"Woy!" Mila datang dan menggebrak meja.
"Asyik aja lu berduaan!" goda Rerey sambil menaruh tasnya di meja.
Aku mencibir. "Eh, biarkan jomblo ini bahagia dong...." Aku memasang muka memelas.
"Dih, makanya kalian berdua cepetan jadian, dong!" celetuk Mila.
Sialan..., aku mencubit lengan Mila dan melotot ke arah cewek itu. Bukannya merasa bersalah, dia malah menjulurkan lidahnya ke arahku. Awas aja, kalau novel ini terbit, dia gak dapet traktiran.
"Eriska mana?" tanya Aiden pada Mila dan Rerey.
Jelas kedua cewek itu gak tahu jawabannya. Mereka berdua saling lirik, kemudian menggeleng bersamaan. Memang, sejak tadi pagi, cewek itu menghilang begitu saja.
Aiden yang sadar akan ekspresi kami bertiga, menghela napas dan mengacak-acak rambutnya. "Udah sebulan, ya?" gumamnya lirih.
Kami bertiga mengangguk lemas.
"Kalian gak niat nanyain dia? Kan kalian sahabat dia juga."
Mila mengacak-acak poninya. "Gimana ya, Den. Kita gak pernah bisa nanya sama dia kalau dia menghindar terus kayak gini. Udah sebulan ini dia gak ikutan movie marathon. Pas kemarin kita nonton ke XXI aja dia gak ikut. Iya kan?"
Aiden manggut-manggut. Kemarin memang kami berempat nonton bareng di XXI. Dan itu adalah pertama kalinya Eriska tidak ikut nonton bersama kami. Biasanya dia sangat antusias nonton di bioskop, karena itu adalah tempat favoritnya.
Kalau diperhatikan, cewek satu itu bertingkah seperti menyembunyikan sesuatu. Dia beda dari biasanya: tidak mau terbuka, tidak antusias dengan kami berempat, dan seakan menikmati dunia yang ia sembunyikan dari kami bertiga (dan berempat, kalau mau hitung Aiden) itu. Entah dunia apa, entah siapa, atau apa... tapi hal itu pasti ada sangkut pautnya dengan HPnya.
"Kalian sadar gak sih, kalau Eriska mau dikepoin dan ditanyain?" Aiden membuyarkan lamunan kami.
Aku menggedikkan bahu. "Mungkin aja. Make sense, kok."
Rerey mengangguk pelan. "Dia mau kita perhatiin atau apa, ya?" tebak Rerey.
Pertanyaan Rerey itu menggantung tanpa ada yang menjawabnya. Kami hening 5 menit, sampai akhirnya kami memutuskan untuk sibuk dengan kegiatan kami masing-masing; aku dan naskah baruku, Rerey dan Mila dengan tugas mereka, dan Aiden dengan ponselnya.
Tapi pikiran kami tetap menerka-nerka, apa yang terjadi dengan si anak bawang satu itu?
Di jalan pulang saat Aiden mengantarku (karena Pak Joko berhalangan dan Aiden mau main ke rumah Miko), Aiden kembali mengulang perkataannya di kantin.
"Dia tuh diem-diem pengen dikepoin, tau, Jess. Pengen kalian perhatiin juga."
Aku mendesah. "Gue tahu, Aiden. Gue juga pengen tahu apa yang dia rasain. Tapi gimana? Dia gak ada kabar, dia suka ngilang, telepon dijawab seadanya, BBM dan LINE suka cuma di read. Gimana kita mau kepoin, coba?"
Bahu Aiden terangkat. "Entahlah. Tapi kalau lo bertiga masih peduli sama dia... why dont you try to stalk her?"
"Childish banget sih ide lo!" tolakku mentah-mentah.
"Hey, gak buruk, kan? Toh kalian dapat jawaban, dan nanti dia akan sadar kalau kalian masih peduli sama dia!" Aiden melirikku, mencari tahu ekspresiku.
Aku terdiam. Masuk akal, meski aku masih ragu.
Tangan kiri Aiden terulur dan dia menjentikkannya di depan mukaku. "Woy! Sadar!" hardiknya usil. Aku terhenyak dan memukul punggungnya dengan sebal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Get Over You (Breakeven Sequel)
RomanceSetelah Daniel pergi ke Swiss, Jessica berubah dari sepotong hati yang patah menjadi penulis terkenal. Semua orang menyukainya. Sekarang pertanyaannya adalah, apakah kilau yang kita lihat di luar sama seperti yang ada di dalam? Apakah dunia tahu...