Dean berdiri menatap jendela yang basah karena hujan dengan ponsel di tangan. Ia baru saja menelepon kepala pelayan dan mendapat laporan kalau anaknya belum pulang. Tidak biasanya sampai terlambat begini. Ia menelepon berkali-kali tapi tidak diangkat. Lima kali panggilan dan akhirnya ia menyerah. Meletakkan ponsel ke meja lalu mengambil rokok. Ia menyalakan pembersih udara sebelum menyulut rokok. Tetap berdiri di tempatnya, menikmati kesendirian di tengah kekuatiran yang melandanya.
Terbilang sukses di usia muda, Dean memiliki beberapa perusahaan yang bergerak di bidang makanan. Serealnya menjadi katagori sarapan nomor satu, belum lagi susu, snack, serta minuman kemasan lain. Total ada lima perusahaan dalam satu grup. Ia berencana untuk mengembangkan perusahaan lain berupa waralaba minuman kemasan. Sedang dalam tahap negosiasi dengan investor.
Ia memiliki semuanya, uang, kekuasaan, serta kesuksesan. Sayangnya tidak berhasil dalam rumah tangga. Istrinya meninggalkannya bertahun-tahun lalu, tanpa memberi kabar di mana keberadaannya sedangkan anaknya tidak mau dekat dengannya. Dean selalu mencoba menjadi orang tua yang pengertian sayangnya tidak mudah mengasuh anak yang beranjak dewasa. Selalu berusaha untuk membuatnya marah, membangkang, dan juga membantah. Ia tidak habis pikir kenapa anak abege harus bersikap memberontak. Padahal kalau dipikir lagi, ia dulu juga begitu.
Satu panggilan masuk ke ponselnya, ia bergegas menerima karena berharap itu anaknya. Sayangnya bukan. Mengangkat dengan enggan, ia menyapa perlahan.
"Elena, ada apa?"
"Sayang, kamu di mana?"
"Di kantor."
"Sudah sore belum pulang?"
"Mungkin sebentar lagi."
Terdengar desahan lembut dari ujung telepon. Suara merdu kembali menyapa. "Bagaimana kalau kamu mampir ke bar? Kita bisa mengobrol sambil minum."
"Aku nggak bisa."
"Kenapa?"
"Harus pulang, si pemberontak kecil itu belum pulang sampai jam segini."
"Dean, kamu terlalu memanjakan anakmu. Dia sudah dewasa."
"Baru tujuh belas tahun. Apa yang bisa kita harapkan dari anak umur segitu?"
"Tetap saja menurutku kamu terlalu memanjakannya. Harusnya bisa lebih tegas. Kamu nggak mau mempertimbangkan usulku?"
"Soal apa?"
"Memasukkan anakmu ke sekolah asrama? Dengan begitu dia akan jadi lebih patuh dan teratur. Nggak bandel, nggak manja, nggak bikin kamu jantungan lagi."
Dean menolak dengan tegas usul Elena. "Tidak! Apa pun yang terjadi, anakku harus tetap di sampingku dan berada di bawah pengawasanku."
"Deaan, ini semua untuk kebaikan kalian, Sayang."
"Elena, sebaiknya aku pulang sekarang. Takut terjadi sesuatu di rumah. Nanti aku telepon kamu lagi."
"Oh, baiklah. Ingat, aku menunggumu di bar!"
Mematikan panggilan tanpa lebih dulu berpamitan, Dean menatap ponselnya sambil mengernyit. Tidak habis pikir dengan ide dari Elena. Setelah bersusah payah mengusahkan agar anaknya tinggal bersamanya, bagaimana bisa ia mendorong agar tinggal di asrama. Sungguh ide yang tidak masuk akal untuknya. Ia bahkan sedang berpikir bagaimana agar hubungannya dengan si anak membaik serta akrab, dan bukan malah ingin menjauh.
Setelah menghabiskan rokok, Dean memanggil sekretarisnya. Memberikan detil pekerjaan untuk esok, membuat rencana, dan setelahnya bergegas untuk pulang. Ia berjibaku dengan hujan dan kemacetan menuju rumah.
**
Ruang tamu terasa mencekam dengan situasi yang menyakitkan. Di luar hujan kembali turun dengan deras, menambah dramatis suasana. Napas Jeana perlahan kembali normal setelah menyemprot beberapa kali. Kekalutan yang dirasakannya membuat asmanya kambuh, ditambah dengan lelah karena berjalan cukup jauh serta hujan yang menerpa. Membuat rambut, tubuh, serta pakaiannya basah. Ia menatap tidak percaya pada Amera yang terlihat molek dalam balutan gaun tidur. Kemeja Prima terbuka, hingga menunjukkan dadanya yang bidang. Sebuah adegan mesum yang bagi sebagian orang dianggap hanya terjadi di sinetron atau film, nyatanya menimpa Jeana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kiss My Body
RomanceKisah tentang Jeana yang berusaha mendapatkan kembali harga diri dan cinta, terbelit asmara pelik antara Dean, si duda kaya dan mantan tunangannya, Prima.