Bab 3

1.1K 167 6
                                    

Dalam perjalanan menuju rumah sahabatnya, Jeana memutuskan untuk mempir ke toko bunga. Membeli seikat bunga yang wangi dan segar. Amera sangat suka kalau dibelikan bunga. Sebenarnya semua perempuan suka, Jeana pun sama tapi sayangnya tidak pernah mendapatkannya. Prima bukan tipe laki-laki romantis seperti itu. Tunangannya lebih suka menginvestasikan uangnya, menyimpan di bank untuk bekal menikah, alih-alih membeli sesuatu yang tidak berguna seperti bunga. Jeana pun tidak pernah membeli untuk dirinya sendiri karena sayang dengan uang. Sedangkan demi sahabatnya, apa pun akan dilakukannya asalkan Amera bahagia.

Bukan tanpa alasan ia melakukan itu. Amera bukan hanya sahabat tapi juga saudaranya. Mereka sama-sama hidup jauh dari keluarga, saling membantu menghadapi kejamnya dunia. Jeana yang kikuk dan tidak pandai bergaul, bisa bersahabat dengan Amera yang cantik dan populer adalah sebuah kebahagiaan. Dulu saat masih kuliah, Amera sering mendapatkan hadiah makanan dari para penggemarnya dan yang menghabiskan adalah Jeana.

"Makan yang banyak, makan semua Jeana. Jangan sampai sisa, ya?"

"Memangnya lo nggak mau makan?" tanya Jeana dengan mulut penuh. Satu kotak kue bolu ia habiskan sendiri.

"Nggak, gue lagi diet!"

Jeana hampir tersedak, melihat Amera yang langsing ternyata masih ingin diet. "Hah, lo udah langsing. Gimana kayak gue coba?"

Amera tergelak, melontarkan berbagai alasan pada Jeana agar menghabiskan makanan tanpa sisa. "Lo punya maag, perlu makan yang banyak biar nggak sakit."

Jeana ingat saat masuk kuliah beratnya hanya 60 kilo dan saat lulus mencapai 85 kilo. Bertambah lagi saat bekerja karena mereka selalu makan di luar. Sering kali Amera memesan banyak makanan tapi Jeana yang menghabiskan dengan dalih sayang kalau dibuang. Kebaikan hati sahabatnya yang selalu memberikan makanan enak adalah bagian terbaik dari persahabatan mereka. Karena itu meskipun tidak pernah membelikan bunga untuk diri sendiri, Jeana tidak sayang kalau membeli untuk Amera.

Selesai membeli bunga, ia teringat akan kedai yang menyediakan bubur kesukaan Amera. Mengerjap sesaat karena matahari mendadak hilang dan digantikan mendung yang gelap. Meraba tas untuk mencari payung dan lega karena membawanya. Bergegas lari menyebari jalan, dan tersengal saat tiba di trotoar. Membungkuk untuk mengatur napas dan dadanya yang sesak. Keringat membanjiri wajah serta tubuh, bukan hanya karena berat badan berlebih yang membuatnya kesulitan bergerak tapi juga karena cuaca mendung dan membuat gerah. Menyusuri trotoar yang sedikit sepi, Jeana menuju ke kedai. Memesan bubur, sate, berikut cemilan yang lain. Biasanya dari kedai ke arah rumah Amera lebih cepat menaiki angkot tapi kali ini ia ingin berjalan kaki melalui gang dalam. Hitung-hitung berolah raga karena seharian di kantor.

Melangkah 15 menit, Jeana mulai kelelahan tapi meneruskan niat. Tidak boleh menyerah. Beberapa blok lagi sampai rumah Amera. Ia takut akan hujan tiba-tiba dan ternyata benar.

"Kenapa tadi nggak naik angkot, sih. Cari masalah aja," gumamnya dengan tangan repot memegang payung, bunga, serta bubur. Berjalan lebih pelan karena curahan air hujan yang turun deras.

Suara teriakan membuat langkah Jeana terhenti. Ia mencari-cari datangnya suara dan di ujung gang melihat enam anak berseragam sekolah sedang memukuli seorang anak yang juga berseragam. Darah mengucur di wajah dan hidung anak itu sementara para pengeroyok terlihat tidak peduli. Meskipun sendirian tapi anak berambut agak panjang itu berusaha untuk melawan.

"Bangsat! Bisanya keroyokan! Banci kalian!"

"Halah! Banyak mulut lo! Rasakan ini!"

"Mati aja lo!"

"Sok jagoan!"

Kondisi makin menakutkan, Jeana kebingungan sesaat sebelum memutuskan untuk bertindak. Ia mencari-cari senjata dan akhirnya menemukan tumpukan batu.

Kiss My BodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang