15. Dia Siapa?

589 51 37
                                    

•••
Khaotung menggeliat di atas tempat tidurnya. Dia baru saja bangun dan melihat jam menunjukkan pukul setengah sembilan pagi, yang artinya sudah di pastikan dia tidak akan mengambil kelas paginya lagi. Demamnya menurun, tapi sakit di kepalanya tak kunjung mereda, badannya pun masih terasa nyeri nyeri.

Khaotung melihat sepiring roti tawar dengan selai coklat kesukaannya juga segelas susu sapi di nakas yang terdapat di sebelah tempat tidurnya. Khaotung sudah dapat memastikan siapa yang membuatkan sarapan untuknya, siapa lagi jika bukan dosen yang sebentar lagi menjadi kesayangannya.

Setelah pergi ke kamar mandi dan mengganti pakaiannya, Khaotung dengan segera melahap roti beserta susu sapi yang terletak di nakas tadi.

Khaotung terhenti di gigitan pertama. Ini aneh menurutnya, dia sudah sering di buatkan sarapan seperti ini oleh First, tapi kali ini rasanya berbeda padahal sepertinya roti dan selai itu dari merk sama yang selalu mereka makan.

"Apa karena dia buatin sarapannya kepagian jadi rasanya beda ?" Pikir Khaotung.

Tak ingin ambil pusing lagi, dia segera menghabiskannya dan berencana untuk menemui Keena. Semalaman dia khawatir setelah mendengar bahwa Keena sedang sakit. Orang dewasa seperti Khaotung saja mengeluh terus menerus di beri sakit seperti ini, apalagi Keena yang notabenenya masih bayi.

•••
"Gue lupa kalo First lagi ngajar pagi ini, dia kan ada jadwal di kelas atas. Gue temuin Keena di rumah ibu aja lah kalo gitu, gak bisa gue diem aja setelah tau Keena gue sakit," Khaotung bergegas kembali ke kamarnya untuk membawa jaket dan kunci motornya.

Anehnya saat dia menuruni anak tangga, suara tangisan Keena terdengar sampai ke telinganya. Khaotung mempercepat langkahnya seraya bergelut dengan pertanyaan di kepalanya.

Khaotung mengerutkan keningnya saat melihat seorang wanita berparas cantik berkulit putih dengan rambut tergerai tengah menggendong Keena, sepertinya wanita itu sedang mencoba menenangkan Keena yang tengah menangis.

Baru saja Khaotung akan membuka suaranya, dia kembali dibingungkan dengan First yang masih dengan stelan rumahannya dan tidak pergi bekerja.

"Mau kemana?" Tanya First.

"Dia siapa?" Bukannya menjawab pertanyaan dari First, Khaotung malah balik bertanya.

"Dia Namtan, rekan kerja saya di kampus sebelumnya," perkenalan dari First.

Namtan, wanita itu, hanya tersenyum menanggapinya. Keena masih menangis di gendongannya, jadi dia tidak bisa terlalu fokus pada apa yang ada di sekitarnya.

Khaotung kembali ingin membuka suaranya berniat untuk bertanya mengapa First tidak pergi mengajar, jika alasannya hanya karena Keena, ada Khaotung yang siap menjaga putranya, tapi Khaotung mengurungkan niatnya karena pergerakan First yang tiba-tiba mengambil alih Keena ke gendongannya.

"Demamnya makin tinggi deh kayaknya, pak," ujar Namtan yang sama khawatirnya seperti First.

First mengangguk setuju dengan pernyataan wanita itu, di tambah lagi tangisan Keena yang tak kunjung mereda. "Pasti sakit banget ya sayang?"

Khaotung tidak bisa hanya berdiam diri di sana menyaksikan Keena kesayangannya menangis menahan rasa sakitnya. Tanpa izin terlebih dahulu, Khaotung mengambil alih Keena kedalam gendongannya. First ingin mencegahnya, tapi tidak bisa.

"Jangan nangis dong, Keen, transfer aja semua rasa sakit lo ke gue. Lebih baik gue yang sakit daripada lo," Khaotung dengan hati-hati menimang-nimang tubuh Keena berharap tangisan bayi itu sedikitnya mereda.

Namtan memperhatikan Khaotung dan First bergantian, dia tidak tahu ada orang lain di rumah itu selain First dan putranya. Namtan ingin sekali bertanya, tapi waktunya belum tepat.

Mr. Kanaphan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang