Lima

32 9 3
                                    

Seminggu setelah pemakaman Jinho, tampak semua teman-temanku mulai menjauhiku, tapi tidak dengan Jongin dan Yixing. Iyalah, mereka adalah sahabatku. Aku selalu memberikan apa yang mereka inginkan, jadi jika mereka berkhianat padaku, tentu aku akan memberikan 'kejutan' pada mereka. Ditambah, kedua orang tua mereka adalah bawahan Ayahku, tentu saja mereka tidak berani berbuat macam-macam padaku.

Setiap aku lewat, orang-orang langsung menjauh, memberikan space kosong sambil menatapku bahkan sinis. Bisikan-bisikan tak jelas terdengar di telingaku, seperti ada rahasia umum di sekolah tentangku. Tentu saja hal ini membuatku tak betah. Ingin rasanya aku marahi mereka satu-satu, agar mereka sadar dengan posisi. Bahkan pagi ini, aku dikeluarkan dari grup kelas?! Apa-apaan ini? Aku tidak melakukan suatu kesalahan!

Apa ini semua karena Jongdae?

Oke, kalau itu mau Jongdae. Aku akan meladeninya kali ini, dengan tanganku sendiri. Aku meminta supir guna mengantarkanku ke gang rumah Jongdae, berjalan masuk ke gang tersebut, kemudian mengajak Jongdae untuk berangkat sekolah bersama. Tak lupa aku membelikannya sarapan, tentu sudah kucampur obat tidur. Aku akan meninggalkan di luar kota, agar dia tidak bisa pulang ke rumah.

Ini masih tahap mudah, ya. Belum menengah hingga sulit.

"Hyung, aku berangkat!" aku bisa mendengar suara menggelegar Jongdae dari luar gang. Sesaat setelah itu, seorang Bapak tua keluar dari rumah.

"Jongdae! Mau sekolah?" tanya bapak tua itu ramah.

"Iya, Ahjussi! Aku berangkat dulu!"

Buset, kenceng amat suara dia. Bahkan aku bisa mendengar seorang bayi menangis setelah mendengar suara Jongdae. Namun, suara itu tak menghilangkan niatku untuk mengerjainya. Kutinggal sarapan yang kusiapkan di luar gang, dekat sekali dengan rumah Jongdae. Sengaja, karena aku tidak ingin terlihat oleh Kakaknya. Bisa bahaya jika dia tahu aku sedang mengerjai Jongdae.

Dia melihat bekalku! Yes! Tinggal sedikit lagi... target sudah melihat umpan lezat.

Perlahan, dia mengambil bekal itu, menatap sekilas, kemudian membuangnya.

Ya.

BEKALKU DIBUANG!

"Yak, Jongdae!" teriakku kencang. Dia hanya melihatku sekilas dan pergi.

"Yak! sialan berhenti kau disana!" teriakku lagi. Tapi dia tidak peduli.

"Hei, miskin!" dia berhenti. Aku menyusulnya cepat. Sungguh, dia adalah pejalan kaki yang cepat! Kakiku sampai gemetaran hanya karena mengikuti langkahnya.

"Kenapa kau membuang daging yang kuberikan padamu?!"

"Karena,.." dia mendekatkan kepalanya ke telingaku, "aku tidak mau menerima makanan dari tangan kotor sepertimu. Aku bukan anjing yang mau menerima segalanya dari majikan."

Aku terdiam. Kulihat Jongdae berjalan menjauh dariku, tak peduli dengan tubuhku yang kaku karena perkataannya. Entah kenapa, ada sedikit rasa menyesal telah memberikan makananku.

Ha?! Tunggu...

Aku menyesal?! Kok?!

***

Pelajaran hari ini berlangsung biasa, tidak ada yang spesial. Guru juga menjelaskan dengan biasa, tidak ada eksperimen ataupun hal lain yang membuat murid-murid antusias. Angka dan penjabaran seperti matematika ini membuat otakku pecah! Jadi aku berniat mengisengi salah satu murid dengan mengikat band* dengan dasiku yang sudah kulepas.

Aksi itu hampir berhasil sebelum sebuah pulpen dengan ujung runcing mendarat tepat di pelipisku. Sungguh, ini sangat sakit! Karena ujung pulpen itu benar-benar mengenaiku, bahkan meinggalkan titik kecil berwarna hitam seperti tahi lalat. Siapa pelakunya?!

The ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang