Eternal Love Beyond the Pages of the Past

Chapter 3. Onderafdeeling Noord Midden Timor I

Bunyi tiupan terompet dan satu tembakan terdengar nyaring di alun-alun kota, membuat orang-orang yang awalnya sedang melakukan aktivitas mereka berlari kesana-kemari mencari tempat untuk berlindung, sementara vania yang tidak tau apa yang sedang terjadi menggenggam erat buku misterius lalu ikut berlari entah kemana.

“disini sudah penuh, sana cari tempat lain,” usir seorang wanita muda ketika vania hendak masuk bersembunyi di sebuah gedung kecil.

Hampir lima kali vania mencoba bersembunyi tetap saja dia di usir seperti sebelumnya. Tinggallah vania dengan beberapa orang yang tidak mendapat tempat bersembunyi di alun-alun kota itu, semua orang yang masih belum mendapat tempat persembunyian berdiri dengan ketakutan ketika rombongan serdadu bersenjata itu tiba di alun-alun kota.

Detik berikutnya, para serdadu menangkap orang-orang yang tidak mendapat tempat persembunyian, mengikat tangan mereka lalu membawa mereka pergi. Vania yang panik tangannya diikat berusaha untuk tetap mengambil buku yang terjatuh ketika tangannya diikat, lalu tetap berjalan sesuai instruksi yang diberikan serdadu-serdadu itu. Kumpulan orang yang dibawa tadi, di masukan ke dalam sebuah tahanan yang cukup besar untuk menampung puluhan orang.

Hari ini adalah hari yang paling mengerikan sepanjang sejarah hidup vania. Tentu saja selama ini vania tidak pernah berpikir bahwa dia akan terdampar di sebuah tempat yang tidak pernah vania tahu keberadaannya lalu berujung dengan tidur di dalam sel mengerikan yang dipenuhi tangisan dan rintihan orang-orang yang sepertinya ketakutan. Vania juga ikut menangis dalam diam ketika meratapi hidupnya yang semakin aneh dan melelahkan. Malam itu vania tidur di dinginnya sel tahanan, dengan harapan ketika bangun semua ini hanyalah mimpi.

🪄🪄🪄

Seorang gadis berusia sembilan belas tahun tengah menyimak penjelasan yang diberikan gurunya sembari mencatat poin-poin yang dirasanya penting, namun dia sedang gelisah memikirkan sahabatnya yang menghilang sejak kemarin. Setelah selesai kelas, gadis muda itu bergegas menghampiri seorang sahabatnya yang juga kelihatan gelisah.

“Lino, apakah dia sudah pulang?” tanya gadis muda itu ketika berhadapan dengan seorang pria muda yang adalah sahabatnya.

“Aku sudah ke rumahnya, namun ibunya bertanya apakah Jeriko sedang bersama kita. Aku terpaksa menjawab iya, aku takut ibunya akan khawatir jika tahu dia tidak bersama kita.” Jawab lino lalu perlahan duduk di atas rerumputan hijau.

“Hey wisya , apakah kalian berdua mencari si seniman yang jelek dan kurus?” tanya seorang wanita yang sedang berjalan mendekat kearah mereka berdua.
 

Wisya tersenyum sinis lalu berdiri  ketika melihat wanita itu berjalan mendekat ke arah mereka dengan melontarkan pertanyaan sekaligus hinaan, entah tujuannya bertanya memang untuk memberikan informasi dengan niat menolong ataukah hanya untuk mau mengejek lalu berlalu pergi seperti hantu di siang hari yang terik ini.

“Kenapa bertanya?” tanya wisya memicingkan matanya lalu menyilangkan kedua tangan di depan dadanya.

“Hanya penasaran, apakah kali ini dia bisa kembali ataukah hanya namanya saja yang kembali. Atau mungkin-”

“Jaga omonganmu Ernesta,” sambar wisya memotong perkataan gadis muda bernama ernesta yang tengah tersenyum bahagia ketika melihat kemarahan wisya yang terlihat seperti mainan untuknya.

Lino mengelus lembut pundak wisya dengan niat meredakan amarahnya.

“Jangan cepat terpancing, mungkin dia sengaja membuatmu marah. Ayo pergi,” ajak lino menggandeng tangan wisya untuk segera pergi dari tempat itu.

“Kalian tidak ingin mendengarkan perkataanku sampai selesai? Baiklah kalau begitu, tapi aku yakin informasiku ini akan sangat membantu kalian menemukan anak malang itu. Tapi kelihatannya kalian tidak membutuhkannya jadi ya sudahlah,” ujar ernesta seraya memainkan rambut hitam pekat yang dibiarkan terurai panjang.