World No. 19,5 (Part I)

33 3 0
                                    

16 September 2016

Sesosok laki-laki berusia pertengahan tiga puluhan terlihat melangkahkan kakinya di lantai bangunan yang didominasi cat warna putih dan bau obat-obatan yang menyeruak di pukul 12 lewat 5 menit siang ini.

Bukannya mengunjungi tempat di mana ia bisa memenuhi urusan perutnya di tengah-tengah jam istirahat kantornya, laki-laki itu —Jervian Atriaz, justru memilih untuk menginjakkan kakiknya di rumah sakit Healia Medical Center yang berjarak 550 meter dari tempatnya bekerja ini.

Alasannya adalah, anaknya satu-satunya yang di bulan depan akan resmi berusia 7 tahun sedang dirawat di rumah sakit ini sejak dua hari yang lalu akibat demam berdarah. Dan jika ia tidak datang kemari, anak itu dipastikan tak punya siapa-siapa untuk menjaganya di kamar rawatnya.

Jangan tanyakan di mana ibunya. Jika bahkan saat anak itu masih berada di rahimnya saja ibunya tidak sudi menjaganya, apalagi sekarang.

Seorang Graciel Auviari, jelas lebih memilih untuk sibuk sendiri dengan urusannya di kantor.

Ngomong-ngomong, wanita itu akhirnya benar-benar meninggalkan pekerjaannya yang dulu demi Vian tidak melakukan ancamannya. Sayangnya sejak saat itu, hubungan sepasang suami-istri itu menjadi kian merenggang.

Tapi meski begitu, kata 'pisah' tidak pernah ada di antara mereka. Entah karena masih ada cinta di antara mereka, atau karena alasan lain, hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu.

Setelah anak itu lahir, Graciel pun benar-benar menuntut janji suaminya untuk mengizinkannya kembali berkarir. Beruntungnya, Manajernya yang dulu —yang dipindah tugaskan itu, merekomendasikan Graciel ke salah satu perusahaan yang memang sejak dulu bekerja sama dengan perusahaan lamanya untuk direkrut, berhubung perusahaan itu sedang membutuhkan posisi Team Leader.

Dan di tahun 2014 lalu, setelah kerja kerasnya selama kurang lebih 5 tahun —tanpa berniat meluangkan waktu untuk suami dan anaknya tentu saja, Graciel akhirnya berhasil meraih posisi Manajer yang ia idam-idamkan itu, walaupun di perusahaan yang berbeda.

Setibanya di depan ruang rawat kelas I di mana anaknya berada, Vian mendorong perlahan pintu kayu di hadapannya itu, lalu mengulas senyum kala dilihatnya anaknya satu-satunya itu tengah berbaring dengan tenang dengan mata yang tertuju pada tayangan kartun anak-anak di televisi yang tergantung di dinding.

Seharusnya, ada 2 pasien yang menghuni ruang rawat kelas I ini. Tapi —entah ini sebuah keberuntungan atau tidak, sejak dua hari yang lalu, tidak ada pasien lain yang dirawat di ruangan ini.

Beruntung karena anaknya bisa mendapatkan ketenangan dan istirahat yang baik karena tidak ada orang lain yang mengganggu —tapi di sisi lain, anaknya jadi benar-benar sendirian di sini.

"Halo, jagoannya Papa." sapa laki-laki itu sembari mengusak lembut puncak kepala anaknya, lalu mendudukkan dirinya di tepi ranjang pasien di mana anak itu terbaring.

Anak itu mengulas senyum melihat siapa yang datang, sebelum kemudian mengulurkan kedua tangannya —tanda bahwa ia menginginkan sebuah pelukan, yang tentu saja dibalas dengan pelukan erat yang hangat oleh ayahnya dengan senang hati.

Jujur, ia sangat kesepian setiap kali ayahnya harus berangkat ke kantor. Kalau boleh egois, ia iyakan saja tawaran ayahnya untuk cuti kerja sementara waktu demi menemaninya di sini karena ia, benar-benar hanya punya ayahnya.

Sejak ia dirawat di rumah sakit ini, ibunya sama sekali tidak pernah datang menjenguknya barang sejenak. Padahal, anak kecil yang sedang sakit tentu merasa ingin dimanja dan mendapatkan perhatian lebih dari orang tuanya.

Tapi rupanya, bagaimana pun keadaannya —bahkan mungkin jika ia berada di ambang hidup dan mati sekalipun, ibunya tetap tak peduli.

"Makan dulu, yuk? Biar cepet sehat. Biar bisa main sama Papa lagi." ucap sang ayah setelah mengurai pelukan mereka, berhubung ia ingat makanan yang disediakan rumah sakit masih belum tersentuh di atas nakas.

The World will Never Revolve Around YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang