Bab 02 : gelak tawa

139 80 77
                                    

Matahari pagi baru saja menyapa ketika mereka selesai berfoto bersama. Dengan langkah ringan, mereka kembali ke tempat semula. Ara menoleh ke jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, berkilauan dengan keanggunan yang sederhana. Ghea pun tak ketinggalan, matanya juga tertuju pada jam tangan merah mudanya yang terlihat indah di kulitnya. Jarum jam telah menunjuk pada angka 10.50 WIB, mengingatkan bahwa waktu terus berjalan.

"Kita harus kembali ke kelas, Mel. Sudah jam 10.50," ujar Ara dengan nada yang mendesak dengan tetap lembut.

"Oh, benar juga. Ayo, kita kembali," sahut Melca, sembari memeriksa jam tangannya dengan tatapan yang terkejut.

"Yuk, masuk ke kelas masing-masing," seru Ghea, suaranya penuh semangat.

"Kita bertemu lagi di sini nanti, setuju?" tanya Faiza, matanya berbinar menandakan antusiasme.

"Iya," jawab mereka berempat, suara mereka berpadu dalam kesepakatan yang akrab.

Arabella dan teman-temannya berjalan kembali ke kelas, di mana kakak kelas yang menjadi pemimpin mereka sudah menunggu dengan senyum. Ketika jam menunjukkan pukul 12.00 siang, mereka telah berkumpul kembali di tempat yang sama, siap merencanakan petualangan selanjutnya yaitu bermain di rumah Arabella.

Rumah Ara terlihat sederhana tapi elegan. Di depan rumah, pohon mangga dan jambu berdiri tegak, sementara di belakang rumah, kebun sayur terhampar rapi dan indah. Setiap sudut rumah menyimpan cerita dan kenangan.

Begitu tiba di rumah Arabella, mereka disambut oleh keindahan yang terbentang di depan mata, menyegarkan pandangan sambil menghirup udara segar yang mengalir bebas.

"Ini serius rumah lu?" tanya Faiza dengan rasa takjub yang tak tersembunyi.

"Iya, maaf kalau tidak seperti yang kalian bayangkan," jawab Arabella dengan nada maaf yang tulus.

"Bukan itu, Ra. Ini jauh melebihi ekspektasi gua. kami tidak menyangka lu tinggal di tempat yang begitu indah dan nyaman. Kami semua tidak hanya menyukainya, tapi kami benar-benar terpesona dan merasa damai di sini," ucap Faiza, suaranya penuh kekaguman.

"Setuju, kan, Men?" tanya Faiza, mencari persetujuan.

"Benar sekali. Kami benar-benar terkejut melihat keindahan tempat ini," tambah Melca.

"Ra, maafkan teman-temanmu ini, ya. Emang agak rada rada," canda Ghea dengan senyum.

Dengan cengiran yang tak bisa ditahan, Faiza dan Melca menggaruk leher mereka yang sebenarnya tidak gatal. Lisya, dengan senyum yang hangat, hanya bisa menatap mereka dengan penuh kasih sayang.

"Iya, nggak apa-apa. Santai saja, ayo masuk," ucap Arabella dengan suara yang menenangkan, membuka pintu rumahnya yang terasa seperti pintu ke dunia lain.

"Ayo, masuk. Anggap saja ini rumah kalian," canda Faiza, seolah-olah dia adalah tuan rumah yang penuh keramahan, cengirannya semakin lebar.

"Malu-maluin deh, Za," ucap Ghea, suaranya terdengar akrab dan penuh kebiasaan, seakan-akan ini adalah pemandangan yang sering terjadi.

Arabella tertawa kecil, suaranya terdengar seperti musik yang lembut. "Udah, nggak apa-apa. Gua ke dapur dulu sebentar ya," katanya, sebelum menghilang ke balik pintu dapur.

Teman-temannya menempati ruang tamu, di mana kipas angin telah dinyalakan, meniupkan hawa sejuk ke arah mereka. "Nih, minum dulu. Maaf, adanya ini," ucap Arabella, menyodorkan minuman dengan tangan yang terbuka.

"Nggak apa-apa, Ra. Apapun yang lu kasih, pasti kita minum kok," ucap Faiza, senyumnya merekah, menambah kehangatan di ruangan itu.

"Asal nggak air comberan wae atuh," canda Melca, suaranya bergema diiringi tawa yang bersahutan dari teman-temannya.

Fake smile Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang