Bab 18

1K 164 6
                                    

Keluar dari kantornya, Jeana menuju tempat yang menjadi tujuan kedua. Ia memoles beda dan lipstiknya, memastikan kalau wajahnya tidak cemong-cemong. Menghela napas panjang untuk meredakan emosinya. Dadanya sedikit lega setelah berhasil keluar dari kantor itu dan tidak lagi menjadi bagian di sana. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari pada itu. Wajah Amera saat terakhir kali terlihat, membuatnya sangat puas. Pembalasan dendam yang cukup lumayan setelah apa yang dilakukan perempuan itu padanya.

Satu pesan masuk membuatnya terusik. Dari Prima dan Jeana dengan enggan membukanya.

"Jangan lupa janjimu, hari Minggu nanti."

Jeana membalas cepat. "Kenapa lo nggak ajak pacar lo?" Melupakan sopan santun dan membalas seketus mungkin."

"Jeana, setelah ini kita nggak perlu berhubungan lagi. Gue bayar berapa pun yang kamu minta."

"Deal!"

Selesai membalas pesan, Jeana menyandarkan kepala dan menatap pemandangan jalanan yang ramai. Mengingat tentang kedua orang tua Prima. Mereka tipe keluarga harmonis dan cukup berada. Sang ayah adalah pegawai pemerintah dengan posisi yang cukup disegani. Sedangkan sang mama adalah ibu rumah tangga biasa sekaligus pelaku sosial. Dari awal mereka menganggap Jeana tidak cukup baik mendampingi Prima tapi tidak berdaya menolak pertunangan yang sudah terjadi.

Jeana mengingat berbagai cibiran yang dilontarkan oleh sang mama padanya. "Prima itu murud teladan di sekolah. Kuliah juga lulus dengan nilai terbaik. Kerja juga jadi manajer. Dia harusnya bisa dapat yang lebih tapi entah kenapa memilih kamu!"

Tentu saja ia sakit hati karena dianggap tidak penting, dan yang paling membuatnya tertekan adalah mereka menyebut-nyebut soal orang tuanya.

"Kamu yatim piatu, hanya ada kakek yang sakit-sakitan. Kalau begitu saat sudah menikah nanti harus tetap kerja. Biar nggak jadi beban Prima."

Seharusnya saat itu ia mundur, bukankah kata-kata itu ibarat peringatan untuknya? Semestinya ia bersikap tahu diri dan bukan malah menambah luka dengan bersikap tidak tahu malu mengharapkan kasih sayang mereka. Rasa cintanya pada Prima saat itu membutakannya. Tidak peduli meskipun disakiti tetap saja maju dan membunuh harga diri. Mereka memandangnya sebelah mata, menghinanya, meremehkannya, hanya karena ia yatim piatu. Jeana menghela napas panjang, merasa lega karena sudah terbebas dari orang tua yang toxic. Mengerjap menahan panas saat turun dari taxi, ia memikirkan dengna serius permintaan Prima untuk menemui orang tuanya. Ia yakin kalau pertemuan itu akan jadi sesuatu yang luar biasa dan lebih baik melakukannya.

Jeana tertegun di lobi yang ramai. Gedung bertingkat sepuluh dengan lantai marmer yang kokoh. Ia mendengar kalau gedung ini milik PT. Real Food, jelas lebih bagus dari gedung perusahaannya yang sewa pertahun. Sebelum masuk, ia memutuskan untuk mengirim pesan pada Dean.

"Sekretarisku akan menjemputmu."

Menunggu beberapa saat di lobi, seorang perempuan muda berambut pendek mendatanginya. "Kak Jeana?"

"Benar itu saya."

"Mari, ikuti saya. Pak Dean sudah menunggu."

Jeana mengikuti langkah sang sekretaris yang memperkenalkan diri sebagai Sandri. Ia dibawa naik ke lantai delapan dan masuk ke sebuah ruangan berkarpet yang luas dengan pendingin udara. Dean menunggunya di ujung ruangan dan tersenyum saat melihatnya.

"Jeana, apakah aku yang salah lihat atau memang kamu menjadi semakin langsing?"

Sapaan Dean sungguh di luar dugaan membuat Jeana tersipu-sipu. "Apa kabar, Pak?"

"Kabar baik. Tapi aku benar-benar pangling melihatmu padahal kita bertemu belum lama ini."

"Saya berusaha untuk tampil cantik, Pak. Apakah sekarang saya sudah cantik?"

Kiss My BodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang