-ꦱꦼꦭꦩꦠ꧀ꦩꦼꦩ꧀ꦧꦕ-
(Selamat membaca
.Desiran ombak terdengar meriah di telinganya. Air matanya menetes tanpa isakan yang keluar dari bibirnya. Helaan nafas terasa begitu berat untuk dilakukan.
Menatap ombak yang hampir mengamuk di depannya dengan kekecewaan yang sangat mendalam.
Lelah.
Sedikit tersentak kala rasa dingin dari air laut kini sudah menyapa kaki telanjangnya dengan lembut.
Bisakah semua hilang saja?
Zeja lelah.
Zeja ingin pulang.
"Pulang Zeja." ucap suara bariton yang berada di belakangnya.
Tidak mempedulikan pemuda yang berada di belakangnya, matanya terfokus pada laut.
Adiajeng Zeja Ayu Indriaji gadis penyuka laut dan senja yang memiliki seribu beban di pundaknya.
"Pergi Anta." ucap Zeja datar.
Rasa marah dan kecewa kembali mengisi relung hatinya, kebencian yang mendalam dapat dirasakan di sekelilingnya.
"Pulang Zeja." ucap Antasena menekan dan tidak terbantah.
Gasta Antasena Joditya calon tunangan dari Zeja. Pewaris dari keluarga Joditya yang hampir sempurna. Pemuda dengan segala sifat tenangnya itu dapat membuat apa saja berada di bawah kuasanya.
Sang Joditya.
"Lo dengar dengan jelas apa yang gue omongin Anta, pergi. Sekarang juga. Biarin gue disini." balas Zeja sarkas. Dia perlu melampiaskan segalanya.
"Gua kasih waktu 15 menit, gua ada di bawah pohon beringin ujung sana. Kalau dalam waktu 15 menit lo nggak dateng ke gua, gua pastiin lo bakal gua seret dan pulang ke rumah." ucap Antasena lalu pergi begitu saja dari belakang tubuh Zeja.
Tubuh Zeja luruh ke bawah, memejamkan matanya membiarkan air matanya jatuh bercampur dengan air laut.
Sialan.
-ꦄꦩꦺꦂꦡ-
Antasena menatap dalam ke arah cincin yang tersemat di jarinya dengan pandangan yang sulit diartikan. Ia sekarang sudah resmi menjadi tunangan dari seorang Adiajeng Zeja Ayu Indriaji.
Gadis yang baru dua hari ini ia kenal.
Matanya bergulir menatap Zeja yang berada di ujung ruangan yang tengah duduk di lantai dengan tangan yang bertumpu pada paha ibunya.
Mereka berbicara dengan nyaman, ibunya Saraswati mengusap sayang rambut sebahu milik Zeja.
"Le, blangkon-nya mana?" suara Waryo, ayahnya menyapa gendang telinga Antasena.
"Di meja makan, Antasena kelupaan tadi." balas Antasena.
"Ambillah, kita harus menyambut tamu setelah ini. Tunanganmu dimana?" tanya Waryo sambil berkaca di dekat Antasena.
"Lagi bicara sama ibu. Dipojokan." balas Antasena lalu bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah ranjang mengambil keris yang berada disana dan memasangnya di balik punggung tegap miliknya.
"Cantik banget sayangku ini." ucap Waryo ikut mengelus rambut Zeja.
"Iya kan mas, cantik. Apalagi pakai perhiasan keluarga kita. Wuayuu tenan!" ucap Saraswati memuji.
Zeja tersenyum tipis pada kedua pasangan paruh baya itu.
Antasena menatap Zeja yang kini tengah menggunakan anting bulat yang turun temurun dari keluarganya. Zeja terlihat anggun dengan anting itu. Ia menyukainya. Zeja terlihat menawan di mata Antasena.
"Bangun sayang, kita harus pakai sanggul sekarang." ajak Saraswati membuat Zeja bangun tanpa merasa ribet dengan jarik yang kini tengah ia gunakan.
"Aku ke depan dulu ya." pamit Waryo lalu mengecup kening Saraswati.
"Iya, nanti aku nyusul." balas Saraswati lalu mulai menata rambut Zeja.
"Sayang, ibu titip Zeja ya disini. Nanti kalian keluarnya bareng ya! Ibu mau ambil sesuatu dulu." ucap Saraswati pada Antasena lalu melenggang begitu saja tanpa mempedulikan balasan Antasena.
Mata Zeja terpaku di kaca yang berada di depannya, kaca rias itu memantulkan bayangan dirinya dan Antasena yang berada di belakangnya dekat ranjang Saraswati.
Tatapannya terpaku pada tatapan dalam bagaikan lautan dari Antasena. Memiliki rasa untuk menatap mata itu sampai kapan pun, menyelami tatapan itu tanpa batasan.
Langkah Antasena membawanya berada tepat di belakang Zeja.
Tangan besar Antasena bergerak lembut menyingkap rambut Zeja yang menghalangi wajahnya. Darahnya dan darah Zeja berdesir dengan kencang, mulai mengalir dengan deras di diri mereka masing-masing.
Terlihat kegugupan dari kedua pasang mata itu, namun tidak membuat mereka memutuskan kontak mata.
Tangan Antasena bergerak memainkan anting bulat yang berada di telinga Zeja membuat Zeja mendongak menatap Antasena yang tengah menampilkan mimik wajah yang sulit dijabarkan yang kini juga tengah menatap dirinya.
Tangan kanan Antasena bertumpu dengan meja rias di depan sana, mengukung Zeja di bawahnya.
Tangan yang awalnya memainkan anting itu, kini berada di garis rahang Zeja. Mengelus perlahan disana. Jarak antara mereka berdua mulai terkikis dengan lembut.
Antasena meneliti riasan di wajah cantik Zeja. Dari alisnya, ke rona merah tipis di pipi, bibir yang terpoles lipstik sedikit tebal berwarna maroon, lalu berakhir ke mata cantik yang terhias bulu mata dan eyeshadow.
"Cantik." bisik Antasena yang hanya terdengar oleh Zeja.
Tubuh Zeja menegang mendengar bisikan maut Antasena.
-ꦧꦼꦂꦱꦩ꧀ꦧꦸꦁ-
(Bersambung)
.
Matur Suwun*Le : panggilan untuk anak laki-laki.
*Blangkon : penutup kepala dalam tradisi jawa.
*Sanggul : penataan rambut yang ditarik menjadi satu ke belakang.
*Wuayu/ayu : cantik dalam bahasa Jawa.DITULIS : 27 Maret 2024
DIPUBLISH : 4 MEI 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
ꦄꦩꦺꦂꦡ (AMERTA)
Novela JuvenilDisini, di kota Yogyakarta Zeja dan Antasena terikat. Terikat dengan ikatan yang sulit untuk dijabarkan. Mereka terikat dengan hubungan yang hampir sakral, mereka melakukannya tanpa perasaan khusus yang mendominasi. Kehampaan dan kekosongan mengisi...