"Bantu Mama mengangkat barang-barang yang ada di bagasi. Hati-hati, jangan sampai terjatuh atau terbentur. Nanti hancur "
"Mama menyimpan bom di kotak ini?"
"Nana, cukup lakukan itu. Kenapa perkataanmu mengada-ada? Dan coba lihat mukamu! Kusut sekali, sangat jelek. Mama tidak menemukan tanda-tanda pemuda playboy di sana."
"Aku bukan playboy, Ma!" Tetapi, wajah pemuda pirang ini benar-benar masam. Dia bersungut-sungut seraya mengangkat kotak dengan hati-hati dari bagasi, menaruhnya di depan pintu.
"Langsung ke dalam, sayang. Bantu Mama sampai tuntas. Kita tidak akan pernah selesai jika kamu masih setengah hati."
"Aku sudah bilang tidak menyukai ide ini! Mama yang mau."
"Demi kebaikan kita berdua. Mama tahu pasti berat meninggalkan kehidupan yang sudah belasan tahun dijalani. Beberapa kebiasaan mendarah daging, menempel dengan lingkungan dan suasana di sekeliling kita."
"Mama memahaminya, dan tetap memaksakan diri!"
"Kita mulai dari awal seperti saat pertama kali kamu lahir ke dunia."
"Itu berbeda--tolong berhenti menyamaratakan segalanya hanya agar Mama tampak benar." Nana meluapkan kejengkelannya di sini, meski tangan-tangannya terus bekerja guna mengangkut seluruh kotak.
Perdebatan sekian terdengar alot. Beruntungnya hunian mereka cukup berjarak dari rumah-rumah tetangga di sekitar. Kushina maxville, single parents yang memiliki putra bernama Nana Maxville. Wanita ini masih berdarah Jepang, kendati dia lebih banyak menghabiskan perjalanan usianya di tanah Eropa. Dia menikahi laki-laki setempat, melahirkan seorang anak dengan ciri-ciri fisik persis mendiang suaminya.
"Sepertinya kamu sungguh marah. Pergilah ke dalam, tenangkan dirimu. Mama yang akan mengangkat sisa barangnya. Kita bicarakan ini saat makan malam."
"Entahlah! Aku tidak peduli."
Berat terdengar napasnya berembus. Kushina sekadar menatap sendu punggung putranya sebelum dia melangkah ke belakang mobil. Dan yang dia temukan justru bagasi itu sudah kosong.
-----
Musim dingin menyebabkan suhu selingkung menusuk di kulit. Beruntung pemanas ruangan bisa sedikit memberi kehangatan. Dengan mengenakan hodie abu-abu yang dia kenakan semula Nana Maxville baru saja terbangun dari tidur panjangnya, terkesima jangka menyaksikan penjuru ruang dalam kondisi begitu rapi dan bersih. Sejemang berselang pemuda ini mengerang berat, merasa bersalah sebab tidak ikut membantu ibunya menata barang-barang mereka.
Aroma khas dari masakan familiar mendorong tungkai Nana menuju dapur. Kushina di sana, bersenandung ria seakan energi di tubuhnya tidak akan pernah habis.
"Ma, sorry."
Kushina menengok, menampakkan seringai lebar di wajahnya yang ceria. Sementara, ekspresi tersebut meningkatkan rasa bersalah terhadap putra semata wayangnya. "Tidurmu nyenyak sekali. Mama membangunkanmu sejam yang lalu. Air panas sudah disiapkan. Makan malam segera selesai, kamu bisa mandi terlebih dulu."
"Aku tidak bermaksud kasar, Ma. Aku hanya perlu waktu untuk menerima semuanya. Bagi Mama mungkin tidak terlalu sulit beradaptasi di kota ini. Tapi, aku--"
"Perlahan-lahan," sela Kushina sembari dia mendekati putranya. "Kalau kamu bersedia mengingatnya, ada sedikit kenangan masa kecilmu di sini. Itu sewaktu kamu masih duduk di sekolah dasar. Pekerjaan papa mengakibatkan kita semua sempat menetap di Jepang selama dua tahun. Percayalah, kamu pernah menyukai tempat ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Met You Before
RomanceMigrasi ke Tokyo, Nana Maxville sungguh membenci gagasan ibunya untuk menetap di kota itu. Dia terpaksa menyetujui pilihan Kushina, meski fakta menunjukkan bahwa dia tidak menemukan solusi cadangan, mengingat ibunya lah satu-satunya keluarga yang di...