Pagi ini Taufan masih saja kesal dengan orang tuanya. Mereka berjanji akan pulang dan menghabiskan waktu bersama. Namun, apa yang didapat, mereka hanya mengirim arloji sebagai permintaan maaf. Padahal Taufan sudah memiliki banyak arloji.
Mood Taufan benar-benar buruk. Ia masih tetap memandang arloji itu tanpa peduli dengan sarapannya.
"Kau tidak suka arloji itu?”
Taufan melengok, mendapati Maripos dengan wajah tersenyum hangat padanya.
"Mereka berbohong padaku! Jika memang sesibuk itu harusnya tidak perlu berjanji!" seru Taufan.
Maripos mendekati Taufan, menyentuh bahunya. "Tuanku Kuputeri akan sedih jika mendengar Pangerannya mengatakan itu!"
"Kenapa?! Mereka memang berbohong padaku!" Taufan meletakkan kembali arloji itu pada kotak.
"Tuan besarku tidak bisa pulang karena dirinya punya jadwal yang padat. Dan Tuanku Kuputeri juga memiliki jadwal yang bertabrakan. Kau harusnya mengerti," jelas Maripos.
Taufan masih tidak mengindahkan ucapan Maripos.
Maripos mengambil arloji yang ada didalam kotak itu lalu memperlihatkan pada Taufan. "Asal kau tau saja, arloji ini dipilih sendiri oleh Tuan besarku karena merasa bersalahmu, Tuan muda Taufan."
Taufan melirik arloji itu. "Bukankah kau sendiri juga tau. Ini arloji yang sama seperti yang ku beli beberapa bulan lalu."
“Dan Ayah bahkan tidak tau itu semua,” lirih Taufan kecewa.
"Kau bisa mengatakan itu pada Tuan besarku nanti. Bukankah sekarang sudah waktunya kau berangkat sekolah?" ujar Maripos memberikan arloji itu pada Taufan.
“Meski arloji ini sama, tapi arloji yang dirimu beli sendiri dengan arloji yang dibeli Tuan besarku pasti akan terasa berbeda saat kau memakainya.” Kata-kata manis dari Maripos dapat sedikit mempengaruhi Taufan.
Taufan mengambil arloji itu lalu memakainya. Raut wajahnya terlihat lebih bersahabat.
"Apa boleh buat. Aku akan memakai ini."
ᕦ•••••ᕤ
Setelah pelajaran Taufan, Blaze dan Ice ingin pergi ke kantin. Namun, tepat didepan mereka Gempa dan Halilintar berbincang.
"Waah! Si itik buruk rupa ternyata gembulin Gempa," ujar Ice memasukkan tangannya pada saku celana.
“Pantes kita jarang lihat dia.” Blaze memasukkan tangannya dalam saku.
"Kita apain dia, Fan?"
Taufan tersenyum lebar, "Samperin."
Gempa meneliti kertas yang dibawa Halilintar padanya, itu adalah tugas bahasa Inggris untuk Minggu depan.
"Makasih, Li. Repot-repot bawain tugas ke ruang OSIS," ucap Gempa.
Halilintar tersenyum. "Lo 'kan sering bantu gue, wajar 'kan kalo sekarang giliran gue yang bantu lo."
Entah ini hanya perasaan Halilintar saja jika hawa disekitarnya tiba-tiba menjadi tak enak. Panggilan Gempa membuat Halilintar menatapnya bingung.
"Li." Gempa menunjuk belakangnya dengan dagu.
Saat dirinya menoleh kebelakang, dengusan pelan keluar dari hidungnya. Dua hari belakangan memang Halilintar sengaja menjauhi mereka bertiga.
"Pantes gue jarang liat lo. Ternyata nempel sama si Gempa," ucap Taufan dengan senyum smirk.
Gempa memandang tak suka pewaris tunggal keluarga Soha itu. "Lo mau ngapain, Fan." Ucapan dengan nada sarkas milik Gempa membuat Taufan menyerut.
"Emang ngapain? Gue cuma sapa temen satu angkatan 'kok." Taufan berujar sembari menendang kecil sepatu buluk Halilintar.
Spontan Halilintar melangkah mundur. Dirinya tak ingin membuat masalah lagi. "Gue pergi dulu, Gem." Sebelum Halilintar melangkah pergi meninggalkan mereka tangan Taufan menariknya kebelakang.
"Lo mau kemana? Kita 'kan dari kemarin belum ketemu, masa waktu ketemu lo malah mau pergi gitu aja sih!"
"Lo bisa gak sih sehari gak usah ganggu Hali!" sentak Gempa.
"Heh! Dari kemarin kita gak ganggu si buruk rupa 'ya!! Gak terima sehari, dua hari malahan!" tunjuk Blaze pada Gempa.
"Sensian banget sih Gem! Mending lo urusin OSIS deh dari pada urusin kita," saran Ice.
Taufan merangkul Halilintar lalu melirik Gempa meremehkan. "Bilang sama temen lo ini, Kil. Kalo jadi orang jangan suka ikut campur!"
Halilintar melirik Taufan dari ujung matanya kembali menghela nafas. Meski ia melawan karena benar, dirinya tetap akan disalahkan sekolah nantinya. Dia tak punya pengaruh seperti anak donatur terbesar disekolah itu.
Halilintar memberikan anggukan pelan pada Gempa yang melayangkan tatapan tidak suka pada Taufan. Membuat Taufan tersenyum senang.
"Dah ya Gem! Kita mau kekantin dulu. Lo urusin tuh tugas OSIS yang numpuk." Taufan masih tetap merangkul Halilintar dengan membawanya pergi kekantin. Diikuti Blaze dan Ice dibelakang.
Gempa memandang mereka dari belakang. Semakin lama Taufan terlihat seperti Pangeran tiran.
Dan Gempa tak suka akan itu.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Kamu
FanficAntara si miskin Halilintar dan si brandal Taufan. Selama ini Taufan hanya perlu menerima uang dari orang tuanya tanpa khawatir jika itu akan habis. Tak perlu khawatir bagaimana jika ada yang menyulitkannya karena ada orang tua dengan kekuasaan besa...