Nyonya Rukata figur baik bersahaja, Hinata tentu dapat merasakan ketulusan dari gelagatnya setelah pertemuan mereka tadi siang. Kejujuran wanita itu telak menyebabkan Hinata tidak tega menolak, ataupun menanggapi pengakuannya dengan amarah. Berujung dengan pasrah dia menggeret kopernya ke kamar. Nasib baik ruangan tersebut berukuran luas, masih cukup andaikan mereka berencana menambah satu unit kasur tambahan jika memang diperlukan. Untuk sementara ada futon yang sangat bisa digunakan sebagai alas tidur.
"Dia harus menyadari di mana tempatnya. Aku yang lebih dulu membayar apartemen ini." Sembari membuka koper guna merapikan pakaiannya ke lemari, Hinata meracau sendirian. "Awas saja kalau dia macam-macam. Bukankah kebanyakan laki-laki berantakan? Ya ampun, jangan-jangan dia perokok?! Aku perlu menulis beberapa peraturan agar dia menjaga perilakunya. Iya, itu ide yang bagus." Embusan napas terdengar ringan seiring dia mengangguk mantap pertanda sangat siap dengan rencananya.
"Hinata ... Hinata ... apa kamu di kamar?!" Kontan Hinata menengok ke balik punggung, menemukan Nyonya Rukata berdiri dengan senyuman cantik di wajahnya. "Aku lupa memberikan kuncinya. Ada dua kunci di sini, aku sudah menggandakannya. Jadi, di antara kalian tidak akan ada yang saling menunggu ketika ingin masuk."
"Terima kasih."
"Aku yang berterimakasih, kamu sungguh mempermudah jalan bantuanku kepada Kushina. Hanya ini yang mampu aku lakukan sebagai seorang teman." Sudut bibir Nyonya Rukata kian melebar, mengakibatkan kekesalan Hinata turut menyingkir sejenak. "Aku juga menaruh hidangan makan malam di atas meja. Itu permintaan Kushina, putranya tidak makan sembarang makanan, apalagi makanan pedas. Tolong kamu ingat, ya! Mustahil puluh empat jam aku mengawasinya." Detik berikut Hinata gagal menahan diri untuk melepaskan rasa segannya. Dia mendesah panjang. Selain menyusahkan, pemuda asing itu secara tak langsung melibatkan dia ke dalam lingkaran hutang budi. "Uhm ... temanku dan putranya tiba sore ini. Persiapkan barang-barang milikmu sekarang, daripada nantinya canggung."
Hitungan singkat Hinata mengerang malas, rasa dongkol semula muncul kembali. Dia hanya mengira-ngira kemungkinan yang ada supaya dia tetap leluasa dan bisa menikmati seluruh aktivitasnya di ruangan ini.
"Sepertinya saya membutuhkan penjelasan lebih jauh tentang pemuda itu."
"Aku tahu," kata Nyonya Rukata. Kushina pasti memperkenalkan langsung putranya." Hinata mengernyit heran, "Hanya dia yang benar-benar memahami anaknya 'kan? Dia belum memberitahuku hal lain, kecuali soal kebiasaan makannya."
"Saya tunggu."
Nyonya Rukata menundukkan sepintas kepalanya, "Aku pergi dulu. Jika perlu sesuatu, kamu boleh berkunjung ke sebelah. Tapi, jangan di pagi hari. Aku masih berkerja. Datanglah sore atau malam, asalkan tidak kelewat larut." Bertepatan Hinata manggut-manggut, Nyonya Rukata pun melenggang meninggalkan gadis itu bersama kesibukannya.
-----
"Apalagi yang Mama rancang? Kota menyebalkan ini belum cukup? Mama tahu aku baru di sini, dan dengan mudahnya Mama memutuskan pergi ke tempat lain. Nasibku bagaimana, Ma?"
Sejatinya Nana bukanlah sosok pemarah, melainkan dia merupakan pemuda ramah yang gampang sekali menarik perhatian orang. Sisi pendiamnya tak pula membatasi dia untuk dapat bersosialisasi sewajarnya. Bahkan banyak dari teman-teman sekolah dia menaruh hati terhadap pemuda pemilik sepasang dimple tersebut.
"Mama tidak akan membuat pembelaan. Semua sudah diperhitungkan, termasuk reaksi kamu barusan. Mama janji setelah urusan Mama selesai, hidup kita akan lebih baik. Tolong percaya pada Mama."
"I had no choice."
"Mama lakukan ini demi kita berdua. Tidak sekarang, Mama yakin nanti kamu bisa menerima segalanya."
"We have no one else, but us."
"Kamu benar. Bertahun-tahun kita bertahan tanpa belas kasih mereka." Kushina melirik sekejap putranya dalam raut cemas. Roda setir juga tidak bisa kehilangan fokus dia. Keselamatan adalah yang utama, meski emosional Nana terkadang mengundang stres pada jiwanya.
"One thing you don't know. I've been worried a lot lately. Your actions are suddenly all the time."
Berikutnya Kushina tampak hati-hati menepikan mobil. Dia butuh udara segar guna menghadapi pergolakan mental putranya. Usia delapan belas tahun membentuk Nana layaknya pemuda dewasa dari sudut pandang biologis. Terkecuali sisi psikisnya rentan terguncang. Kushina terlambat menyadari di mana setiap cara dan ketetapan yang dia ambil dalam merawat putranya berangsur-angsur mengakibatkan pemuda pirang itu sungguh ketergantungan presensi dia.
"Kamu tumbuh sangat baik dan mengagumkan." Kushina meraih pergelangan anaknya untuk diberi kehangatan penenang, sekadar dia genggam. "Kamu mirip sekali dengan Papamu. Kelak kamu juga pasti sama luar biasanya, mungkin lebih." Kushina hela napasnya sedikit panjang, terdengar berat di telinga. "Mama kira ada kesalahan dalam cara Mama mengasuhmu selama ini. Seharusnya kamu pantas menjadi pemuda kuat dan percaya diri, menemukan beragam hal yang pada umumnya disukai remaja seusiamu."
"Aku tidak punya waktu untuk omong kosong."
"Membuka diri bukanlah kesia-siaan, Nak. Di saat kita bersedia memandang sekitar melalui kacamata berbeda, ada beraneka unsur yang barangkali mengagumkan. Ada juga sebaliknya, menyesalkan. Jika individu tahu hakikat kebenaran dan kontranya, maka tidaklah sulit menghadapi permasalahan dunia. Percaya pada diri sendiri, itu langkah pertama."
"Aku pernah mendengar kata-kata ini sebelumnya." Faktanya, penuturan sekian tak juga mengubah perasaan Nana.
"Kita hanya punya satu sama lain, benar?!" Tegas Kushina persisten pada nada nan lembut. "Kali ini Mama yang akan berjuang untuk kita. Lalu, suatu hari giliranmu. Agar berhasil mewujudkan gambaran itu, kita memerlukan persiapan matang. Dan Mama sedang mengupayakannya. Jadi, apa kamu bersama Mama?!"
Senyap menyinggahi mereka jangka Nana Maxville mencerna tiap-tiap penggalan kata yang diucapkan Kushina. Hatinya tergugah oleh harapan terpendam ibunya, seolah-olah sebentuk spirit telah lahir di dalam dirinya.
"Menurut Mama apa aku bisa mewujudkan itu?"
"Mama sangat mempercayaimu."
Nana spontan merunduk bimbang disusul sapuan ibunya di pundak dia segera mengusik atensi. Kushina mengangguk lamban lengkap sorot pandang penuh asa, hingga sejemang wanita ini mendesah lega usai menyaksikan respons positif dari putranya.
-----
"Mereka hampir tiba. Tidak apa-apa 'kan aku ikut menunggu di sini?"
"Mereka di mana?"
"Kushina bilang baru saja melalui persimpangan lampu lalu lintas."
"Bukankah itu menuju kemari? Maksud saya sangat dekat dari gedung ini."
"Aku deg-degan. Sepuluh tahun sejak kami bertemu terakhir kalinya, aku harap dia baik-baik saja. Ya ampun! Kenapa jadi menegangkan begini?! Aku lupa membawa kue-kue yang kubeli. Semuanya masih di pantry, padahal sudah dipindahkan ke piring. Aku harus mengambilnya."
"Nyonya, jangan pergi dulu! Aku tidak tahu cara menyambut teman--" Ujung kalimatnya tertahan di lidah. Nyonya Rukata telanjur keluar dan menutup pintunya. Sementara, kegugupan si pemilik apartemen menular pula ke dia. Kini Hinata kentara terlihat gelisah, kepayahan menelan saliva yang serta merta terasa sangkut di kerongkongan. Dalam hati dia berdoa agar pola tingkahnya tidak memalukan si tamu.
-----
Hei, masih kuat sampai bedug 'kan?
Lancar-lancar ya, puasanya... ^-^
KAMU SEDANG MEMBACA
Met You Before
RomanceMigrasi ke Tokyo, Nana Maxville sungguh membenci gagasan ibunya untuk menetap di kota itu. Dia terpaksa menyetujui pilihan Kushina, meski fakta menunjukkan bahwa dia tidak menemukan solusi cadangan, mengingat ibunya lah satu-satunya keluarga yang di...