Dengan bulir-bulir bening yang masih sesekali mengalir keluar dari kelopak matanya, Vexa menumpukan lutut kanannya ke lantai demi memungut foto ayah kandungnya yang tertindih pecahan kaca ataupun patahan kayu dari bingkai yang baru saja dirusak oleh ayah tirinya, meletakkannya di samping tubuhnya, kemudian membereskan hasil kekacauan yang berserakan di lantai gudang itu.
"Maaf, Pa... bingkainya rusak..."
Sungguh, jika dibandingkan dengan bingkai foto itu, hati Vexa jauh lebih hancur berantakan melihat kenang-kenangan ayah kandungnya berakhir seperti ini.
Vexa rela Avio merusak apa pun miliknya —termasuk hati, jiwa, dan raganya, asal jangan yang berhubungan dengan kenangan yang ditinggalkan ayah kandungnya.
"Nanti aku beli yang baru, ya?"
Tapi, ya sudahlah. Setidaknya, kertas fotonya masih bisa diselamatkan.
"Ssshhhh..." Vexa mendesis kecil kala salah satu pecahan kaca menembus kulitnya, dan berhasil membuat cairan merah menetes keluar dari jari telunjuk tangan kanannya.
Ia kemudian menghela nafasnya pelan, lalu cepat-cepat menyelesaikan urusannya untuk membereskan hasil kekacauan itu agar lukanya bisa segera ia obati.
Seusai membuang kumpulan pecahan kaca dan patahan kayu tadi ke tong sampah, anak itu kembali ke 'kamar'nya, kemudian mendekati kotak obatnya.
Tapi, apa yang ia dapati setelah membuka kotak obat itu, membuatnya lagi-lagi menghela nafasnya pelan.
Yang menghuni kotak obat itu, ternyata hanya tinggal beberapa butir obat sakit kepala, obat batuk, dan obat flu. Plester luka dan obat merahnya rupanya telah habis tak bersisa. Salep luka memarnya pun hanya tinggal di ujung tube.
Kalau begini, Vexa terpaksa harus keluar ke apotek yang jaraknya cukup jauh dari rumah ini ditengah kondisi tubuh yang rasanya hampir remuk.
Ya... semoga saja, Vexa selalu diberi ketabahan dalam menjalani hidupnya.
🌎🌍🌏
"Kak Valez?" manusia yang tengah dalam perjalanan pulang seusai mendapatkan obat untuk luka-lukanya di apotek itu, menggumamkan nama seseorang yang presensinya tak sengaja tertangkap oleh kedua netranya.
Anak itu mengernyit samar, lalu diam-diam mengikuti ke mana langkah kaki manusia itu pergi.
Dan saat dilihatnya Rivalez Bastramulya itu masuk ke sebuah kelab malam, kernyitan di dahinya pun mengkerut semakin dalam.
Kakak kelasnya yang terlihat bak murid teladan kesayangan guru itu masuk ke tempat seperti ini? Yang benar saja.
Vexa menggeleng cepat demi mengembalikan kesadarannya yang sempat melayang, meneguk ludahnya pelan —gugup sebab ia belum pernah sekali pun menginjakkan kaki ke tempat semacam itu, kemudian benar-benar mengikuti jejak Valez untuk masuk ke sana.
🌎🌍🌏
Bahu manusia itu melonjak samar kala seseorang yang ia belum sadari siapa menepuk pundak kanannya tanpa aba-aba.
Sepersekian detik setelahnya, manusia itu menoleh ke kanan, hanya untuk raut wajahnya kemudian dibuat terkejut dan terheran-heran.
"Vexa?"
Yang empunya nama kemudian mengulas senyum,
"Kak Valez ngapain di sini?" sebelum kemudian melontarkan pertanyaan yang membuat manusia yang ditanyai gelagapan.
"Itu... anu..." sahut Valez tak jelas disertai gelagat khas manusia yang tengah salah tingkah, membuat yang lebih muda mati-matian menahan kekehan gelinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The World will Never Revolve Around You
Teen FictionKarena nyatanya, bukan cuma kamu yang hancur dan terluka di dunia ini. Nyatanya, mereka juga sama-sama hancur dan terluka, walaupun lukanya berbeda denganmu. [Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun ceri...