Sembilan

20 6 2
                                    

Jadi, beginilah akhirnya. Seminggu setelah kejadian itu aku dekat dan berteman dengan Jongdae. Kuhilangkan rasa gengsiku ketika semua orang mulai mencibirku tentang kedekatanku dengannya. Aku juga sudah berteman dengan Jongin lagi. Dia cukup marah padaku karena aku mengancam akan melaporkan kelakuan Jongin ke polisi. Ya, walaupun ada campur tanganku juga disitu. Karena ancamanku, Jongin lebih memilih pindah ke sekolah lain, sementara Yixing masih berteman denganku dan Jongdae.

Pertemananku dengan Jongdae memang agak aneh. Aku si pihak aktif, sementara Jongdae pasif. Biasanya dia akan banyak omong dengan Yixing, itupun tentang pekerjaan paruh waktu ataupun kota kelahiran Yixing, China. Dari percakapan mereka, aku lebih banyak tahu tentang Jongdae. Dia menyukai China, bahkan rela belajar Bahasa Mandarin secara otodidak demi pergi ke kota bambu itu. Jongdae juga menyukai negara Thailand, dan aku baru tahu kalau Jongdae doyan nonton serial Boys Love seperti KinnPorsche ataupun 2Gether.

Aku juga tahu dimana tempat Jongdae nongkrong di sekolah saat istirahat. Ternyata, dia suka di rooftop, tapi anehnya Jongdae tidak pernah berdiam diri di terik matahari. Katanya, dia pusing jika kena matahari terlalu lama.

"Jongdae, kau gila, ha?!" aku mengambil benda terlarang dari mulut Jongdae.

"Cih!" dia mengambil kembali benda itu dan menyalakan api.

"Kau merokok?! Padahal paru-parumu—."

"Autoimun," jawabnya singkat.

"Autoimun?" tanyaku.

"Iya. Aku kena autoimun sejak kecil. Lupus namanya. Lalu merokok ini, karena traumaku dulu. Ayahku meninggal saat menyelamatkanku saat rumah kami kebakaran. Aku stress, jadi rokok ini yang membantuku. Makanya aku sering keluar-masuk Rumah Sakit, hahaha..."

"Kau tidak boleh merokok kalau punya penyakit! Aku tahu sedikit tentang penyakit lupus. Itu mengerikan!" bentakku tegas, "kau tidak boleh mati muda, Jongdae!"

"Iya... iya... cerewet. Ini, kerjakan."

Jongdae memberikan beberapa soal untuk kujawab. Ya, selain menjadi teman, dia menjadi guruku. Ayah memberikan beberapa uang untuknya, cukuplah untuk makan enak seminggu, begitu katanya.

"Aish, sulit! Kamu harusnya tahu, aku lemah matematika!" keluhku padanya.

"Hhmm... aku tahu. Makanya aku memberikan seluruh soal Matematika," jawab Jongdae santai. Dia endekat ke arahku, kemudian menjelaskan semua cara serta rumus.

"Kau harus memakai rumus pertama untuk menghitung. Setelah ketemu pakai rumus kedua."

Jongdae memberikan les padaku setiap hari. Sesekali aku melihat wajah manis itu saat dia menjelaskan. Serius, saat tanpa sengaja dia tersenyum, aku ikut tersenyum juga. Ternyata, tak rugi aku berteman dengan Jongdae. Kami menjadi menerapkan simbiosis mutualisme, aku beruntung karena nilaiku meningkat, Jongdae beruntung karena ekonominya mulai membaik.

"Begitu. Paham? Setelah itu lanjutkan ke soal lain," katanya setelah memberiku contoh. Aku mengangguk mantap.

"Kudengar dari Suho hyung kalau Ayahmu meminta dia untuk kerja di perusahaan Ayahmu. Itu terlalu berlebihan, Baek," ujarnya.

"Tidak. Aku malah senang melihat Suho hyung bekerja bersama Ayahku. Ayahku sangat terbantu dengannya. Suho hyung sangat rajin dan teliti! Ayahku akan mengangkatnya menjadi sekretaris keluarga kami dengan segera," balasku semangat.

"Terlalu," katanya dengan senyum. Tuhan, betapa indahnya makhluk ciptaan-Mu ini. Seandainya aku perempuan, aku pasti akan langsung mengajaknya berkencan.

***

3 bulan berlalu. Kami sudah menjalani ulangan. Hasilnya dibagikan hari ini. Aku sangat takut, karena jika nilaiku tidak naik, seluruh mainanku di rumah akan disita. Paling parahnya, aku tidak boleh berteman dengan Jongdae lagi.

The ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang