24. Undangan.

456 55 21
                                    

•••
Tatapan Khaotung tertuju pada dosen yang sedang menerangkan materi, sementara pikirannya tertuju pada First yang kini sudah bukan lagi miliknya. Ini sudah hari ke-7 Khaotung tinggal bersama ibunya. 

Kedua keluarga itu sudah bisa menerima kabar perpisahan anak-anaknya walaupun omset perusahaan keduanya sedang melesat tinggi. Tapi bukan masalah, hubungan Khaotung dan First juga karena paksaan dari mereka, jadi mereka harus bisa menerima kenyataan jika putra mereka berpisah.

Ayah First memberinya tanggung jawab sebagai CFO atau direktur keuangan di perusahaannya dan First diberi kebebasan untuk bekerja di rumah karena alasan tertentu.

Sementara Khaotung, ia kembali menjalani kehidupan mahasiswa nya walaupun perasannya sedikit berbeda. Apa dia harus kembali dengan Perth seperti dulu?

Book yang menyadari perbedaan sikap Khaotung segera merangkul bahu temannya itu. "Lo kenapa?" Tanyanya yang sebenarnya dia tahu masalah temannya ini.

Khaotung menggelengkan kepalanya dan mengeluarkan ponsel di saku celananya hanya sekedar melihat jam saja. "Gue duluan, Book."

"Mau kemana? Lo lagi gak baik-baik aja, mending kayak biasa," ajak Book mencoba menghiburnya.

Kekehan terdengar dari mulut Khaotung, "alay banget sih lo, gue aman, tenang aja."

Dari belakang, tangan lain merangkul bahu Khaotung. Yang di rangkul segera menoleh dan tersenyum. Kabar perpisahan Khaotung dengan First sudah di ketahui hampir seluruh teman dekat Khaotung.

"Ngafe bareng gue mau?" Tanya Perth, orang yang merangkul Khaotung.

"Ini lagi, gue pengen sendiri dulu," tolak Khaotung.

Perth tidak menerima penolakan Khaotung, walaupun status keduanya sudah tidak lagi bersama, bukan berarti Perth harus menjauhinya.

"Ikut gue aja, ada yang mau gue omongin," ajakan Perth sedikit memaksa, dan mau tak mau Khaotung mengikuti nya.

"Curiga tu anak dua balikan lagi," gumam Book.

•••
Ini Kafe yang biasa Perth maupun Khaotung kunjungi saat keduanya masih menjalin hubungan. Bukan mengungkit masa lalu, Perth hanya ingin sedikit bernostalgia sembari ada hal yang ingin dia bicarakan pada Khaotung. Cukup serius.

"Sejak kapan lo suka moccacino ?" Tanya Khaotung, pasalnya Perth sangat menghindari minuman berbau kopi.

"Semenjak lo mutusin hubungan sama gue. Dan sekarang kayaknya gue suka kopi," jawabnya.

"Kapan terakhir lo ketemu sama Pak Kana?" Perth membuka topik pembicaraan yang sangat Khaotung hindari, tapi memang itu yang ingin Perth bicarakan padanya.

"Kenapa lo nanya kayak gitu?" Bukannya menjawab, Khaotung malah balik bertanya.

"Penasaran aja sih, soalnya setelah lo pisah sama gue kayaknya biasa aja, tapi setelah pisah sama Pak Kana kayaknya lo galau banget," Perth hanya bercanda, dia tidak serius mengatakannya.

Khaotung menatap Perth dengan serius, dia kurang menyukai topik pembicaraan ini. Perth terkekeh, Khaotung sangat serius.

"Gue becanda." Perth mengeluarkan sebuah kartu undangan lamaran dari dalam tasnya dan meletakkannya di meja.

Desain undangan itu terlihat elegan dengan tema hitam putih, anehnya tidak ada nama pasangan yang tercantum di sana. Mungkin saja Perth berniat melamar seseorang dan meminta saran kepada Khaotung tentang desain kartu undangan? Pikirnya.

"Gue ketemu Pak Kana dua hari lalu dan gue lupa dia nitipin undangan ini buat lo, makannya gue nanya kapan terakhir kali lo ketemu sama dia," Perth berterus-terang.

Mendengar apa yang baru saja Perth katakan membuat hati Khaotung sedikit tergores. Ternyata tebakannya salah, justru itu undangan dari First untuknya. Khaotung tidak bisa mengatakan apapun tentang undangan itu, dia tidak pernah menyangka bahwa First bisa melupakannya semudah dan secepat itu.

"Gue gak bermaksud nyakitin lo, tapi gue dapet tanggungjawab buat ngasih ini ke lo," jelas Perth.

"Aman, Perth, makasih lo udah nyampein kabar bahagia ini ke gue. First lamaran? Sama siapa? Di sini gak di cantumin soalnya," tanya Khaotung, walaupun dia sepertinya tahu siapa yang akan First lamar.

Perth menggelengkan kepalanya. Sebenernya dia tahu siapa yang akan First lamar, tapi dia menyembunyikannya didepan Khaotung. "Lo mau dateng ?"

"Gue pikir-pikir lagi deh. Di sini bilang besok malem kan? Besok malem gue gak bisa, tapi liat besok deh." Khaotung berbohong, dia hanya tidak siap melihat First menyerahkan hatinya untuk orang lain.

Dan Perth sangat memahami itu. "Kalo lo mau dateng, besok gue jemput. Tapi kalo lo gak siap jangan maksain diri, gue temenin lo besok kemanapun lo pergi."

"Makasih atas perhatian lo, Perth, gue bukan pecundang yang lari dari masalah. First berhak bahagia, apalagi Keena. Gue usahain buat dateng sekalian gue pengen ketemu Keena, gue udah kangen banget sama dia," elak Khaotung.

"Lo siap?" Tanya Perth memastikan.

Khaotung mengangguk sambil terkekeh. "Lo kayak meragukan gue banget. Lagi pula yang sakit hati gue kan bukan lo?"

"Oke gue minta maaf, gue jemput lo besok malem. Tapi gue boleh minta satu hal gak sama lo?"

Khaotung menaikan satu alisnya bingung, "apa?"

"Lo jangan terlalu berpenampilan menarik ya, gue takut kalo lo jadi pusat perhatian."

Khaotung kira apa yang Perth minta. "Perth, tolong deh."

Perth hanya terkekeh menanggapinya, itu hanya topik pengalihan saja agar Khaotung tidak terlalu memikirkannya.

•••
Waktu menunjukkan pukul 8.50, Khaotung merebahkan dirinya di tempat tidur seraya memandang kartu undangan yang Perth berikan siang tadi. Khaotung kembali menimang-nimang keputusannya untuk pergi atau tidak. Di sisi lain, dia belum siap melihat First bersama orang lain.

Khaotung menghela napasnya, dia enggan mengalihkan pandangannya dari kartu undangan itu. "Gue seneng kalo Keena punya ibu baru."

"Tapi jauh di lubuk hati gue, lo masih orang yang gue mau. Gue siap buat liat Keena bahagia sama ibu barunya, tapi gue gak siap buat liat lo bahagia sama orang lain selain gue," lanjutnya.

Khaotung tidak ingin egois seperti ini, tapi perasannya benar-benar tidak bisa di bohongi. Dia marah pada First, tentu saja, mengapa bukan dia sendiri yang memberikan undangan ini langsung padanya bukan melalui orang lain.

"Harus secepet ini, First?" Dia bangkit dari tempat tidurnya dan segera meletakkan kartu undangan itu kedalam laci meja nakasnya. Tapi hal lain yang membuatnya sakit hati malah terlihat kembali. Dia menemukan jam tangan yang First berikan di hari ulangtahunnya waktu itu, dan itu pemberian pertama First yang sangat berharga untuknya.

"Kenapa sih, First?" Khaotung segera menutup laci meja nakasnya, kemudian dia kembali merebahkan dirinya di tempat tidur dan mencoba melupakan semuanya walaupun hasilnya nihil.

"Gue harap gue siap buat ketemu dan liat lo ngelamar Namtan, First," katanya kemudian perlahan memejamkan matanya. Dia tidak ingin berlarut-larut dalam sakit hatinya, biarkan hari ini dia pulih walau hanya sekejap.

•••
To be continued !

MAAPIN BARUU UP😭

Aku baru selesai UAS hehe, jadi baru ada waktu buat nulis lagi😔🙏

Mr. Kanaphan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang