===
"Tadi ngajinya udah disimak belum, Mbak?" tanya Afifah sambil tersenyum simpul pada mbak terakhir yang setoran hafalan Qur'an kepadanya di ndalem mertua pagi ini.
Sambil tersenyum malu, mbak pondok itu menunduk dan menggeleng pelan. "Mboten simakan, Ning,"
Afifah menghela napas, ia sungguh harus telaten untuk terus-menerus melontarkan pertanyaan sedemikian agar mbak-mbak mau simakan dahulu dengan yang telah khatam Qur'an sebelum disetor agar kesalahan-kesalahan kecil bisa diperbaiki.
"Ya udah, berarti besok halaman ini di ulang lagi nggih?"
"Inggih, Ning."
"Di deres lagi berulang-ulang. 10 kali 20 kali 30 kali, udah sangat bagus itu, resiko yang harus dilalui para penghafal Al-Qur'an kan memang seperti itu, mau tak mau harus menjaganya agar Qur'annya sendiri tak mudhorati," pesan Afifah sambil menutup mushaf.
"Inggih,"
"Menghafalkan Quran itu sunnah, Mbak. Tapi menjaganya sangat wajib. Jangan disepelekan ya? Semangat!"
"Inggih, Ning." Hatinya senang sekali di nasehati langsung oleh ahlu, senyum tak berhenti mengambang hingga membuat banyak orang terheran-heran.
Setelah itu Afifah beranjak dan melihat langit sudah terang benderang.
Seperti inilah rutinitasnya sejak datang sebagai menantu Kalapaking. Selain diamanahi mengajar madrasah dan menyimak hafalan Quran santri, di tengah padatnya jadwal itu Afifah tetaplah seorang istri dan ibu yang tak boleh lalai dengan urusan keluarga kecilnya.
Dikatakan berat, jujur iya. Terlebih jika melihat sebayanya bersenang-senang di luar sana tanpa diberatkan tanggungjawab. Tapi apa boleh buat, ia tak boleh egois, harus sadar diri telah Allah beri kemudahan untuknya menghidup-hidupkan Islam.
Di akhir zaman ini, di mana dunia semakin tua dan kehidupan masyarakat mulai asing dengan syari'atnya sendiri, Gus Ibrahim sering mengingatkan agar banyak-banyak bersyukur karena ditempatkan dalam lingkup agamis, tempat yang mengajarkan bagaimana dicintai dan mencintai Allah, Rasul, dan Kitab-kitabnya.
Masku🤍
Udah selesai belum, Dik?Anda
Baru selesai MasMasku 🤍
Mas tunggu nggih❤️Mengingat Gus Ibrahim harus mengiringi lamaran, lantas ia pun menelpon Pak Wahab supir kyai untuk selalu direpotkan.
📞 Afifah: Hallo ....
📞Afifah: assalamualaikum Pak, minta tolong ya ..., seserahan di ruang Kidul itu semua taruh bagasi, habis ini kita langsung berangkat.
📞Afifah: nggih, matur nuwun
Langkah dipercepat karena harus segera tiba di Albasyari, selain memang ada jadwalnya ngaji di sana, Pak suami pun diminta hadir lebih awal untuk ikut serta mempersiapkan keperluan mempelai.
"Ayluf mana, Mbak? Udah dimandiin, kan?" tanya Afifah pada Asri sesampainya di rumah dan melihat perempuan itu tengah merapikan keperluan putrinya.
"Mbak Ayluf di gazebo Ning dengan Gus Ibrahim. Inggih, sudah mandi."
"Ya udah sampeyan masuk mobil sekarang, kulo ambil kitab dulu di kamar,"
"Inggih."
"Maas, nggo berangkat!" ajaknya pada sosok ayah yang tengah mengajari putrinya membaca surat-surat pendek sejak setengah jam lalu karena baru selesai setelah melakukan aktivitas yang tak jauh beda dengan Afifah sejak subuh tadi.
Sadar diri sebab tadi malam belum sempat membuka kitab, alhasil selama perjalanan ini fokus Afifah hanya muthalaah ditemani suara celotehan anak bersama suaminya.
"Mas, basuhan wudhu kedua dan ketiga itu gak bikin tetesannya mustakmal kan nggih?" tanya Afifah memastikan.
Sembari menjawab, Gus Ibrahim asik mengecup pipi gembul putrinya. "Inggih, basuhan pertama itu wajib yang menjadikan tetesannya mustakmal, sementara kedua dan ketiga itu hanya sunnah, jadi nggak kalo mustakmal,"
"Aba, mustakmal itu apa?" tanya Ayluf terlihat ingin tahu sekali.
"Aba di sayang dulu nanti baru di jawab," ia menyodorkan pipi yang membuat Afifah tertawa sementara putrinya memanyunkan bibir. "Ah, gak mau ya udah,"
Ayluf pun mau tak mau mengecup pipi kanan kiri Abanya untuk mendapat jawaban. "Udah,"
Gus Ibrahim tersenyum lembut lalu mengusap kepala putrinya yang berada di pangkuan dan menghadapnya. "Mustakmal itu air suci tapi tidak mensucikan, contohnya air bekas wudhu atau mandi besar,"
Ayluf mengangguk-angguk sok paham.
"Di mengerti, Sayang?"
Ayluf menggeleng, membuat kedua orangtuanya tertawa.
Gus Ibrahim tak mengekang putrinya untuk cepat tanggap, seribu kali memberi jawaban yang sama atas pertanyaan yang diulang-ulang pun ia tak masalah.
Saat ini putrinya masih dalam tahap pengenalan Islam. Sementara esok dan selamanya dia akan bersyariat, jadi tak perlu tergesa-gesa tuk mengerti karena pada akhirnya putrinya akan belajar seumur hidup.
Menengok sisi lain di mana di mobil ini juga terdapat santri-santrinya, secara langsung ia mencontohkan bagaimana harusnya sikap seorang ayah yang tak perlu gengsi hanya karena akrab dan menunjukkan kasihnya pada anak agar kelak tidak tercipta jarak antara kedua hubungan itu.
~~~
Semuanya sudah siap. Seserahan, kendaraan, dan sebagainya termasuk dia sendiri sebagai calon mempelai telah merampungkan persiapannya.
Di ujung sudut yang tak dapat semua orang liat, matanya tak henti menyusuri, mencari, dan memperhatikan tiap-tiap tempat yang bisa terlihat, namun, selalu sosoknya belum juga hadir lama sekali, sejak dia berharap jika inilah iring-iringan terakhirnya sebagai pamitan untuk mulai ikhlas dan menyerah.
Njenengan di mana? Untuk yang terakhir, jangan biarkan Kulo berharap karena ketiadaan lagi, Ning.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takkan Usai (NK 2)
SpiritualAkan berujung di mana langkah dan lembaran abu-abu ini setelah tanpamu? Kini sepanjang hidupku hanya berisi bagaimana kumenjalani hari dengan terus belajar mengikhlaskanmu. Aku mencintaimu, sungguh. Engkau telah hidup di hatiku bagai kehidupan dala...