Jeana menikmati aktivitas barunya, mempelajari kalori yang masuk ke dalam tubuh serta berolah rasa teratur. Atas saran Dustin, ia menggunakan personal trainer agar hasil olah raganya maksimal. Dustin juga membantunya mengelompokkan makanan dari yang paling kecil kalorinya sampai paling besar. Sekarang nyaris setiap hari ia makan dada ayam tanpa tulang dan kulit, dalam beragam cara memasak yang kesemuanya tidak memakai minyak. Berseling-seling antara direbus dan dicocol sambal, ditumis dengan sedikit saos tiram, atau dikukus dengan bawang putih. Dalam seminggy berat badannya turun dua kilo, setelah makan lebih banyak protein dan olah raga angkat beban secara teratur. Tidak lupa, saat malam tidur yang cukup, meskipun ini sangat sulit dilakukan. Bagaimana tidak, ia masih tidak bisa menerima kematian sang kakek dan hampir setiap malam meratapi kematiannya. Kedukaan membuatnya sulit untuk tidur nyenyak.
Menggunakan simpanannya untuk bayar kontrakan serta makan sehari-hari, Jeana yang sedang tidak bekerja masih fokus dengan tubuhnya. Ia semakin giat untuk berolah raga saat mendapatkan hasil yang bagus. Untuk urusan pekerjaan bisa menyusul nanti. Kalau memang tidak mendapatkan pekerjaan baru, ia bisa memikirkan untuk merintis usaha, meskipun belum terpikir ingin membuka bisnis apa.
Satu telepon masuk ke ponsel saat Jeana sedang berlatih otot kaki. Melihat nama yang muncul di layar rasa enggan melingkupinya. Ia sedang tidak ingin bicara dengan Prima saat ini. Sayangnya laki-laki itu tidak mau diabaikan, terus menerus menelepon dan membuat Jeana kesal.
"Ada apa?" tanya ketus saat menerima panggilan.
"Jeana, bisa kita ketemu di tempat biasa? Ada barang yang mau aku kasih. Sore ini jam empat, jangan sampai nggak datang!"
Masih seperti dulu, Prima seenaknya saja memerintah. Jeana bertekad tidak ingin menemuinya sampai satu pesan masuk.
"Jeana, barang ini penting. Lo pastinya mau tahu apa barangnya."
Mengepalkan tangan, Jeana menghentakkan kaki ke lantai. Kembali ke alat-alat olah raga untuk membuat tubunya berkeringat dan moodnya membaik. Ia tidak ada keingian untuk bertemu dengan laki-laki yang sudah mematahkan hatinya. Prima adalah si angkuh yang merasa hebat hanya karena Jeana jatuh cinta padanya. Kalau mengingat hinaan dari mulut Prima, rasa marahnya masih terasa sampai sekarang. Namun, ia tidak lagi patah hati atau kecewa karena cinta. Kehilangan sosok sang kakek telah menghancurkan hatinya lebih dari apa pun.
Selepas olah raga, Jeana bergegas mandi dan bersiap untuk bertemu Prima. Sayangnya pakaiannya tidak ada yang cocok lagi. Bobotnya yang sudah turun cukup lumayan membuat semua pakaiannya longgar. Untungnya ia punya minidress yang bisa dipakai, meskipun terlalu longgar paling tidak nyaman digunakan. Jeana berpikir untuk membeli pakaian baru kalau nanti target berat badannya terpenuhi. Menaiki ojek online, ia bergegas menuju kafe. Tempat ini memang biasa didatangi mereka untuk berkencan dulu. Alih-alih memesan es kopi karamel kesukaannya, Jeana memilih es americano. Ia bukan hanya mengurangi asupan lemak tapi juga gula.
"Jeana, sudah lama nunggu?"
Jeana meraih ponsel dan menghitung waktu. "Lima belas menit."
"Sorry, macet banget." Prima menghenyakkan diri di seberang Jeana dan mengernyit. "Kamu sakit?"
"Nggak."
"Kok kayaknya kurusan?"
Enggan menanggapi komentar Prima, ia mengaduk es kopi dan meneguknya. Kali ini tidak menawari Prima minum, membiarkan laki-laki itu memesan sendiri. Ia teringat dulu saat masih pacaran, selalu dirinya yang repot memesan makanan dan minuman saat kencan dan juga membayarnya. Dipikir lagi, itu adalah hal bodoh yang dilakukannya.
"Ada apa ngajakin ketemu?" tanya Jeana tanpa basa basi.
Prima menatap mantan kekasihnya. Merasa perbedaan pada Jeana bukan hanya di wajah yang men jadi sedikit tirus tapi juga sikap yang ketus. Ia mengeluarkan tablet eletronik dari dalam tas meletakkan di atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kiss My Body
RomanceKisah tentang Jeana yang berusaha mendapatkan kembali harga diri dan cinta, terbelit asmara pelik antara Dean, si duda kaya dan mantan tunangannya, Prima.