🌝5🌝

210 35 12
                                    

Begitu Nana Maxville pergi, Nyonya Rukata sudah memutuskan untuk duduk dan menikmati sarapannya bersama dengan Hinata. Dia tampak sedang menunggu gadis itu membersihkan diri, selagi dia pun cengengesan entah disebabkan apa. Meski semula keduanya beradu argumen mengenai sungkan tak sungkan, pada akhirnya dia pulalah yang memenangkan perdebatan itu. Tidak seorang atau siapa saja mampu menolak buaian manis dari bibirnya.

Sembari asyik dengan pemikirannya sendiri, Nyonya Rukata menambahkan sedikit gula ke dalam secangkir teh yang baru dia tuang. Dia memang penggemar rasa manis. Hanya saja, terkadang dia membutuhkannya untuk menyokong kegembiraan yang tengah dia alami. "Aku seperti baru memiliki anak saja, menyenangkan sekali ya ternyata," monolog dia di situ. Tak lama berselang, Hinata kembali dan sekarang wajahnya tampak lebih segar.

"Kamu mandi?"

"Hum. Maaf jika membuat Anda menunggu, Nyo-ah, maksud saya, Bu." Lirikan kecil tanda peringatan mengendalikan perkataan yang hendak terucap, hingga dia bergegas mengganti kata-katanya.

"Sesekali tidak apa-apa kalau kamu lupa. Tapi, jangan dibiasakan, ya," tanggap Rukata sambil menarik sudut-sudut bibirnya. "Kamu suka teh yang manis atau tawar, sayang?"

"Tawar, Bu."

"Oh, kupikir suka manis sama sepertiku. Berarti kamu juga tidak menyukai kue-kue tar dengan krim beraroma manis."

"Aku menyukai kue-kue manis, Bu. Hanya untuk meminum teh aku lebih suka yang tawar."

"Kurasa semua orang pasti gemar makanan manis. Aku sendiri tidak akan melewatkan kesempatan untuk menikmatinya jika ada di depan mata." Rukata mulai mennaruh nasi ke piring Hinata dan ke piringnya. Itu adalah nasi goreng yang diberi sea food. "Kamu alergi makanan laut?"

"Tidak, aku tidak bermasalah dengan jenis makanan apapun."

"Syukurlah. Aku sering mencampur udang atau cumi-cumi ke dalam mie dan nasi goreng, agar proteinnya lebih banyak. Aku hanya menumiskannya sebentar, supaya teksturnya tidak alot. Dan lagi aku menghindari risiko kolesterol naik untuk makanan laut yang dimasak terlalu lama. Sebaiknya jangan pernah lakukan ini. Makanan laut juga gampang matangnya, cuma sekian menit saja." Lambat laun Hinata akan terbiasa terhadap ocehan Rukata. Terbukti saat kini dia bisa merespons cerita wanita baya itu dengan seringai lepas. "Ambil sendiri sayurannya, ya. Menjaga pencernaan penting bagi kesehatan."

"Aku tidak menyangka Ibu hobi memasak. Ini mengingatkanku pada ibuku di rumah. Dia juga selalu mengutamakan komposisi dari apa yang kami makan. Harus seimbang dan bukan asal enak saja."

"Wah, ada kemiripan dalam cara pikir kami agaknya. Kapan-kapan bolehlah kamu mempertemukan aku dengan ibumu. Siapa tahu kami bisa menjadi teman yang cocok. Temanku sangat sedikit, dan awetnya hanya sama Kushina. Meski terpisah Samudera sekalipun, kami bakal mencari jalan supaya dapat terus berkomunikasi."

"Ibu Kushina juga kelihatan baik. Kalian berdua sangat baik padaku. Untuk hal itu aku benar-benar berterimakasih, Bu."

"Ah, kamu ini berlebihan sekali!" Serta merta Rukata tertawa girang seraya menutupi mulutnya. Beruntung dia sudah menelan makanan yang tadi masih dikunyah. "Kalau Kushina sih sejak dulu memang begitu. Dia bukan tipikal yang tega menyakiti orang lain. Dia lebih suka pergi menjauh untuk menyembuhkan diri daripada melampiaskan kekecewaannya. Itulah alasan dia pergi dari Tokyo." Dan sekon ini juga Rukata melongo, menyadari bahwa dia sudah kelewat jauh berkata-kata. "Ya, ampun! Mulutku ini memang menyusahkan." Tersenyum sumbang menyesali kebablasannya, "Maaf ya, Hinata. Aku salah bicara, tolong lupakan apapun yang kamu dengar."

Sejemang mengangguk, Hinata juga menampakkan ketenangan pada rautnya untuk mempertahankan suasana hangat di antara mereka. "Ibu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan menyimpan di kepala sesuatu yang bukan urusanku."

"Kamu sangat dewasa, beruntung pria yang akan mendampingimu kelak." Acara sarapan mereka tetap berlangsung. Obrolan diselingi lelucon juga terdengar mengiringi. "Omong-omong, bagaimana perkenalan kalian semalam?"

"Ya?"

"Kamu dan Nana sudah berkenalan 'kan? Aku hanya ingin mendengar seperti apa reaksinya. Dia agak sulit diajak berbincang. Makanya aku kaget begitu dia mau menyahut sapaanku tadi." Serentak Hinata mengembuskan napasnya. Dia mendadak bimbang harus menjawab apa. Faktanya, pemuda itu bukan sekadar sulit bicara. Tetapi, sikapnya pun susah ditebak.

"Apa yang bisa aku katakan, Bu. Mungkin dia tidak menganggapku seseorang yang perlu diperhatikan."

Kontan Rukata mendesah panjang. "Bersabarlah lagi. Dia pemuda yang tampan dan misterius. Jika saja aku masih seusiamu, barangkali aku sudah menyusun berbagai siasat untuk menaklukkan hatinya. Dia itu betul-betul tipe lelaki idamanku. Mendiang suamiku juga seperti dia awalnya. Jual mahal, agak sombong dan sering membuatku kesal. Tapi, ketampanan jadi nilai plus yang tidak bisa dibuang begitu saja. Ada kebanggaan tersendiri saat kita dapat bergandengan dengan laki-laki bertampang cool." Bagaikan air mengalir, Rukata yang periang menimbulkan warna baru bagi hari-hari Hinata yang datar membosankan. "Semoga kalian berjodoh." Kemudian, ucapan sembarang ini mengakibatkan Hinata tersedak makanannya. Gadis itu terbatuk-batu. "Astaga, Hinata! Kamu baik-baik saja?! Tidak usah buru-buru. Ayo, minum!"

-----

Sinar mentari pagi, kicau burung-burung kecil di pepohonan, juga suara rendah dari berpasang-pasang tapak kaki di taman berkumpul menjadi sebentuk harmonisasi menenteramkan bagi Nana Maxville. Telinga sengaja dia sumbat mengenakan earphone yang sebenarnya tidak menyala. Di kursi kayu tepatnya di bawah rindang dedaunan mapel, pemuda ini memejamkan mata sembari menyandarkan punggung dengan leher menengadah. Sisa-sisa peluh masih menghiasi keningnya. Dia memakai bandana hitam guna menahan ke atas helai-helai rambut yang mengusik ke mata. Tidak ada yang lebih baik dari relaksasi semacam, Nana Maxville menikmati situasi demikian seumpama hiburan dan mengikis rasa kecewa terhadap ibunya.

"Akhirnya ada hal positif yang bisa aku sukai dari tempat ini."

"Permisi!" Kelopaknya sontak terbuka, menegakkan punggung untuk melihat gerangan yang menegurnya. "Apa aku boleh duduk di sini?" Pandangan si Maxville bergulir ke samping sebelum tubuhnya bergeser begitu saja. "Haah! Lega sekali rasanya. Betisku tegang karena kelamaan berlari-kamu pasti pendatang 'kan? Terima kasih, ya sudah membagi tempatmu padaku." Tak sepatah kata pun Nana Maxville merespons pemuda ini. "Aku Nara Shikamaru, bisa kutahu namamu? Sepertinya kita seumuran."

"Nana Maxville."

"Keren juga namamu. Masih sekolah, ya?"

"Aku sedang mencari Universitas yang cocok."

"Jadi, dugaanku tidak meleset. Kita sepantaran. Maaf jika omonganku ini membuatmu risi. Tapi, aku tidak keberatan berteman denganmu. Mungkin kamu butuh teman untuk memilih Universitas bagus yang sesuai minat belajarmu, kita bisa sama-sama mencarinya."

"Aku tinggal di apartemen yang ada di belakang taman ini."

"Ah, gedung silver itu, ya." Dan Nana praktis mengangguk singkat. "Baiklah, siang ini aku akan menunggumu di lobi. Kuharap kamu tidak memberiku omong kosong, Maxville. Sampai jumpa, teman baru." Pemuda itu, pemuda dengan model rambut bersanggulnya kembali mengayun langkah lebar meninggalkan Nana Maxville.

"Yeah, dia juga lumayan. Kayaknya tidak terlampau buruk untuk beradaptasi di kota ini."

------





Met You BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang