Datangnya senja tak pula mengganti panasnya suhu di luar sana. Belum lagi Hinata tak mampu mengatasi kejutan yang menimpanya di kamar. Dia pindah ke ruang tamu, duduk bersila sambil memeluk bantal sofa erat-erat di dadanya. Entah kenapa dia merasa tak pantas untuk marah setelah si Maxville menggerayangi tubuhnya. Apa dia bisa marah secara tiba-tiba di saat jelas-jelas pemuda itu tertidur kelewat nyenyak?! Barangkali justru dia yang dipandang aneh serta mencurigakan. Berakhir wacana protes di kepalanya dikubur rapat-rapat agar tidak dicetuskan. Namun, bagi Hinata untuk melupakan peristiwa pelecehan tak disengaja tadi tidak semudah mengedipkan mata. Setiap kali mengingat jemari si Maxville spontan merayap di atas kulitnya Hinata merinding hingga ke ujung kaki. Pengalaman pertama dalam hidupnya menerima sentuhan intim demikian.
Di lain sisi, Nana Maxville terjebak jauh ke dunia mimpi tak berujung. Dia tampak sedang menguasai satu-satunya ranjang di situ. Tubuhnya miring di posisi diagonal dengan kedua kaki terbuka lebar, tetap mendengkur rendah sambil memperlihatkan kedamaian di wajahnya. Tidak tahu kapan dia akan bangun, agaknya mustahil untuk sejam ke depan.
Kembali ke ruang di pusat unit apartemen, Hinata tersentak oleh kerasnya bunyi bel. Kontan dia menengok ke kanan hanya untuk menangkap nada serupa. "Iya, sebentar!" Teriakan pelan cukup menenangkan pengunjung di balik pintu agar tidak menekan alarm pemanggil itu lagi.
"Selamat sore, boleh aku masuk?" Senyum keramahan familiar. Hinata menjumpai wanita paruh baya yang sempat berkenalan dengan dia. Ibunda Nana Maxville berdiri tegak di hadapannya, masih dan selalu cantik seperti yang tempo hari terlihat.
"Silakan—"
"Putraku ada?"
"Ehm, dia di kamar."
"Tidur?"
"Y-ya."
Kushina Maxville mengernyit kala Hinata sedikit gugup dalam menanggapinya. "Wah, kunjunganku mengganggu istirahat kalian?"
"Hah?!" Hinata melotot. Pikirannya salah mencerna makna dari perkataan Kushina.
"Kukira kehadiranku menghalangi waktu senggangmu."
"Tidak." Halus sekali nada jawabannya sembari Hinata tersenyum tipis dan geleng-geleng kepala.
Kushina Maxville mulai mengayun kaki menuju kamar tunggal di sebelah kiri. Pintunya dibiarkan menganga lebar, memberi akses padanya untuk dapat menyaksikan segitu pulas anak laki-lakinya tidur.
"Bagaimana, ya. Aku jadi ragu membangunkannya. Apa aku pergi saja dan kembali besok?" Meski perkataannya ini seperti berbisik, tetap juga samar-samar Hinata mendengarnya.
"Kenapa tidak dibangunkan? Tadi dia juga bilang sedang menunggu Ibu."
"Tidak tega. Gara-gara keputusanku, pikirannya pasti berkecamuk dan susah tidur. Bisa saja ini pertama kalinya dia setenang itu setelah beberapa hari kami di sini." Kemungkinan kecil yang masuk akal. Hinata sendiri bingung harus berkata apa. Dia tidak tahu apakah malam-malam kemarin pemuda berambut pirang itu dapat tidur dengan nyaman. "Sampaikan saja besok pagi aku datang lagi dan akan mengajaknya sarapan bersama. Tolong, ya."
"Baik, Bu. Ibu benar-benar tidak ingin duduk dulu? Aku akan siapkan tehnya."
"Lain kali saja. Kau tidak keberatan andai nanti aku sering mampir 'kan?"
"Tentu tidak. Aku senang ibu berkunjung—ehm, maksudku aku tidak keberatan sama sekali."
"Kalau begitu titip Nana, ya. Dia tidak bisa memasak. Aku yang salah karena sejak awal sudah biasa menyuguhkan segalanya untuk dia."
"Itu sikap seorang ibu yang sepantasnya. Jangan menyalahkan diri sendiri. Apalagi dia laki-laki, bukan masalah besar jika tidak mahir memasak."
"Maaf bila seterusnya akan merepotkan dirimu. Aku sungguh berterimakasih."
"Tidak perlu sungkan, Bu. Aku juga sudah berjanji untuk menyanggupinya. Percaya padaku."
Tampaknya Hinata tiada canggung lagi menyebut 'ibu' terhadap Kushina.
"Besok ikutlah sarapan bersama kami. Tolong jangan ditolak, ya." Kushina sudah sejak tadi menghampiri Hinata dan barusan ibu cantik ini mengusap lembut pipi gadis muda di hadapannya. "Kamu gadis yang tulus."
Hinata menyadari perutnya tergelitik oleh pujian itu. Sikap Kushina Maxville dalam memperlakukan dia tak ayal membuatnya merasakan juga kasih sayang dari figur ibu. Dia tak seberuntung Nana Maxville. Ibunya tiada bahkan ketika dia kanak-kanak.
"Hati-hati di jalan, Bu."
"Sampaikan salamku pada Rukata." Di bingkai pintu Hinata menundukkan singkat kepalanya bertepatan Kushina Maxville pun mengayun langkah meninggalkan koridor lantai tiga. Dia sempat menengok ke kiri, ke pintu Nyonya Rukata yang memang tertutup rapat.
-----
Kendati sudah setengah jam sejak Kushina pergi, Hinata betah mengembangkan sudut-sudut bibirnya. Perasaan gembira semula tak juga sirna dari ingatannya. Dia sungguh menyukai setiap kali Kushina Maxville berbicara dan menyentuhnya dengan sangat lembut persis bayang-bayang di saat dia mengenang foto mendiang ibunya.
Hinata sedang berada di dapur sekarang. Dia berencana mengambil sebungkus cokelat sachet di lemari Kitchen Set. Perlu berjinjit agar dia bisa menggapainya, meski itu tak selalu berhasil pada sekali percobaan. Terkadang tanpa sengaja aksinya justru menyebabkan bungkusan-bungkusan itu terdorong ke dalam.
"Ya ampun, aku perlu memindahkannya." Berbisik-bisik seraya dia mengupayakan ujung-ujung kakinya agar tetap tegak sejenak. "Yah—eh?!"
Tumitnya spontan turun serempak kelopak matanya berkedip-kedip bingung. Tahu-tahu hawa cenderung hangat meniup helai rambut di puncak kepalanya.
"Aku ingin kopi." Suara Nana Maxville praktis mengejutkan Hinata, hingga dia terbelalak. Lebih dari yang terpikir, reaksinya tentu beralasan. Mereka jadi terlampau dekat akibat gerakan si Maxville. Pemuda ini masih dalam kondisi separuh sadar, tak menghiraukan bahwa tubuh bagian depan dia dan punggung Hinata menempel. "Di mana kopinya? Apa kau mendorongnya ke dalam?"
"Ehm, itu—aku tidak sengaja."
Sejenak hening meliputi keduanya jangka Nana Maxville memajukan tangan kanannya demi dapat meraih bungkusan kopi instan tersebut. Namun, yang tidak dia ketahui Hinata mati-matian mempertahankan kewarasannya. Kali ini mereka lebih terlihat seakan tengah bertindak asusila, semacam si Maxville mengintimidasi dia segitu mesra di belakang.
"Jangan taruh di sini jika itu justru menyulitkan dirimu—ah, akhirnya aku dapatkan." Entah dia menyimak atau tidak seperti apa raut Hinata kini. Gadis itu sudah pada batasnya dengan kedua pipi merona pekat.
"Maxville, berhenti mendorong. I—itu menyentuh bokongku." Pengakuan sekian mengundang kerutan pada dahi lawan bicaranya. Nasib mujur Hinata sanggup mengutarakan kerisiannya melalui kata-kata yang mudah dipahami. "Maxville, bisa geser sedikit?"
"Ada apa? Kenapa kau berkeringat?"
"Kau terlalu dekat."
"Ya?!"
"Kau terlalu dekat. Kita menempel."
"Sorry." Dini menangkap maksud kalimat tadi, Nana Maxville bergegas menjauhkan tubuhnya. "Kau mau ke mana? Bukannya kau juga mau mengambil ini?" Dia memungut semua bungkusan teh dan kopi instan dari lemari, meletakkannya di permukaan meja sembari dia menyiapkan secangkir air panas. Pandangnya praktis mengekori gelagat Hinata yang berlari ke kamar. Si Maxville kentara bertanya-tanya mengenai perubahan tingkah gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Met You Before
RomanceMigrasi ke Tokyo, Nana Maxville sungguh membenci gagasan ibunya untuk menetap di kota itu. Dia terpaksa menyetujui pilihan Kushina, meski fakta menunjukkan bahwa dia tidak menemukan solusi cadangan, mengingat ibunya lah satu-satunya keluarga yang di...