erat. "Pernikahan itu bukan lomba, Rom. Pernikahan itu komitmen."

Romi menengok. Menatap Adhisty yang bernada serius.

"Komitmen antara kita berdua, bukan orang lain." Adhisty berkata lagi. "Kamu tadi denger kan, Mas Darma ngucapin janji ke Mbak Salsa?"

Dagu Romi terangguk. Semua orang mendengarnya.

"Itu janji yang harus kamu penuhi sampai mati, Rom. Komitmenmu sama aku dan Tuhan." Adhisty berucap lagi. "Lagipula, menikah bukan cuma tentang pesta, menikah itu artinya kamu siap seratus persen hidup bareng aku, ngehadapin tantrumnya aku, marah-marahnya aku, tapi lebih dari itu, kamu harus siap mentoleransi apapun yang aku lakukan. Begitupula sebaliknya."

Romi terhenyak. Ia memandang Adhisty lekat-lekat. Sejak kapan gadis yang dulu tampak begitu kanak-kanak ini kini jadi bertumbuh dewasa?

"Tapi, aku percaya kita bakalan hidup bahagia." Adhisty mengangguk mantap. "Kita bakalan berdebat soal deterjen dan sabun cuci piring, kita bakalan sebelahan di bawah selimut sambil nonton DVD—semoga kamu nggak pacaran sama laptop—lalu, kita bakalan punya rumah yang besar karena aku mau punya banyak anak biar ramai."

" Memangnya kamu nggak takut punya anak banyak-banyak?"

Kepala Adhisty menggeleng. "Nggak! Aku suka anak-anak. Nanti mau punya lima, ah!"

Romi tertawa. Omongan Adhisty kini tampak seperti kanak-kanak. Padahal tadi, ia begitu dewasa. "Kenapa lima?"

"Biar rame!" Adhisty berkata cepat. "Lihat tuh! Aku sama sepupu-sepupuku. Seru, kan? Kita berenam, malah. Apa enam aja, ya?"

Kepala Romi menggeleng tak habis pikir. Ia merangkul kekasihnya. "Terserah kamu aja deh, Ti. Aku ikut. Soalnya, aku cuma modal dengkul buat bikinnya."

Adhisty langsung menyikut Romi pelan. Ia mendesis. "Enak aja! Kamu modal yang lain!"

"Apa?"

"Kerja biar bisa ngehidupin kita dengan layak."

"Memangnya aku kurang gila kerja, ya?" ejek Romi. "Nanti, aku dimarahin lagi gara-ggara kebanyakan kerja."

Wajah Adhisty langsung memerah. Ia berdiri. "Nggak tahu, ah! Sebel sama Romi," ucapnya sambil meninggalkan kekasihnya.

Mata Romi membeliak. Kaget setengah mati. Ia meringis kecil sambil berjalan menyusul kekasihnya. "Ti, tungguin, Ti. Adhisty, mah! Jangan marah dong. Ya, ya, ya?"

Miss Oh So PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang