Prolog

24 3 0
                                    

"Aish sial,  berat badan gue naik dua kilo!" Suara teriakan seorang gadis yang kesal melihat angka di timbangan yang menunjukan angka 47 kg.

"Lu makan apa aja sampai bisa naik dua kilo, Nia? Gila sih," celetuk perempuan muda yang tengah mengoleskan pelembab bibir di bibirnya dengan rambut yang sedikit berantakan.

"berat badan gue ga boleh naik," ujar Vania lalu dengan cepat melakukan plang.

Gadis yang tengah mengunyah permen karet mengeluarkan celetukannya, "Cuma dua kilo, jangan lebay deh. Lagipula ga kelihatan kok, tenang aja. "

Ketiga gadis remaja yang duduk di bangku sekolah menengah atas ini sedang berada di ruang  uks karena ingin membolos pelajaran sejarah yang selalu membosankan, menurut mereka.

---

"Berdiri!" Bentakan pria paruh baya yang tengah memegang sebuah tongkat kayu menatap kesal ke arah putri semata wayangnya yang sedang meringkuk kesakitan menggema di seluruh penjuru rumah itu.

Para pelayan yang bekerja hanya bisa menatap iba tanpa ada pergerakan sama sekali.

"Ayah bilang berdiri Vania! Jangan membuat ini semakin sulit untuk ayah," titah pria itu.

Dengan perlahan Vania berdiri tegak membelakangi ayahnya, detik berikutnya tongkat kayu kembali menyerang betisnya yang kelihatan kesakitan, bisa di lihat dari warna biru kehitaman yang terpampang. Setelah melayangkan sepuluh pukulan lagi, pria yang di panggil ayah itu berlalu meninggalkan Vania.

Pelayan wanita yang sudah lama bekerja di rumah ini, mengusap pelan kepala Vania lalu berkata, "Bibi bantu obati, tunggu di sini bibi ambil salepnya dulu."

"Terima kasih bi Yaya, nia ke kamar dulu ya. Ada tugas yang harus di kerjakan," pamit Vania kepada pelayan yang bernama Yaya lalu perlahan berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.

Kejadian seperti ini sudah biasanya di sebut hukuman oleh ayahnya jika dia membolos, berkelahi atau jika nilainya tidak sesuai keinginan ayahnya.

---

"Makan dong, jangan cuma di lihat. Ayo makan," kata gadis berambut panjang berwarna merah yang sedang menekan kepala gadis lain untuk memakan makanan yang sudah tumpah di lantai.

"Tenang aja ini gratis," sambung gadis lain yang merupakan antek-antek gadis berambut merah itu. Sedangkan temannya yang satu lagi merekam kejadian itu sembari tertawa kecil.

Seisi kantin bersikap biasa saja ketika melihat kejadian ini, lebih tepatnya mereka menganggap ini adalah hiburan untuk menemani makan siang mereka.

"Ada toko yang baru buka dekat rumah gua, banyak aksesoris yang bagus. Mampir yuk ke situ," ajak Putri memberitahu Vania dan Cecil dengan antusias.

"Gue lagi gak bisa Put, lo tau sendiri gue masih harus les nanti. Lu pergi sama Cecil aja," ujar Vania menolak ajakan Putri yang langsung di sambut Putri dengan wajah cemberut.

"Lagian kenapa om Ardi nyuruh lu ikut les sebanyak ini sih," kesal Putri

"Gue juga gak bisa hari ini, maaf ya. Lain kali gue temenin," timpal Cecil menolak ajakan putri juga.

Vania bersama kedua temannya yang baru memasuki kantin sontak mendekat ke arah kumpulan perundung yang dengan bangganya melakukan aksi mereka di tempat ini.

"Nara keterlaluan lo!" teriak Cecil menarik tangan nara yang masih setia menekan kepala gadis malang itu.

"Jangan sok jadi pahlawan, lu juga sama aja. Najis gue liat lu," cemooh Nara berusaha menepis tangan Cecil namun tidak bisa karena cengkraman Cecil semakin kencang hingga membuat pergelangan tangan nara memerah. Salah satu antek-antek nara menjambak rambut Cecil dengan niatan melepaskan cengkramannya.

Detik berikutnya tangan Vania menjambak rambut gadis itu lalu terjadilah perkelahian yang tidak bisa dihentikan, dan membuat mereka berakhir di ruang BK dengan surat panggilan untuk orang tua. Tentu saja Vania tidak akan memberikannya pada ayahnya jika tidak ingin mendapat hukuman lagi.

---

"Sudah ayah peringatkan untuk menjaga sikapmu di sekolah," tegur pria paruh baya itu lalu memukul betis Vania yang masih belum pulih karena hukuman yang lalu.

"Berdiri!" bentak pak Ardi lalu kembali mengayunkan pukulannya, setelah merasa puas dia berlalu meninggalkan puteri semata wayangnya yang tengah merintih kesakitan.

---

"Dasar anak tidak tahu diri, kerjanya hanya menghabiskan uang. Jangan menangis," bentak pak Ardi  melayangkan pukulan-pukulan ke betis Vania.

"Berdiri, jangan cengeng. Tugasmu hanya menjaga agar nilaimu tetap bagus saja kamu tidak becus, bagaimana kamu bisa menjadi dokter dengan nilai seperti ini. Cepat berdiri," perintah pak Ardi ketika melihat Vania yang berlutut merintih kesakitan.

"Ini hukuman untukmu," lanjutnya

Kali ini bukan tongkat kayu melainkan sabuk pinggang yang di pakai pria tua itu untuk menghukum anaknya.

Pak ardi mengecup pelan puncak kepala Vania lalu berbisik, "Jangan membenci ayah karena memberimu hukuman. Ini semua demi kebaikanmu."

***

Hi guys, ini prolog untuk cerita baru punyaku. Semoga kalian suka yaa, jangan lupa follow dan vote yaa. Kasih dukungan, saran dan kritik di kolom komentar yaa. See you 💐👋

Eternal Love Beyond the Pages of the PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang