🌝6🌝

147 23 0
                                    

Di hari-hari sebelumnya Hinata bukanlah seseorang yang mudah terkejut. Kendali dirinya selalu stabil bahkan di waktu-waktu tidak terduga. Namun, baru semalam berjalan sehari Nana Maxville berada di sekitarnya dan dia dibuat bingung untuk ritme jantungnya yang sering naik akibat kaget oleh setiap kelakuan pemuda itu. Seperti sekarang di mana Nana Maxville kedapatan hanya mengenakan handuk di pinggangnya dengan punggung telanjang. Tubuhnya menghadap ke jendela kaca berukuran cukup lebar, dalam kondisi terbuka hingga dia langsung menikmati gedung-gedung pencakar langit sejauh pandang. Barangkali gara-gara fokusnya si Maxville mengeringkan rambut, dia sampai tak menyadari presensi gadis di belakang dia. Hinata tercengang akan pemandangan di situ, kepayahan menelan saliva. Hendak memutar badan dan pergi, nyatanya tak semudah perkiraan. Bisa-bisa pergerakannya ketahuan. Lalu, mungkin saja tuduhan pengintip seketika disematkan baginya.

"Kau? Sejak kapan di sana?" Ya, Hinata menyesal telah memikirkan kemungkinan ini. Seharusnya tadi dia memang segera kabur.

"Aku baru menjemur pakaian, tidak tahu kau sudah pulang." Nana Maxville memperhatikannya, sedikitpun kegugupan Hinata mengusik aktivitasnya.

"Temanku menunggu di bawah. Kami berencana pergi dan tidak yakin kembali kapan." Penjelasan sekian cukup untuk membuat Hinata menarik perlahan-lahan napasnya, lega ketika si Maxville tidak mengomentari keberadaan dia. Pemuda ini justru sibuk mendekati lemari, mengambil pakaiannya serta mengenakan semua di depan Hinata. Spontan pula gadis itu memejamkan mata dini Maxville membuka handuk di pinggangnya. "Aku tidak mungkin menelanjangi diri untuk orang asing." Bagai sepenggal teguran, lantas Hinata menengok ulang seiring Nana Maxville rampung memakai seluruhnya dengan sangat rapi. "Ada apa denganmu? Seperti melihat hantu saja."

"Kau bisa memakai baju di kamar mandi—aku tidak bisa menebak saat kau di sini atau di luar."

"Santai saja. Aku tidak akan meneriaki dirimu karena mengintip."

"Apa?! Kau—"

"Yah, kenapa denganku?!" Nana Maxville tertawa sumbang sembari memperhatikan gadis di sampingnya tengah memelototi dia. "Silakan!" Segaris tipis bibirnya tertarik sebelum dia melewati Hinata. Nana merasa bahwa menghadapi gadis itu bukanlah perkara sulit. Berkebalikan terhadap Hinata di mana dia membutuhkan kepercayaan diri lebih besar untuk bisa menangani perilaku pemuda ini.

-----

Setibanya di lobi, mudah bagi Nana Maxville menemukan presensi Shikamaru si pemuda yang baru dikenalnya di taman beberapa saat lalu. Pemuda itu memperhatikan gelagatnya lamat-lamat dengan tangan bersedekap, seakan hendak memprotes langkah Nana yang terbilang santai.

"Ternyata kau tidak berbohong."

"Kau berpikir begitu?!" Nana menaikkan sebelah alisnya, cukup terusik oleh prasangka tadi.

"Sering terjadi pada siapapun. Apalagi kau dan aku masih asing satu sama lain. Dan tadinya aku tidak berharap lebih jauh untuk ini. Sekadar membuktikan saja."

"Yah, masuk akal menurutku."
Mereka tidak tampak seperti dua orang yang baru saling mengenal, melainkan dapat berjalan beriringan layaknya teman.

"Fakultas apa yang kau pilih?"

"Entahlah. Aku benar-benar belum mempertimbangkannya sampai sekarang. Aku terbiasa mendiskusikan keputusan yang ingin kubuat dengan ibuku. Tapi, gara-gara masalah belakangan ini segalanya jadi ikut terbengkalai."

"Apa kau tidak tertarik hukum?"

"Hukum?!"

"Banyak yang bilang akan menjanjikan di masa depan."

"Tidak, terima kasih. Aku tidak pandai bersilat lidah. Orang-orang mungkin langsung membenci jika akulah yang jadi pengacara mereka."

"Kau hanya perlu menyelamatkan klienmu dari masalahnya."

"Kenapa bukan kau saja?" Nana sampai menghentikan langkah saking terganggunya dia oleh obrolan sekian. "Aku sama sekali tidak tertarik pada hal-hal yang kau sebutkan."

"Aku penasaran. Tapi, tidak punya alasan bagus untuk mencoba. Bisa berbeda jika mengajak seorang teman."

"Kita tidak berteman!" Si pirang ini mengayunkan lagi kaki-kakinya yang jenjang. Sedikit rasa kesal mendorong Nana untuk mempercepat jalannya.

"Hei, ayolah! Aku tidak memaksa. Itu cuma saran, oke? Aku juga tidak keberatan berteman denganmu." Shikamaru berlari mengejar pemuda yang sejak awal penglihatan dia telah berhasil menarik perhatiannya. "Ini kesempatanku memiliki teman dari luar negeri—banyak yang aku temui sebelum kau. Tapi, entah kenapa aku sangat penasaran padamu." Sangat mudah pemuda bersanggul ini memancing kernyit di dahi Nana. Kali ini pun demikian.

"Kau penyuka sesama jenis?" tanya si Maxville terang-terangan. Tentu kefrontalannya menyebabkan Shikamaru terkejut, dia tercengang bingung.

"Apa terlihat seperti itu bagimu?"

"Mungkin." Kedua tangan dilipat ke dada dan Nana tiada sungkan menaruh tatapan intensnya terhadap Shikamaru.

"Aku punya pacar dan kami juga sudah melakukan seks. Apa itu bisa mengubah pandanganmu?" Namun, Nana Maxville lagi-lagi terburu mengangkat kakinya. "Maxville, maaf kalau perkataanku mengganggumu. Aku tidak akan meneruskannya."

"Bagus. Sebaiknya kita tetap pada tujuan semula. Jangan buang-buang waktu!" Kemudian, Shikamaru berbesar hati menahan dirinya agar tidak berbicara. Setidaknya hingga mereka tiba di Universitas yang dituju.

-----

Universitas Tokyo, bergengsi sekaligus rumit. Dua pemuda kontras itu kompak memperhatikan dengan saksama. "Padahal aku sudah berulang kali kemari, tetap juga gedungnya menakjubkan setiap dipandang—kita masuk! Aku akan menjadi pemandumu hari ini. Sebagai informasi, mereka hanya menerima orang-orang cerdas." Ekor matanya melirik ke samping, mengira bahwa si Maxville siap mendelik ulang kepada dia. Syukurnya tidak dan fakta itu membuat Shikamaru mendesah lega.

"Apa kampus ini yang Mama maksud?!" Suaranya nyaris berbisik, bahkan Shikamaru yang hanya dua langkah darinya pun tak menangkap pernyataan barusan.

"Kita bisa menjelajahi seluruhnya bila kau mau."

"Tidak perlu dipaksakan. Mungkin aku bakal kemari lagi besok."

"Bukannya itu—Hinata!" Serta merta Shikamaru berteriak lantang sambil melambaikan tangannya ke arah gerbang. "Sebentar! Gadis itu teman sekolahku."

Di posisinya, Hinata menyadari dia kelu seiring tungkainya refleks menghampiri Shikamaru. Berusaha berpura-pura tidak mengenali Nana Maxville.

"Kau mencoba di kampus ini juga?" cetus Hinata begitu dia berada tepat di hadapan Shikamaru. Dia sengaja mengendalikan matanya supaya tidak menengok ke kiri. Kendati, Nana Maxville kentara lebih mahir melakonkan perannya. Pemuda itu sungguh bisa tampak seperti tidak peduli akan presensi gadis yang merupakan rekan berbagi ruang dengannya.

"Kampus ini paling banyak diminati, kau tahu 'kan?Selain akreditasi dan prasarana yang tersedia." Satu-satunya gadis di antara mereka mengangguk, menahan kepalanya sejenak tertunduk dan menggigit bibir bertepatan Nana Maxville mengamati gelagatnya itu. "Kami dulu bersekolah di SMA yang sama dan di kelas yang juga sama selama tiga tahun. Hinata ini termasuk siswa pintar—"

"Jangan melebih-lebihkan di saat kau sendiri juara umum di sekolah, Nara." Nana Maxville spontan meggulir pandangnya ke Shikamaru. Dia tidak peduli, sungguh. Melainkan terusik obrolan personal mereka. Hinata dan Shikamaru menggunakan bahasa nasional mereka dan itu sedikit menimbulkan kesan aneh bagi Nana Maxville. Lalu, dia putuskan pergi meninggalkan keduanya.

-----

Met You BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang