Sabtu adalah hari terbaik untuk berjalan-jalan di Gramedia Matraman sendirian sambil mengulik novel-novel baru atau novel-novel lama yang naik ke jajaran best seller. Sekalian riset untuk novel baruku juga, sih. Seperti apa pasar yang lagi digemari saat ini. Apakah cinta masa SMA, cowok (atau cewek) yang sakit-sakitan, cowok penakluk wanita yang tobat karena bertepuk sebelah tangan sama cewek judes, atau malah cinta sesama jenis?
Puji Tuhan yang lagi hip saat ini masih wajar dan belum sampai ke sesama jenis. Bisa gila kalau ane disuruh nulis begituan. Bukan takut gagal, tapi takut ngalamin #eh.
Hari yang tenang, sih, seharusnya aku tidak perlu expecting something yang bikin capek dan muter otak. Apalagi habis ini, aku harus pulang dan berhadapan dengan laptop yang haus ketikan. Tapi namanya hidup, kalau tanpa konflik, namanya sudah mati dan hidup di surga.
Ini rutinitas baruku sejak menjadi penulis. Aku tidak pernah mengajak siapapun diantara teman-temanku untuk menemaniku mencari ide novel, karena aku butuh fokus dan ketenangan. Aku butuh refrensi ide, dan aku butuh malaikat dari surga untuk mengencerkan otakku.
Tadinya Aiden menawarkan diri untuk menemaniku pergi ke Matraman, tapi aku menolaknya. Kesibukannya membaca komik bisa menghasutku untuk tidak fokus mencari ide dan malah obrak-abrik rak Hai Miiko sambil ketawa-ketawa. Nah terus, novelku kapan jadi?
Saat ini, aku sedang membolak-balik novel TeenLit yang setengah lecek dan membaca sebagian isinya. Ketenagan dari rak sepi ini dan musik Mau Dimana Kemana-nya Marcell yang tenang membuatku menikmati buku-buku yang kubaca. Aku mengira semua akan baik-baik saja hari ini.
Tapi coba tebak apa yang kutemui?
Aku menemukan anak yang lama hilang.
Eriska Gisella-ku tercinta.
Dia ada dua rak dari tempatku berdiri. Sedang membaca sebuah novel adaptasi yang nampak baru dibuka. Matanya nampak ceria menikmati isi novel itu. Diam-diam, aku mengintip dan mengintai gerak-gerik Eriska.
Hari ini Eriska mengepang rambutnya yang panjang sepunggung dengan satu kepangan besar dan dia memakai topi kupluk rajutan warna putih. Eriska memakai tank top dan memakai jaket rajut warna cream penuh pin di bagian kiri atas, serta rok coklat tanah sepaha dan kaki berbalut stocking dan sepatu mary jane warna hitam. Eriska memegang tas jinjing warna coklat kesukaannya.
Kenapa hari ini dia dandan banget?
"Hai!"
Ternyata itu jawabannya.
Seorang cowok berkemeja kotak-kotak dan berjeans menghampiri Eriska dan berdiri di sebelah Eriska. Muka Eriska langsung berbinar-binar dan senyum Eriska langsung manis banget dan ditujukan pada cowok itu.
Cowok itu jawabannya.
Entah kenapa sejak dulu aku tidak pernah memperhatikan rona di pipi Eriska setiap dia sibuk dengan ponselnya. Bodoh banget kalau aku tidak memperhatikan gigglenya yang bernada senang dan dreamy. Kenapa aku tidak pernah sadar si kecil ini sedang jatuh cinta?
Dari jauh, mataku masih memperhatikan gerak-gerik cowok itu. Dia berdiri dekat dengan Eriska dan sibuk menggoda Eriska yang asyik membaca novel. Sesekali, cowok itu melirik Eriska dan memberi senyuman... yah you know lah.
Teori ini mutlak: dia pacar baru atau hanya gebetan Eriska. Oke, tapi kenapa dia tidak pernah cerita dan siapa cowok ini?
Lihat mereka. Ketawa-ketawa, Eriska memukul bahu cowok itu dengan manja dan pipi bersemu merah, cowok itu mengacak-acak rambut Eriska sesekali, dan mereka sibuk membaca komik dengan mesra. Apa lagi yang kurang?
Sedang asyik aku menonton drama remaja gratisan di depanku itu, ponsel cowok itu berbunyi. Dia pamit pada Eriska untuk mengangkat telepon dan berlari mendekat ke arahku. Mampus! Buru-buru aku bersembunyi di balik rak dan sok sibuk membaca novel. Tapi sebagai spionase (bukan simpanse plis) yang baik, aku memasang telingaku tajam-tajam.
"Halo, cantik!"
Glep. Ludahku tertelan begitu saja. Cantik?
"Loh? Emang kamu cantik, kan? Hahaha."
Jantungku berdebar cepat. Gila, gila...
"Iya, nanti ya, jam 7. Dandan yang cantik, ya! Dadaaah!"
Dan cowok itu menutup teleponnya dan kembali pada Eriska dengan muka tak berdosa.
Sahabatku sedang jatuh cinta, menghilang dari kami selama sebulan lebih, dan sekarang orang yang dia suka habis menelepon seseorang, memanggilnya 'cantik', dan janjian dengannya.
Aku tidak tahu harus apa. Sumpah!
Yang aku tahu, setelah itu tanganku terulur dan aku mengobok-obok tasku dan mendial nomor orang yang paling netral dan bisa kuandalkan saat ini.
"Halo, Aiden? Lo bisa ke Gramed Matraman sekarang? Oh, bagus deh, kalau lagi di deket sini. Please cepet ya, Than! Oke, thanks! See you!"
Pip.
Aku menghela napas dengan lega. Sekarang saatnya tetap untuk jaga jarak dengan kedua orang yang kupantau saat ini. Mataku masih memicing dan memperhatikan gerak-gerik kedua orang yang nampak mesra itu.
Seperempat jam aku memantau mereka, tiba-tiba cowok itu menunjuk rak komik sambil berbicara pada Eriska. Sahabatku yang imut itu mengangguk patuh dan menaruh novel yang dia pegang, kemudian mengekor cowok itu ke rak komik yang agak jauh dari rak novel. Sekarang, aku harus mulai bergerak perlahan ke arah mereka.
"Jess!" Aiden menepuk punggungku pelan.
Aku berbalik cepat dan tersenyum pada Aiden. Jariku memberinya isyarat tenang dan menggiringnya bersembunyi dibalik rak buku komedi yang bersebelahan dengan rak komik.
"Tuh, yang bikin Eriska selama ini menghilang!" Aku menunjuk cowok yang berdiri di sebelah Eriska. Sibuk memilih-milih komik-komik cowok
Aiden membelalak. "Ooh, itu si Delon, Jess!" seru Aiden tertahan.
Alisku terangkat mendengar nama asing itu. "Delon?" ulangku.
Aiden mengangguk. "Iya! Dia tuh anak HI, sama kayak Eriska!" jelas Aiden.
Ooh, aku mengerti sekarang. Jadi sekarang, cowok itu dekat dengan Eriska dan dia kenal Eriska karena mereka sama-sama anak HI.
"Dia... predikatnya gimana, Than?" tanyaku sambil menatap Aiden. Jantungku berdebar menunggu jawabannya.
Aiden memutar matanya. Mengingat-ingat. "Hmm... sependengaran gue, dia terkenal keren, ganteng, friendly... yah, banyak cewek yang comfort sama dia. Kira-kira gitu, Jess."
Deg. Jantungku berhenti.
Cowok ini playboy kampus?
"Lo kenapa, Jess?" Aiden mencoba mengembalikan kesadaranku.
Dengan tenggorokan kering, aku mencoba berbicara "Than, gue denger dia nelpon cewek dan manggil cewek itu 'cantik'. Dia juga janjian sama cewek itu malem ini."
Aiden tampak belum menemukan mata rantai dari omonganku. "So?" tanyanya bingung.
Aku menghela napas berat. "Aiden, really? Cant you see that Eriska likes him?" Aku menunjuk Eriska yang curi-curi pandang pada Delon sambil membaca Hai Miiko!
Aiden mematung.
Ya, Aiden Putra Setiawan... she's in danger.
KAMU SEDANG MEMBACA
Get Over You (Breakeven Sequel)
RomanceSetelah Daniel pergi ke Swiss, Jessica berubah dari sepotong hati yang patah menjadi penulis terkenal. Semua orang menyukainya. Sekarang pertanyaannya adalah, apakah kilau yang kita lihat di luar sama seperti yang ada di dalam? Apakah dunia tahu...