Well, Damn...

1K 109 3
                                    

"Ah, lo udah nyampe, Jess!" Mbak Hillary datang dari arah panggung dengan high heels dan long dress warna ungu yang membuatnya nampak seperti perempuan tanpa suami umur 20 tahun. Cantik total. Wanita itu memelukku erat-erat dan tersenyum. "And who are you, girls?" Mbak Hillary menatap tiga sahabatku dan mulai mengeluarkan aura profesionalnya yang macam tante-tante glamour.

Aku berputar 90 derajat ke arah mereka dengan tetap merangkul Mbak Hillary. "Ini Riska, Nala sama Nia, Mbak!" Aku menunjuk mereka satu-satu dengan menyebutkan nama samaran mereka di novel. Mereka bertiga tergelak dan memperkenalkan nama mereka masing-masing.

"Ya udah, yuk! Kalian bertiga aku kasih special seat karena kalian special guest hari ini!" Mbak Hillary menuntun mereka bertiga di bangku paling depan. Sementara aku, duduk di kursi plus meja yang ada di atas panggung, karena pengunjung sudah mulai berdatangan.

Dan jumpa penulis pun, dimulai.

Beberapa pers dari portal berita remaja dan radio online maupun radio offline berdatangan. Aku bersyukur tidak ada kamera broadcast. Yang berarti tidak ada liputan televisi yang menayangkan wajah penipu kecil ini ke seantero Indonesia.

Jumpa penulis ini jelas akan banyak mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan mainstream seperti acara jumpa penulis lainnya. Cara sukses jadi penulis, cara mencari ide, passionku sebenarnya, dan darimana ide ini berasal. Selama satu jam, semua terasa sangatlah lancar seperti jumpa penulis lainnya. Sampai...

"Mbak Jessica, kami mendengar beberapa desas-desus di kalangan penggemar Mbak. Apa benar, tulisan Mbak ini adalah representasi dari pengalaman pribadi Mbak bersama mantan pacar Mbak?"

DUAR. Kira-kira seperti itulah bunyi di dalam otakku.

Selama aku bengong, cewek berpakaian warna putih bertuliskan salah satu portal berita anak muda itu menyiapkan catatannya dan menghujaniku dengan tatapan menunggu yang haus informasi. Aku semakin stres saja melihat mukanya.

Oh iya, jangan heran kenapa jurnalis ini masih bertanya seperti itu. Selama ini, aku tidak pernah menyatakan dengan gamblang bahwa Daniel adalah ide ceritaku. Dan ternyata, di tempat inilah pertanyaan itu tidak bisa kuhindari lagi.

Mic yang kupegang terasa licin seperti belut karena keringat di tanganku. Tenggorokanku terasa kering dan aku berharap ada CJR membawakanku larutan penyegar sambil joget-joget supaya semua pengunjung teralih perhatiannya, tapi buru-buru kuenyahkan pikiran ngawur itu. Karena apapun yang terjadi, aku harus menjawab pertanyaan itu, apapun jawabannya.

Tapi apa jawabannya?

Semua orang menatapku dengan pandangan menunggu, kecuali 3 sahabatku yang memandangku iba karena tahu kondisi dan pergulatan batinku.

Tenggorokanku serak. Perlahan, sebuah suara seperti tersedak keluar. "Se... semua orang pasti memasukkan unsur pribadi ke dalam novelnya." Jawaban mainstream.

"Tapi apa sosok itu nyata, Mbak?" tanya si kutu kupret itu lagi.

Aku membeku.

Aku harus bisa melawan ini semua.

Aku berdehem kecil. "Sebenarnya... dia nyata."

Semua penonton terkesiap dan menahan napasnya.

"Mbak... benar-benar mengalami stage depresi seperti Angel?" dia kelihatan kaget sungguhan. Melotot. Mangap.

Aku mengangguk kaku.

"Benar-benar sering muntah setiap banyak memori dari 'Randy' menghampiri pikiran Mbak?"

Aku mengangguk kaku. Sampai saat ini pun masih seperti itu.

"Dan Mbak benar-benar tidak makan selama 5 hari setelah kepergian 'Randy' ke Swiss?"

Get Over You (Breakeven Sequel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang