Part 22. Sebuah Kisah yang Panjang

2.1K 364 85
                                    

Kesadaranku langsung kembali dalam waktu kurang dari sedetik.

Ini hanya mimpi. Napasku terengah-engah. Saat melihat sekeliling dan menyadari aku masih di kamar yang sama sejak sebelum jatuh tertidur, perlahan aku menjadi lega. Detikan jam terdengar, waktu menunjuk pukul 02.13.

Lelaki yang tiba-tiba muncul dalam mimpiku itu sedang duduk di kursi dengan tatapan lurus padaku. Jendela kacanya dia buka cukup lebar sehingga angin malam masuk ke ruangan ini. Terlihat kepulan asap melayang di udara dan dari tangannya sebatang rokok masih menyala.

Ini hanya mimpi. Aku pasti terlalu memikirkan soal perkataannya tadi siang.

Kutarik napas sedalam mungkin sebelum memutuskan turun dari ranjang. Dia langsung mematikan rokoknya dan membuang putungnya ke kotak kecil di meja. Aku berjalan mendekatinya, berdiri di depannya beberapa saat, sampai Nevan Cakra menarik tanganku dan membiarkan aku jatuh terduduk di atas pahanya.

Are you okay?” bisiknya pelan. Aku mengangguk, lalu dia bertanya lagi. “Kamu mimpi buruk?”

“Kok tau?” tanyaku.

“Kamu ngigo.”

Kuputuskan untuk menyandarkan kepala ke bahunya yang lebar. Masih tercium aroma rokok yang dia hisap. Aku mengusap bibirnya yang baru saja mengulum batang rokok itu.

“Kamu bagaimana? Kamu baik-baik saja?”

“Keadaanku sebagaimana kamu melihatnya.” Dia memegang tanganku, menciumnya cukup lama. “Bagaimana menurutmu?”

Aku tak langsung memberinya jawaban. Entah karena pikiranku yang terlalu kalut karena mimpi buruk, atau karena Nevan Cakra sudah mulai menunjukkan bahwa hidupnya tidak baik-baik saja, tetapi aku rasa dia memang tidak baik-baik saja.

“Ada hal yang membuat kamu terluka, Nevan?” aku bertanya dengan suara pelan, tetapi pasti Nevan Cakra bisa mendengarnya dengan baik. “Ada hal yang sudah saatnya untuk aku ketahui?”

Nevan Cakra tidak menjawabnya sama sekali. Dia hanya menatapku lama. Aku tidak bisa melihat matanya dengan jelas karena cahaya hanya remang-remang. Udara dari luar terasa sangat dingin mengenai kulitku yang terbungkus baju.

“Aku belikan beberapa pakaian dan beberapa handuk, sabun mandi yang sama dengan yang kamu pakai, shampoo, dan beberapa barang lain yang aku lihat di kamar mandi kamu.”

“Kamu nggak lupa beli dalaman?”

Dia terkekeh kecil. Aku jadi ingin menciumnya. Rupanya itu bukan keinginan saja, tetapi benar-benar aku lakukan dengan baik. Kulingkarkan tangan ke punggungnya dan mulai menjelajahi bibirnya yang masih menyisakan bau rokok.

“Aku nggak suka aroma rokok,” kataku begitu ciuman kami terlepas. “Tapi entah kenapa di bibirmu aku jadi menikmatinya.”

“Grisa, kamu tau kalau kamu sangat agresif?”

“Benarkah?” Di atas pangkuannya, aku merasa lebih leluasa terhadap tubuh Nevan Cakra. “Bagaimana? Kamu suka yang agresif, atau yang kalem-kalem saja?”

“Aku suka kamu.”

Aku tersenyum mendengar dia begitu mantap menjawab. Kuraba lehernya dengan jariku, bergerak turun menyentuh jakunnya yang naik turun. Sesuatu yang aku duduki mulai bergerak naik dan mengeras.

Saat menyentuh kancing kemejanya yang teratas, aku mengerutkan kening, memberinya tatapan penuh pertimbangan.

“Nevan.” Dia bergumam menjawabnya. “Ini tempat yang kamu rekomendasikan?”

“Kenapa? Kamu suka?”

“Iya.”

“Mau tinggal di sini?”

Nevan Cakra (LENGKAP ☑️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang