Ada LINE dari Aiden.
"Jess, guess what? Malem ini gue nginep di rumah Miko. Besok niatnya bolos kuliah. Cowok satu ini tangannya kebeset gede banget karena pisau kecil supertajem dia buat ngerakit Gundam. Darahnya keluar banyak. Gue harus nemenin dia karena bokapnya di luar kota dan nyokapnya gak kuat darah."
Aku terhenyak. Gila, meski sudah lama tidak main dengan Miko, kabar itu cukup mengejutkan buatku.
"And honestly, gue juga kurang kuat liat darah. Gue udah mau pingsan rasanya."
Waduh, gawat kalau begitu. Aku buru-buru membalas.
Seriusan, Den? Lo dimana sekarang?
LINE~
Aiden membalas: di Mitra.
Aku melirik jam dinding. Tak terasa, kegiatan menulis dan nostalgia singkatku menghabiskan waktu 2 jam. Sekarang sudah jam 8 malam dan sudah berlalu 2 jam sejak Aiden mengantarku pulang tadi.
Gue susul kesana? tawarku.
LINE~
"Boleh aja. Tapi bsk lu ada mata kuliah apa? Jng sampe lo repot."
Aku menghela napas dan melihat jadwal. Oke, besok cuma ada dua dan mata kuliah pertama dimulai jam 1 siang.
Bsk kuliah siang, Den. Gak repot. Gue kesana ya?
LINE~
"Oke."
Sip. Aku buru-buru menutup laptop dan memasukkannya dalam tas. Buru-buru aku berlari ke lantai bawah dan mencari-cari sosok Pak Joko yang biasanya pulang ke rumahnya jam 9.
"Pak Joko!" aku memanggil pria yang lagi asyik ngobrol dengan satpam, tak jauh dari gerbang rumahku. Dia sudah membawa tasnya dan bersiap untuk pulang ke rumahnya.
Sigap, lelaki itu langsung menyongsongku dan merapihkan kancing kemejanya. "Siap, Mbak! Mau diantar kemana?" tanya Pak Joko.
"Aduh, maaf ya, Pak, jadi pulang malem. Anter saya ke Mitra ya, Pak?" pintaku.
Pak Joko mengangguk patuh. "Siap, Mbak!" Pak Joko berlari kecil menuju mobil, diekori olehku. Beliau masuk, menyalakan mesin, dan memacu mobil menuju RS Mitra tanpa banyak tanya.
"Emang siapa yang sakit, Mbak?" tanya Pak Joko ketika kami sudah setengah jalan.
"Si Miko, Pak. Tangannya luka sampai hilang banyak darah." Aku melihat jam di tanganku. Sudah jam 8.19.
Pak Joko manggut-manggut. "Mbak udah sering ngobrol sama Mas Miko lagi, ya?" tanya Pak Joko.
Aku menggeleng. "Sejujurnya saya mau nemenin Aiden yang nemenin Miko sih, Pak. Sampe sekarang saya belum ketemu Miko lagi. Tapi Aiden nemenin Miko sama mamanya di rumah sakit, sementara dia sendiri gak kuat darah. Kasihan tuh anak."
Pak Joko manggut-manggut lagi. Memang dalam keadaan urgent, mulut Pak Joko tidak se-silly seperti dulu waktu aku menemuinya di taksi, atau usil seperti biasanya. Dia tahu kapan harus usil, kapan harus iseng, kapan harus cerewet, dan kapan harus shut up and drive.
Mobilku memasuki daerah parkiran RS Mitra. Pak Joko mengambil karcis dan mencari parkiran yang strategis. Setelah mesin mobil dimatikan, aku buru-buru turun.
"Mbak, aku tunggu disini, ya!" seru Pak Joko.
"Iya!"
Aku berlari kecil menuju UGD. Bisa dibayangkan pasti saat ini Aiden pucat dan lemas, duduk di bangku panjang sambil membuang mukanya dari darah-darah yang ada di sekitarnya. Belum lagi dia harus pura-pura tabah demi menemani Tante Ira—mamanya Miko.
"Aiden!" aku menyongsong cowok itu.
"Hei, Jess!" Aiden nampak lega melihat kehadiranku.
Aku mengambil tempat duduk di sebelah Aiden. Di balik pintu itu, Miko sedang ditangani. Ternyata darah yang keluar cukup banyak dan lukanya agak fatal. Miko yang terlalu mendetail memotong secuil plastik dalam keheningan kamarnya, terhenyak kaget karena bunyi buku jatuh. Dengan ceroboh, cutter itu menggores tangannya dari jempol ke nadi. Sial banget, cuma karena hal sepele, dia sampai masuk UGD dan kekurangan darah sampai pucat—kata Aiden.
Tante Ira mondar-mandir khawatir didepanku dan Aiden. Nampaknya beliau belum menyadari kehadiranku.
"Muka lo pucet banget, Den." Aku memperhatikan muka Aiden yang nampak gugup.
Aiden mengangguk kaku. "Dari kecil gue paling takut darah, Jess. Waktu umur 7, gue ngeliat orang kelindes truk didepan mata gue. Serem." Aiden gemetar.
"Lo gak jujur aja sama Tante Ira?" Aku melirik tante cantik yang sudah lama tak kutemui itu.
Aiden menggeleng. "Gengsi. Gue cowok."
Aku mengangkat alis, bingung. "Tapi lo jujur sama gue."
Aiden tersenyum masam. "Soalnya gue gak tahu mau jujur sama siapa lagi. Cuma lo doang kayaknya yang gak akan ketawain gue," jelasnya. "Buktinya, sekarang lo disini sama gue!" Aiden menatapku sambil tersenyum.
Kreek... pintu UGD terbuka.
"Bu Ira?" panggil si dokter.
"Saya!" Tante Ira langsung berdiri di depan si dokter dengan sigap.
Dokter itu melepas kacamatanya dan menatap Tante Ira. "Miko selamat. Penanggulangan cepat membuat dia terselamatkan. Lukanya memang sangat fatal karena mengenai pembuluh arterinya. Untung kami punya banyak persediaan golongan darah A. Sebentar lagi, kami akan pindahkan Miko ke ruang rawat biasa." Dokter itu tersenyum.
"Makasih ya, Dok!" Tante Ira tersenyum lega.
Dokter itu berlalu melewatiku dan Aiden. Kami bertiga saling melemparkan senyum.
"Eh, ada Jessica!" Tante Ira tersenyum ke arahku dan memelukku ringan. "Apa kabar, Sayang?" tanyanya sambil menangkupkan tangannya pada pipiku.
Aku tersenyum. "Baik, Tante. Long time no see, ya?" jawabku.
Tante Ira mengangguk. "Abisnya, kamu jadi sombong sejak masuk SMP!" candanya. "Padahal Tante kangen loh, ngeliat Miko senyum-senyum nungguin kamu dateng ke rumah tiap hari!" Tante Ira tertawa kecil.
"Tante bisa aja...." Aku ikutan tertawa.
"Oh iya, kok bisa disini? Dipanggil Miko?" tanya Tante Ira. "Kok gak bilang-bilang kalian suka main bareng lagi. Satu kampus, kan, sekarang?"
Aku menggeleng. "Satu kampus sih, iya, Tan. Tapi aku aja gak tahu dan udah lama gak contact Miko. Nih, aku tau dari Aiden," aku menunjuk Aiden.
"Oh, kamu kenal Aiden?" Tante Ira tersenyum. "Jadi kamu kesini karena...?"
Aku terkekeh dan melirik Aiden. "Dia minta ditemenin!" godaku.
Tante Ira mengangkat alis. "Ditemenin apanya, Den?" tanya Tante Ira.
Aiden mencibir sekilas ke arahku. Dia kemudian tersenyum kecut pada Tante Ira. "Gak bisa liat darah, Tante. Makanya minta ditemenin ama Jessica."
Tante Ira langsung tertawa melihat ekspresi kikuk Aiden. "Oalah, kalau takut kenapa gak bilang, sih? Tante emang takut darah, tapi Tante bisa sendirian, kok. Aiden... Aiden!" Tante Ira mengelus-elus lengan Aiden sambil tertawa.
"Yaaa... kan malu, Tante!"
"Dasar, kamu ini. Ya udah, Tante mau urus administrasi dulu. Tante tinggal, ya?" Tante Ira berlalu meninggalkan kami berdua.
Sepeninggalan Tante Ira, Aiden langsung menyergapku dan mengacak-acak rambutku dengan kalap.
"Bikin malu aja sih loo!!" Aiden memuaskan emosinya.
Aku ngakak dalam bekapan Aiden. "Lo harus liat muka lo sendiri, Aiden! Hahahaha!" Aku megap-megap, berusaha melepaskan diri.
"Gini deh, sebagai permintaan maaf, kita cari makan, deh!" usulku. "Gue yang traktir!"
Aiden melirikku sebal. Pipinya masih merah. "Yowes. Gak nolak. Tapi awas ya, kalau lo bikin gue malu kayak tadi!" ancamnya.
Aku tertawa kecil sambil memegang lengan Aiden. Aduh, Aiden, Aiden!
KAMU SEDANG MEMBACA
Get Over You (Breakeven Sequel)
RomanceSetelah Daniel pergi ke Swiss, Jessica berubah dari sepotong hati yang patah menjadi penulis terkenal. Semua orang menyukainya. Sekarang pertanyaannya adalah, apakah kilau yang kita lihat di luar sama seperti yang ada di dalam? Apakah dunia tahu...