Betapa lega Hinata ketika kedatangan tamu tak diharap-harapkan ini bertepatan munculnya Nyonya Rukata di belakang. Wanita itu memperlihatkan seringai ramah sembari dia menenteng mangkuk berisi penganan yang disebutkannya semula.
"Hin, kenapa tidak disuruh masuk?" tegur Nyonya Rukata, menarik sudut-sudut bibirnya seperti kebiasaan dia sejak awal.
"Ah, iya Nyonya—mari, masuk!" kata Hinata segera. Dia sempat memperhatikan punggung pemuda asing di depan, pemuda yang sesungguhnya sedang mengusik memori masa lalunya. Namun, dia tak bisa begitu saja mengingat siapa sosok pemuda berambut pirang tersebut. Satu hal yang pasti, pemuda itu tidak mengenakan kacamata tebal serta berdandan klimis sebagaimana perkiraan dia.
"Astaga, Kushina. Sudah sangat lama aku tidak melihatmu." Begitu benda di tangannya mendarat ke permukaan meja, Nyonya Rukata spontan memeluk teman karibnya itu. "Dan aku iri karena badanmu masih juga langsing."
"Ya ampun, Rukata! Apakah itu penting?" Kushina tersenyum bersahaja. "Aku justru ingin berterimakasih kepada Tuhan yang selalu memberi kita kesehatan sampai akhirnya dipertemukan kembali," tanggap Kushina usai dia melerai rangkulan di antara mereka. "Kamu hanya mengabaikan kecantikanmu ini. Bahkan tidak berkurang sedikitpun walau kita sama-sama bertambah tua." Sedikit banyak Hinata tersentuh oleh kata-kata manis di tengah-tengah dua wanita empat puluh tahunan nan cantik tersebut.
"Jangan bikin aku malu! Kalau dibandingkan dengan dirimu, aku tidak apa-apanya. Selain cantik, kamu adalah seorang ibu yang hebat." Tanpa disadari pelupuk Rukata meneteskan air mata haru seirama heningnya di posisi Nana. Pemuda ini tampak sangat diam, sekadar duduk menundukkan kepala.
"Kamu selalu begitu, suka memujiku. Ayo, aku perkenalkan dengan anak laki-lakiku satu-satunya." Kushina menggaet lengan Rukata, menghampiri Nana yang kontan menengadah. "Ini Bibi Rukata, teman baik Mama sejak masa kecil dulu."
"Aduh, tampan sekali! Tadi aku tidak memperhatikannya. Pas dilihat-lihat, ya Tuhan ... tidak ada darah-darah Asia-nya ternyata. Tapi, mau Asia dari mana? Kamu yang masih ada keturunan Jepang pun juga tidak mencerminkan wajah asli penduduk lokal."
"Rukata, biarpun mukaku begini, jiwaku tidak bisa lepas dari kampung halaman. Kamu pikir apa alasanku hingga mau berusaha payah untuk kembali ke kota ini?!"
Lagi-lagi Rukata mengembangkan lengkung di bibirnya. "Aku benar-benar senang kamu mau pulang. Sendirian di kota ini terasa menyedihkan."
"Kamu sih, punya kesempatan menikah bukannya diambil."
"Kamu sendiri kenapa tidak mau?"
"Kalau aku ya jelas tidak bisa berpaling. Putraku sudah dewasa, Rukata. Daripada aku yang menikah, lebih baik menunggu jodoh anakku dan menikahkannya." Agaknya mereka lupa terhadap presensi gadis muda di sana. Tak jarang percakapan di dalam sebuah reuni menyebabkan pelaku-pelakunya tergiring suasana, untuk lalu terkesan tak mengacuhkan sekeliling.
"Bila di posisimu aku pun bakal bertindak serupa. Anak setampan ini, siapa yang rela meninggalkannya?" Rukata terdengar lihai bermain kata, meski di situ Nana tidak menampakkan perubahan pada rautnya. "Wah, Kushina—anakmu dingin sekali, ya. Biasanya orang-orang akan tergoda ucapanku." Sementara, Hinata cukup tersentak setelah menangkap penuturan barusan. Bukankah berarti dia merupakan salah satu korbannya? Berujung, gadis itu diam-diam mendesah pasrah.
"Kamu ini memang paling bisa berkata manis ya, Rukata." Kushina menyeringai sungkan, Semoga putraku tidak menyulitkanmu nanti. Aku yakin kegembiraanmu akan cepat menular padanya." Si empu nama kontan tertawa lepas sebelum pandangnya menandai Hinata yang sejak semula tak kebagian kesempatan bicara.
"Ada satu orang yang lebih pantas menerima ucapan semangat darimu. Sini, aku perkenalkan kamu dengannya!" Praktis Kushina mengikuti tiga langkah tungkai Rukata berpindah, "Dia Hinata, gadis yang akan menjadi teman putramu di apartemen ini. Aku sudah jelaskan kemarin 'kan? Berterimakasih lah padanya karena bersedia membantu kita."
"Siapa gadis ini? Dia sangat menggemaskan, apa dia masih sekolah?!"
"Aku mahasiswa!" Hardikan tersebut tak pelak mengakibatkan Kushina terkesiap, melongo kaget sambil memperhatikan muka Hinata yang sejujurnya di batin dia terlihat menggemaskan untuk gadis sepantaran.
"Berapa usiamu?" tanya Kushina berikutnya jangka senyuman terukir amat memukau di parasnya.
"Delapan belas tahun."
"Baiklah!" Semua orang di sana melirik ke arahnya ketika wanita ini bersedekap dengan penuh antusias, termasuk putranya. "Kamu dan Nana akan cocok—"
"Ma, jangan mengatakan yang tidak-tidak!" Nana spontan mengutarakan protesnya.
"Ya Tuhan ... Kushina, suara anakmu bikin merinding."
"Rukata, kamu ini!"
"Aku tidak menyangka dia punya suara yang begitu candu di telinga."
"Rukata, aku tidak bisa berbuat apa-apa jika Nana marah padamu."
Berulang-ulang Kushina mengingatkan, menggeleng-geleng di saat Rukata sibuk mengagumi putranya. Wanita itu terus berkedip-kedip, menangkup sepasang telapaknya dan manjadikannya penopang dagu. Menyaksikan gelagat demikian, Nana perlahan-lahan merasa malu. Diamati segitu intensnya menyebabkan si pemuda berambut pirang mendadak bingung.
"Hei, Rukata! Banyak yang kita obrolkan, tetapi kamu tidak mengajak kami untuk minum teh." Teguran sekian semata-mata pengalihan bagi temannya itu. Kushina sekadar menghindari suasana hati putranya kian memburuk, enggan hal tersebut terjadi setelah dia bersusah payah membujuknya.
"Maaf. Maaf ya, temanku." Alhasil, Rukata beringsut ke dapur yang letaknya tak jauh dari tempat mereka berbincang-bincang. "Biar tehnya aku seduh sebentar—aku hampir menyediakannya juga tadi. Dan setelah kupikir-pikir, teh yang sudah dingin rasanya kurang nikmat." Ada saja celotehnya tanpa perlu berpikir mencari-cari topik khusus sebagai pembahasan.
"Kamu yang memasak semua kue ini?" Ke dua kalinya Kushina lalai terhadap keberadaan putranya. Di lain fakta, Hinata kembali melirik ragu-ragu si pemuda. "Nana, ajak teman barumu kemari, Nak!" Sementara, putranya itu seketika memalingkan wajah serempak Hinata merunduk kikuk seraya meremas jemarinya.
"Kemari saja, Hinata. Kamu harus bergabung agar dapat mengenal Kushina dan putranya lebih jauh. Itu bakal mempermudah interaksi kalian nantinya." Mau tidak mau si gadis beranjak menuju pantry, menduduki kursi kosong di sebelah kiri Kushina.
"Kamu pasti tidak nyaman, ya?" Bagai sebentuk kejutan, Hinata memang sungguh terperangah atas pengakuan barusan. Kendati, di lubuk hatinya terang menyetujui kalimat ini. "Anakku sedikit sulit beradaptasi. Aku terlalu membatasi dunianya. Lalu, kini terlambat untuk membenahi atau mengulang segalanya dari awal. Butuh kesabaran ekstra dalam menghadapi argumennya. Jika aku merasa tidak sanggup berdebat lagi, aku hanya akan memperlihatkan perasaanku saat menatapnya. Apabila sudah seperti itu, dia yang akan mengalah."
"Ehm, maafkan kata-kataku ... tapi, dia menakutkan."
"Siapa yang menakutkan?" Berujung, Hinata pun melongo di tempat seolah bola matanya hendak melompat keluar jangka mendapati Nana Maxville tiba-tiba berdiri di samping dia.
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
Met You Before
RomanceMigrasi ke Tokyo, Nana Maxville sungguh membenci gagasan ibunya untuk menetap di kota itu. Dia terpaksa menyetujui pilihan Kushina, meski fakta menunjukkan bahwa dia tidak menemukan solusi cadangan, mengingat ibunya lah satu-satunya keluarga yang di...