Part 21. Nevan Cakra

2K 310 51
                                    

Hidup memang selalu di luar perkiraan, kecuali untuk hidupnya Nevan Cakra.

Dulu aku sempat terpuruk secara ekonomi efek terlalu lama meratapi nasib keluarga yang berantakan. Sekali pun, tak pernah kubayangkan akan menyewakan salah satu kamar di rumah. Lalu Nevan Cakra muncul secara tiba-tiba, menanyakan apakah aku bersedia menyewakan salah satu kamar untuk dia tempati.

Dia datang di waktu yang tepat. Langsung saja aku setujui tanpa berpikir panjang. Menyukai Nevan Cakra tidak pernah ada dalam agendaku. Justru aku memasang CCTV untuk antisipasi bahwa dia maling. Aku aktifkan mode SOS berjaga-jaga kalau dia akan berbuat jahat.

Akan tetapi dia malah menjadi orang yang sangat baik. Kelewat baik untuk ukuran orang yang hanya ngekos. Kemudian yang terjadi sudah bisa ditebak.

Sekarang dia adalah kekasihku. Bisa aku menyebutnya begitu? Entah sejak kapan melihat dia memasak di dapur menjadi hal yang sangat menyenangkan. Aku duduk di stoole bar menikmati sirup rasa sirkaya sementara lelaki itu berkutat dengan kompor dan wajan untuk membuat makan siang kami berdua.

“Habis ini kita mau ke mana?” Aku menyeruput sedikit sirup dengan es itu. .

“Kamu ada rencana?” Tanpa menatapku dan terus mengawasi isi teflonnya, Nevan meneruskan kalimatnya. “Kalau nggak ada, mau menemani beli beberapa buku?”

“Boleh. Mau beli buku apa?”

“Tiba-tiba aku tertarik dengan kisahnya Oppenheimer.”

“Ah, pembuat bom atom?”

Aku pernah menonton filmnya di bioskop, tetapi tak cukup mampu untuk mencerna dengan baik karena alurnya yang dibuat maju-mundur dan ketegangannya yang intens. Kepalaku langsung pusing saat film baru berjalan 30 menit.

“Gimana menurutmu, apa dia salah membuat bom? Siapa yang lebih salah antara dia dan Einstein?”

Aku menengadah untuk memikirkan dengan cermat pertanyaannya. Bagiku, antara Oppenheimer dan Einstein bukan perkara salah dan benar. Mereka hanya ilmuan yang suka mempelajari hal baru, dan berhasil menemukan hal baru itu.

“Kalau Einstein nggak menemukan persamaan energi yang fenomenal itu, mungkin dunia kita belum semaju ini. Kalau Oppenheimer nggak berhasil membuat bom itu, mungkin Jepang sudah menguasai seluruh dunia. Bom itu dibuat bukan untuk dijatuhkan di Jepang, tapi sekadar ancaman untuk Jepang supaya menekan pakta damai dengan Amerika.”

“Tapi Einstein bisa dikatakan pencetus utama pembuatan bom, Grisa. Dia yang mengirim pesan ke Presiden Amerika saat itu bahwa Jerman akan membuat bom, makanya pemerintah Amerika memerintahkan Oppenheimer untuk bikin bom sebelum Jerman membuatnya.”

“Einstein berpikir kalau Jerman berhasil membuat bom nuklir lebih dulu, maka akan terjadi perang besar dengan Amerika. Einstein tahu benar bahayanya bom nuklir.”

“Tapi Oppenheimer malah membuatnya meskipun Einstein sudah menunjukkan bahwa bom itu pasti memakan banyak korban.”

“Oppenheimer mendapat tekanan dari banyak sisi, Nevan. Akhirnya Oppenheimer cuma jadi pembuat bom, nggak punya kuasa untuk menentukan bom itu akan dijatuhkan atau cuma dijadikan ancaman. Dia juga sudah mendapat beban mental yang besar karena korban jiwa dari bom itu terlalu banyak, meskipun sesuai perkiraan.”
Aku melipat tangan di meja, lalu berkata dengan serius.

“Tapi dari situ negara kita akhirnya merdeka dari Jepang.”

“Kita cuma nggak lagi dipaksa kerja tanpa bayaran, Grisa. Tapi negara kita jelas masih dijajah.”

Aku satu suara dengannya. Namun itu permainan politik yang enggan aku urusi, saking muaknya dengan politikus-politikus serakah dunia ini.

Akhirnya Nevan Cakra menyelesaikan semua masakannya. Dia merebus beberapa sayuran hijau, memotong timun, lengkap dengan sambal terasi yang dari aromanya saja sudah enak. Sebagai sumber protein hewani kami sepakat menggoreng nila, dan untukku yang lebih senang makanan berkuah dia membuatkan sayur bayam dengan wortel.

Nevan Cakra (LENGKAP ☑️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang