05. "Bukan Seperti Itu Maksudku, Gempa"

622 59 5
                                    

Mata Gempa berkelana dari satu titik ke titik lainnya, memperhatikan berbagai macam perabotan dan dekorasi ruangan rumah mereka.

Rumah mereka setidaknya memiliki dua lantai. Meskipun Gempa belum melihat secara keseluruhan, dia dapat memastikan tempat yang akan dia tinggali ini cukup luas.

"Yay! Akhirnya Kak Gemgem sudah pulang!" Sorak Duri.

Gempa mengangguk sembari tersenyum, "Rasanya lega sekali karena sudah tidak tidur di ranjang rumah sakit lagi."

Halilintar menyentuh bahu Gempa, "Apakah kamu masih mengantuk? Kalau iya, lebih baik istirahat saja di kamar."

Ketujuh bersaudara semakin masuk ke dalam ruang tamu. Terdapat beberapa sofa empuk berwarna cokelat dengan meja batu berbahan marmer. Pot bunga tanah liat berisi peace lily dan kotak tisu berhias kerang-kerangan tampil cantik memanjakan mata. Terdapat pula lukisan abstrak yang menggantung di salah satu dinding ruangan.

Gempa menggelengkan kepala, "Enggak kok, Kak Hali. Mataku sudah segar kembali, aku ingin melihat-lihat sebentar."

Halilintar tampak berpikir sejenak, dia menatap langsung ke manik emas Gempa. Sang adik memberikan seulas senyum manis padanya.

"Baiklah kalau begitu. Biar aku saja yang menemanimu," si sulung menawarkan diri. "Yang lainnya bisa taruh dulu barang bawaan kalian dan bersiap untuk makan siang."

Taufan menanggapi, "Yah... padahal aku mau ikut menemani Gemmy."

"Tapi enggak apa-apa deh, aku akan tunjukkan kepada adikku tersayang seberapa hebat chef ini memasak!" Taufan menepuk pelan dadanya sendiri dengan bangga.

"Ayo Ice, bantu aku," sang kakak kedua menarik tangan Ice tiba-tiba dan menyeretnya ke arah dapur.

Ice hanya bisa menurut sambil menghela napas. Dia menitipkan barang bawaanya pada Solar yang tidak sempat protes.

"Oke deh, aku dan Duri akan meletakkan baju-baju kotor ke ruang cuci," Blaze mengambil beberapa tas yang tergeletak di lantai.

Duri memasang ekspresi kecewa, "Tapi Duri masih mau bersama Kak Gemgem," wajahnya dibuat memelas.

Gempa mengelus kepala adiknya dengan lembut, "Nanti kamu bisa menyusul kami, kok. Tenang saja."

Solar mulai melangkah ke ruang tengah untuk meletakkan stoples-stoples berisi camilan yang sempat dibawa ke rumah sakit di meja, "Kalau mau langsung bersama Kak Gem, ayo cepat bereskan dulu."

Blaze juga segera menyusul ke arah si bungsu pergi.

Duri mengangguk tanda mengerti, dia akhirnya mengikuti langkah Blaze ke ruangan yang berada di sisi belakang rumah, yaitu ruang cuci baju.

"Jadi, kita mulai berkeliling dari mana, Kak Hali?"

Halilintar mulai mendorong kursi roda adiknya dan menjawab, "Dari yang paling dekat saja. Kita ke ruang tengah."

Ketika sampai di ruang tengah, dapat dilihat ruangan tersebut cukup luas. Terdapat televisi 20 inci di atas meja cokelat muda yang berdempetan dengan dinding. Di depannya telah berbaris sofa panjang dan tunggal berwarna merah maroon yang empuk serta meja segiempat panjang berwarna putih. Beberapa bantal berwarna cream berjajar rapi pada sofa.

Meja persegi berada di kedua ujung sofa dengan lampu duduk berdiri di atasnya. Karpet lembut berwarna abu-abu muda tergelar nyaman di bawah meja panjang.

Solar yang telah selesai mengeluarkan stoples berisi camilan dan meletakkannya di meja, memilih untuk pamit pergi membereskan tas berisi bajunya sendiri di kamar kepada kedua kakaknya.

RepairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang