Amera menggigit ujung kuku yang dimanikur rapi, menatap nanar pada tumpukan berkas di atas mejanya. Pukul delapan malam dan ia menunggu kedatangan Prima dengan cemas. Setelah kedatangan Jeana ke kantornya beberapa hari lalu, gosip miring tidak hentinya datang menerpa. Orang-orang yang dulu memujanya, berubah perlahan menjadi musuh yang gemar mencaci. Mereka menyebutnya pelakor serta pembohong, tidak lupa dengan kata-kata berani memakan sahabat sendiri. Semuanya terjadi gara-gara Jeana. Bila itu belum cukup buruk, kabar kalau Prima akan mengajak Jeana menemui orang tuanya makin menambah kekesalan Amera.
Cinta itu buta, tidak ada yang bisa menduga kapan cinta itu muncul dalam dada. Pernyataan itu yang selalu ada dalam benak Amera setiap kali orang-orang berbicara tentang hubungannya dengan Prima. Bukan salahnya kalau laki-laki itu selama ini ternyata jatuh cinta padanya dan rela menunggunya sampai putus untuk bersama. Prima pula yang menawarkan bahu untuk bersandar, pelukan hangat saat dibutuhkan, serta kemesraan yang memabukkan.
"Bersamamu aku selalu menjadi lebih bergairah dan jantan."
Prima selalu mengatakan itu setiap kali mereka bercumbu. Amera ingat, ciuman pertama dilakukan di dalam mobil tepat setelah mengantar Jeana pulang. Kala itu mereka menonton film bersama-sama. Tanpa sepengetahuan Jeana, keduanya saling bergenggaman tangan di dalam gelap. Hingga akhirnya tidak tahan untuk bermesraan. Prima menghentikan kendaraan di pinggir jalan hanya untuk mencium Amera.
Apakah semua itu kesalahannya? Amera menolak mengakui karena bukan dirinya yang memulai melainkan Prima. Saat laki-laki itu tahu dirinya patah hati karena cinta, Prima terus melakukan pendekatan dan membuatnya tidak berkutik. Diam-diam tanpa sepengetahuan Jeana memberinya hadiah, perhatian, serta banyak hal lain yang meluluhkan hatinya. Percintaan pertama mereka dilakukan di sebuah hotel saat Jeana pulang kampung untuk menengok sang kakek yang sakit. Saat itu terasa sangat indah dan menyenangkan, percintaan dasyat yang memuaskan. Prima mengakui kalau saat bersama Jeana sama sekali tidak ingin menyentuh.
"Tubuhnya bau keringat, bibirnya kering, dan selalu mengunyah tanpa henti. Laki-laki mana yang suka dengan perempuan seperti itu? Kalau bukan demi kamu, aku nggak akan mau pacaran sama Jeana."
Rayuan Prima membuat Amera terhanyut dalam asmara dan memutuskan untuk menerima cintanya. Tidak peduli kalau harus main belakang tanpa sepengetahuan Jeana. Kini, setelah semua hal menjadi miliknya. Kala kesuksesan serta hal penting sudah berhasil didapatkannya, Jeana datang kembali dan menghancurkan semuanya.
"Sayang, kenapa melamun dari tadi? Aku ngetok pintu kamu nggak dengar?"
Prima muncul, duduk di samping Amera dan mengecup kepalanya.
"Kenapa baru sampai?" tanya Amera.
"Macet."
"Mampir kemana dulu?"
"Nggak ada, dari kantor langsung kemari. Ada apa?"
Prima melepas dasi dan jas, menyampirkan di sofa. Menggulung kemeja sebelum melingkarkan lengan untuk memeluk Amera. Mengernyit saat merasakan bahu kekasihnya yang kaku.
"Kamu kenapa? Ada masalah?"
Amera menatap kekasihnya lekat-lekat. "Orang tuamu akan datang?"
"Hah, bagaimana kamu tahu?"
"Kamu berniat membawa Jeana?"
"Eh, itu, karena—"
"Karena apa? Kita sudah bersama setahun lebih, dan sampai sekarang kamu belum memberitahu orang tuamu kalau sudah putuh dengan Jeana? Apa-apaan kamu ini?"
Kemarahan Amera membuat Prima menghela napas panjang. Ia menggeleng lalu menyandarkan kepala ke sofa. "Jangan marah dulu, Sayang. Niatku memang ingin bicara dengan mereka soal kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kiss My Body
RomanceKisah tentang Jeana yang berusaha mendapatkan kembali harga diri dan cinta, terbelit asmara pelik antara Dean, si duda kaya dan mantan tunangannya, Prima.