14. Pengorbanannya

963 150 48
                                    

Gibran dan Nadine saat ini tengah berjalan perlahan dengan Nadine yang mendorong kursi roda yang di gunakan oleh sang anak. Ya, mereka tengah berjalan menuju ruang ICU, tempat dimana sang anak bungsu masih terbaring lemah di dalam sana. Setelah Orion mengetahui fakta tentang kecelakaan sang adik, Nadine pun langsung menghubungi Gibran untuk segera datang ke rumah sakit, dan tentu Gibran sebagai kepala keluarga pun langsung datang.

Awalnya dokter Arlen sama sekali tak mengizinkan Orion untuk keluar dari kamar rawatnya, mengingat anak menggemaskan itu masih dalam kondisi yang sangat sangat rentan dan butuh pengawasan ketat, ia takut jika kondisi Orion kembali menurun lagi. Namun bukan Orion namanya kalau tidak keras kepala. Ia terus menerus merengek pada dokter Arlen dan kedua orang tuanya agar diizinkan untuk bertemu dengan sang adik.

Hingga akhirnya dokter Arlen pun pasrah mengizinkannya dengan syarat selang oksigen yang bertengger di hidung mancung Orion tidak boleh di lepas, juga infusan yang ada di punggung tangan dan lengannya tidak boleh di lepas. Sedikit repot memang karena harus menyesuaikan kembali alat-alat itu dengan posisi Orion yang duduk di kursi roda, namun itu tak apa yang penting Orion bisa bertemu dengan sang adik secepatnya, takut tidak ada waktu lagi untuk bertemu, katanya.

Dokter Arlen juga sudah meminta izin kepada dokter Wira -dokter khusus yang menangani kondisi Rigel- bahwa Orion akan masuk ke dalam ruang ICU, tentu saja dokter Wira awalnya menentang hal itu, mengingat kondisi keduanya yang terbilang masih sakit dan sangat rentan sekali jika di pertemukan, takut terjadi sesuatu. Namun lagi lagi Orion berhasil membujuk sang dokter hingga akhirnya dengan berat hati dokter Wira pun menginzinkannya masuk.

Dan disinilah Gibran, Nadine dan sang anak, berada tepat di depan pintu ruang ICU. Gibran maupun Nadine, tak langsung membuka pintu, sang kepala suku malah berjalan ke arah sang anak lalu berjongkok mensejajarkan tubuh jangkungnya dengan sang anak yang duduk di kursi roda.

"Kakak siap ketemu adek hm?" tanya Gibran diiringi dengan senyum tipis, tak lupa dengan tangannya yang terangkat untuk merapihkan surai sang anak yang sudah di basahi oleh keringat.

Orion mengangguk kecil sebagai jawabannya, "a-adek.. bener-bener a-ada di d-dalam?" tanyanya.

"Iya, adek lagi tidur di dalam," kali ini Nadine yang menjawab seraya tersenyum manis meski tak dapat di pungkiri dari raut wajahnya bahwa ibu cantik itu terlihat sangat lelah sekali, serta raut wajahnya menyiratkan luka yang amat dalam.

"R-Rion mau ketemu a-adek," lirih Orion.

Sekali lagi Gibran tersenyum, ia lalu bangkit kembali, tangan bergetarnya pun terangkat pelan untuk meraih knop pintu ruang ICU. Kedua netra fox nya terpejam sejenak sembari menghembuskan napas perlahan dan, Cklek! Pintu ruang ICU pun terbuka.

Lantas Nadine kembali mendorong kursi roda sang anak untuk memasuki ruang ICU tersebut dengan Gibran yang mengekor di belakangnya. Namun baru masuk saja napas mereka sudah tercekat, apalagi Orion yang masih merasa pernapasannya belum membaik pun, semakin kesulitan untuk mengambil napas padahal sudah ada selang oksigen yang bertengger di hidung mancungnya.

"I-itu adeknya R-Rion?"

Tes! Air mata menetes begitu saja, dunia Orion pun hancur seketika, hatinya benar-benar sakit saat melihat tubuh sang adik kembar yang biasanya kuat, malah sangat sangat kuat, kini harus terbaring lemah dengan alat-alat medis yang menempel di tubuhnya. Tak jauh berbeda dengan Orion, air mata juga ikut mengalir di kedua pipi Gibran dan Nadine, namun keduanya dengan cepat menyeka air matanya.

"Iya itu adeknya kak Rion," bisik Nadine seraya mendorong kursi roda sang anak agar semakin mendekat pada ranjang pesakitan yang terdapat si bungsu di atasnya, yang tengah terbaring lemah.

•What If Orion & Rigel Live Together•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang