Shikamaru Nara tak sekadar mengajaknya berkeliling Universitas Tokyo. Mereka benar-benar menyelami beberapa fakultas yang sempat membuat mereka penasaran. Nana Maxville hendak menguji kecerdasan serta bakatnya di bidang fotografi. Lalu, kenalannya itu mengikuti fakultas serupa dengan jurusan berbeda.
"Kelihatannya kau tidak bisa mengelak dari pertemanan ini, Maxville. Kita punya minat yang sama walau dalam cakupan berbeda. Aku tidak mengira kau tertarik pada dunia seni. Pembawaanmu terlalu kaku, sangat berbeda dengan para seniman yang sudah berlayar di kancah hiburan."
"Kau memang pintar, Nara. Sayangnya kau lupa satu pepatah don't judge the book by its cover." Maxville memperhatikannya dengan tatapan mendalam. Jernih bola matanya menyebabkan si pemuda Nara tertegun sesaat, seolah dia terisap hingga tenggelam ke dasar penglihatan Nana Maxville.
"Aku tidak memikirkan pepatah itu." Sengaja menggeleng guna meraih akal sehatnya lagi. Entah kenapa Shikamaru Nara sangat menginginkan pertemanannya dan Maxville dapat terjalin. "Kau tidak lapar? Aku traktir bila kau mau ikut."
"Kau tidak berencana membuang waktuku lagi 'kan?"
"Aku yakin kau juga lapar. Ayo, aku traktir makanan enak." Shikamaru Nara beranjak, melangkah melewati si Maxville yang pula spontan mengikuti dia. Keduanya berjalan berjajar tanpa Nana Maxville tahu akan ke mana pemuda ini membawanya.
-----
Tas selempang ditaruh di sofa sebelum Hinata beringsut ke dapur guna mengisi gelas dengan air dingin yang ingin sekali ditenggaknya. Barangkali gerah suhu di siang ini menyebabkan dahaganya merongrong cukup keras, kendati di Universitas Tokyo tadi dia sudah membeli sebotol minuman segar. Hinata baru saja memutar badannya bertepatan Nana Maxville muncul dari balik pintu.
"Oh, ternyata kau sampai duluan." Teguran ini spontan mengangkat pandangnya dalam diam, Hinata gugup. Dia tidak terkejut untuk efek tersebut, hanya merasa terganggu oleh beratnya lidah dia merespons. "Apa kau memakai kamarmu? Jika iya aku akan tidur di sofa saja." Yang dituju Nana tentulah satu-satunya sofa tunggal panjang di ruangan itu, tempat Hinata menaruh tasnya semula.
"Ehm—aku belum ada rencana." Hinata menggigit bibirnya gemas, kepalang kesal terhadap kalimat yang dapat dia ucapkan.
"Aku anggap iya. Tiga jam lagi ibuku ke sini, mungkin kau lebih suka berada di kamarmu. Aku minta maaf untuk itu." Nana Maxville tidak mengamati raut gadis lawan bicaranya. Dia langsung meletakkan ranselnya ke meja, berbaring pula sambil memejamkan mata.
"Y-ya. Kau boleh beristirahat di sini dan aku di kamar." Dia melupakan tasnya masih tergeletak di sisi kaki Nana Maxville. Hinata pergi ke kamarnya untuk beristirahat juga. Dua kali dia melirik kondisi si Maxville. Sorot matanya pun mengandung beberapa tanda tanya yang berat dia tuturkan.
Dua insan berlawanan gender itu sama-sama tertidur pulas. Dengkuran halus dari pernapasan si Maxville sayup-sayup menyeimbangkan kesunyian di sekeliling. Satu jam lebih sekian menit mereka seolah terbuai mimpi. Tak sekalipun terusik bunyi-bunyi kecil yang menyapa seperti suara cicak, irama bel atau derit pintu yang tertutup terbuka dari tetangga di sesama gedung.
Dua jam berlalu tanpa perubahan suasana di ruangan itu, terkecuali kejutan yang datang dari Nana Maxville. Tiba-tiba pemuda tersebut sudah ada di atas ranjang, pulas sambil sebelah tangannya merangkul pinggang Hinata. Keduanya tidak akan pernah tahu segitu intim posisi mereka sekarang. Tubuh yang saling berdekatan, hampir tiada jarak dengan Hinata memunggungi si Maxville.
Semuanya terjadi di atas sisa kesadaran Nana Maxville. Satu jam semula dia tersentak akibat udara panas yang terasa pekat di ruang tamu di mana dia memutuskan tidur. Kantuk yang tak kunjung usai menuntun langkahnya mencari kenyamanan di ruang berbeda. Dan satu-satunya hal masuk akal dapat dicerna alam bawah sadarnya adalah kamar Hinata. Tiada kesadaran menyusul, dia memilih masuk ke sana dan langsung merebahkan badan di sebelah gadis itu. Dia jelas enggan mengalah untuk telentang di bawah sebagai opsi cadangan. Nana Maxville benar-benar benci memakai lantai sebagai tempat beristirahat.
Saking tenang seisi ruang, denting jarum jam terdengar sangat nyaring. Ini sungguh bukan di malam hari, walau lelapnya mereka tidak berbeda dengan masa sekian. Sedikit gerakan kecil dari kepala Hinata sekadar mendorong si Maxville untuk mengeratkan rangkulannya yang turut pindah ke perut gadis itu. Nana Maxville refleks merapat, menghapus jarak di tengah-tengah mereka seperti seorang pria yang tengah mendekap istrinya penuh kasih sayang.
"Ini jauh lebih hangat," racau si Maxville dengan mata terpejam. Alam bawah sadarnya bersorak senang untuk apa yang dia dapatkan. Gesekan pada kulit menimbulkan kehangatan. Pakaian mereka pun tak mampu mengurangi efek yang menenangkan. Hidung bangir dia menyentuh halus helai rambut Hinata dan menguarkan aroma layaknya lilin relaksasi. Lavender lembut nan menghipnotis, barangkali Nana Maxville akan mencari-cari keharuman itu setelah dia sadar nanti.
Tahu-tahu dahaga mengusik ketenteraman Hinata. Matanya mengerjap lambat, melirik sedapatnya sekitaran dia sebelum mulutnya spontan menguap dan dia membekapnya. Mata kembali terpejam sambil perlahan-lahan pikirannya menelaah situasi. Dia mulai merasakan sesuatu yang asing, mendebarkan dan mencandukan. Jangka kerisian itu menggeliat di atas tubuhnya, Hinata pun tercengang. Bola matanya yang bulat tampak seakan melebar dan bertambah besar. Dia mengerti, itu adalah tangan serta badan seseorang yang menempel padanya. Tapi, siapa dan kapan? Kapan berlangsungnya adegan tak wajar ini? Saliva seolah tersangkut di tenggorokan, Hinata kelu ketika rambutnya menerima panas dari embusan halus pernapasan. Kepalanya menoleh patah-patah ke belakang hanya untuk membuat kelopaknya melotot kaget. Dia sangsi menegur, begitu dikuasai keraguan. Dengan sikap si Maxville yang kelewat dingin harus dengan kata-kata apa dia menjelaskannya?! Sekejap ini Hinata merasakan dirinya seumpama tersangka kriminal. Mungkin saja si Maxville menuduhnya melakukan pelecehan?!
"Ma, aku benci kita pindah. Kenapa kita perlu meninggalkan rumah?" Fakta teranyar dia temukan di mana si Maxville mengigau di dalam tidurnya.
Seperti terkena setruman listrik, jantung Hinata menggebu-gebu detaknya. Itu disebabkan jemari si Maxville yang tadi sempat meraba, menarik, dan menekan perutnya. Pemuda itu tak sedang mengkhayalkan aksi mesum. Gerakan demikian menjelaskan seseorang ketika berdekatan dengan guling maupun bantal. Nana Maxville menganggap sesuatu yang dipeluknya tidak lebih dari seonggok gumpalan bulu angsa pengantar nyenyak dan dia beruntung mendapatkan yang paling empuk dan super hangat seumur hidupnya.
"Aku suka guling ini. Di mana Mama membelinya?" Kalimat ke dua yang didengar Hinata, meski sudah ketiga kalinya Nana Maxville mengigau sembarang.
"Tidak!" Pekik Hinata sebelum dia kontan menutup kuat-kuat mulutnya. Ini terlampau lengket dan cabul. Dia tak bisa menahan diri lagi usai Nana Maxville meloloskan sebelah tangan untuk mengikat tubuh Hinata ke pelukan paling intim. Pemuda itu sering mengulang tindakan serupa pada guling manapun. Payudaranya tersentuh. Tunggu, bukan tersentuh. Tapi, diremas. Hinata yakin merasakan sengatannya. "Aku bisa mati jika tidak melepaskan diri."
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
Met You Before
RomanceMigrasi ke Tokyo, Nana Maxville sungguh membenci gagasan ibunya untuk menetap di kota itu. Dia terpaksa menyetujui pilihan Kushina, meski fakta menunjukkan bahwa dia tidak menemukan solusi cadangan, mengingat ibunya lah satu-satunya keluarga yang di...