Drama Pekerjaan

137 23 0
                                    

Sejak pemerintah menghimbau perusahaan untuk melakukan work from home bagi yang tidak terlalu urgent, maka ayah pun menghibahkan ruang kerjanya untuk kupakai bersama Prabu ketika sedang bekerja secara daring. Ruang kerja ini berukuran sekitar 7 x 9 meter atau lebih, aku tidak bisa memastikan. Tapi ruangan ini cukup luas, terlebih ketika ayah memindahkan lemari buku yang tadinya berada di dalam sini.

Tadinya, ini adalah ruang kerja ayah. Sekarang, ayah memindahkan semua isinya ke galeri yang berukuran lebih luas dari ini dan masih muat diisi sebuah meja kerja berukuran seratus lima puluh senti juga dua lemari buku berisi koleksi ayah dan mama.

Namun hari ini, aku bekerja sendiri karena Prabu sedang ada keperluan mengurusi renovasi salah satu hotel yang sedang berjalan. Yap, meski finansial perusahaannya sedang tidak stabil, bapak mertuaku bersikeras untuk meneruskan pembangunan hotel yang baru berjalan tiga puluh persen saat pengumunan Presiden tentang kasus pertama pandemi. Hingga saat ini, pembangunan telah mencapai tahap tujuh puluh persen.

Oh, ini adalah masa tersibuk bagi kami di Kolls. Pasalnya, jika tidak ada pandemi, audit tahunan pasti terlaksana di saat seperti ini. Kupikir, dengan adanya pandemi, audit benar – benar ditahan sementara waktu. Tapi, ternyata aku salah. Headquarter memutuskan bahwa audit akan dilakukan daring dan tim akan melakukan audit data. Kami diminta transparansi dan menyertakan seluruh tim audit dalam internal pekerjaan.

Ini artinya kerja lima kali lipat dibandingkan audit tatap muka dan di lapangan. Aku pun membentuk tim yang akan fokus untuk menyiapkan segala keperluan audit, agar yang lain bisa tetap fokus menjaga omset.

Di taman, terdengar suara gelak tawa Tata. Aku sengaja membuka jendela untuk membiarkan udara berganti, tentu saja tanpa menyalakan AC. Juga, agar aku bisa terus mendengar suara anak – anak yang sedang bermain di luar sana dengan ayah.

Meeting panjang dimulai, arahan pak Gunawan tentang audit daring sungguh menegangkan. Aku bahkan sulit beranjak dari depan layar laptop, hingga mengirim pesan pada mama untuk memperhatikan si kembar karena aku benar – benar kesulitan 'kabur' dari sini. Kami bisa mengambil break lunch dan ibadah, tapi benar – benar harus kembali stand by dalam waktu singkat. Hingga waktu beranjak malam, mama masuk ke dalam ruang kerja dan menutupi jendela juga menyalakan AC. Aku tersenyum meminta pertolongan, tapi mama hanya melambaikan tangan dan kembali keluar.

Jam delapan malam, Prabu nongol di pintu ruang kerja sambil menyapa. Aku mengangkat wajah saat pak Miko sedang berbicara. Prabu menghampiri dan ikut masuk ke dalam layar, menyapa semua orang yang dikenalnya. Spontan saja pak Gunawan berseru saat melihat wajah Prabu berada di layar bersamaku.

Bapak – bapak participant pun temu kangen dengan suamiku yang duduk di pinggiran kursi yang tengah kududuki. Saling bertukar kabar dan situasi terkini, hingga akhirnya Prabu undur diri untuk menemani anak – anak yang masih 'berkeliaran' di ruang tv. Sebelum pergi, ia mengecup puncak kepalaku yang untung saja aku bisa membaca situasi dan bergeser sedikit agar kami tak tertangkap kamera laptop.

Meeting berlanjut hingga jam sebelas malam.

Jujur saja, WFH lebih melelahkan daripada bekerja tatap muka. Kadang, para petinggi malah jadi lupa waktu kalau kami juga butuh waktu untuk keluarga. Sehingga, meeting seperti ini menjadi berjam – jam, meski tidak seterusnya aku duduk diam di sana. Kadang aku ke toilet, bergerak ke dapur mencari cemilan dan mengisi botol minum yang kubawa. Atau membuat teh dan sesekali menggoda anak – anakku. Tapi tetap saja, rasanya tidak enak jika melakukan pekerjaan menjadi full time seperti ini.

Aku meregangkan tubuh dan menyadari jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Pak Gunawan pun menutup sesi meeting hari ini dan meminta kami kembali stand by besok setelah jam makan siang. Beliau meminta kami menghubungi tim masing - masing untuk memeriksa kesiapan audit. Kumatikan laptop dan menguap panjang sambil mengulat. Aku sungguh butuh rebahan.

Kuraih ponsel dan gelas kotor, mematikan AC juga lampu sebelum keluar.

Begitu masuk ke dalam kamar, aku tidak mendapati siapapun di dalam sana. Prabu tidak ada dan kasur kami sudah berganti sprainya. Ruangan juga sudah dingin dan wangi. Di atas nakas kulihat secarik kertas,

'Kamu butuh istirahat tanpa gangguan. Aku tidur sama anak – anak malam ini, tidur yang nyenyak ya Sayang. Jangan khawatirkan si kembar, mereka aman di tangan Bapak. – Suamimu yang tampan nggak ketolongan.'

Aku tertawa membaca namanya di akhir kalimat.

"Ganteng kok nggak ketolongan. Tsshhh."

Selesai mengganti baju, aku justru keluar kamar dan menuju kamar si kembar. Dan kudapati pemandangan paling manis yang menghiburku hari ini setelah didera drama meeting panjang seharian. Prabu tidur di tengah – tengah antara Tata dan Riri. Dengan Tata yang menguasai lengan kanannya dan kaki Riri yang tertumpang di atas perutnya yang tidak lagi rata – rata amat.

Aku pun mengambil tiga foto untuk kunikmati nanti dan mencium mereka semua sebelum kembali ke kamarku dan pergi tidur.

.
.
.

Pagi hari, aku bisa mendengar aktifitas di kamar mandi. Suara kucuran airnya membuatku terjaga dan kulihat tak lama, Prabu keluar dengan wajah basah. Dia baru saja berwudhu.

Dia mengusap wajah dan menyadari bahwa aku sudah bangun dari tidur.

"Wah, sudah bangun tah.. Mau cium kamu, tapi sudah wudhu." Dia melebarkan cengiran, aku mengulat manja membuat Prabu terkekeh mesra.

"Subuh dulu, kalau mau tidur lagi nggak apa – apa."

"Kamu wfh hari ini?" Aku bangkit dan melipat bed cover.

Sementara Prabu mengambil sejadah dan membentangkannya ke arah kiblat.

"Mau ke lokasi lagi, lunch di rumah kok tapinya."

"Huu, aku malah mulai meeting after lunch."

Prabu melirik jam di dinding, dari wajahnya terbit cengiran usil.

"Mumpung si kembar belum bangun, masih bisa morning sex."

"Bapak ih!" Aku mengomelinya, dia terkekeh dan menyuruhku untuk segera menyusulnya sholat subuh. "Tunggu aku dong Pak imam!"

Aku pun berlari untuk membersihkan diri sekalian mengambil wudhu.

Selesai sholat, aku menyalami tangan Prabu. Dia mengecup keningku cukup lama. Meski sudah empat tahun menikah dengan pria ini, aku masih saja merasakan debaran dada saat ia memperlakukanku dengan manis dan mesra. Atau, dia memang selalu memiliki cara untuk membuatku meleleh akan sikap – sikapnya.

"Jadi?"

"Hm?"

Aku mengangkat wajah saat hendak melipat peralatan sholat. Prabu mengernyitkan dahinya, pura – pura tidak suka akan wajah penuh tanya milikku.

"Morning..." Spontan saja kucubit perutnya yang kini mulai memiliki beberapa lemak. "Aawww."

Aku melihat jam dan kami masih memiliki waktu kurang lebih dua sampai tiga jam sebelum si kembar bangun dan mulai menginvasi kamar ibu – bapaknya. Prabu segera mengunci pintu begitu aku mengangguk setuju.

Setelahnya, kami hanya berbaring dengan kaki saling mengait. Bertukar cerita ringan seputar pekerjaan dan membuat rencana – rencana selanjutnya saat keadaan membaik di Dunia. Tangan Prabu mengelus rambutku dan sudah dengan begitu saja, aku yakin masih sanggup menghadapi audit hingga dua minggu ke depan.

•••

Oiya, kalau kamu mau baca cerita ini di Karya Karsa, ada paket Bundle SUPER HEMAT berisi 3 cerita chicklitku yang sudah tamat ; SILUET, STUCK 1 & STUCK 2 dengan harga 200rb dan MASA BERLAKU SEUMUR DUNIAAAAAAA, GEYS!!!! Kamu bisa cari di kategori paket yaaaaaa

Jangan sampai kehabisan, karena hanya tersisa 18 unit ajaaaaa >.<

GRAB IT FAST ;-)


STUCK # 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang