.
.
.
Setelah Lina membaca isi dari buku catatan rahasia Adit, suasana di antara mereka berubah. Lina, yang merasa tersentuh dan terkejut dengan kedalaman perasaan Adit, tidak tahu bagaimana harus merespons. Dia merasa terhormat dan sekaligus takut. Takut, karena dia juga menyimpan perasaan yang sama, namun belum pernah memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Sementara itu, Adit, yang kini merasa telah terbuka sepenuhnya, diliputi kecemasan akan respon Lina.
"Adit, aku... aku membaca catatanmu," Lina memulai, suaranya pelan.
"Kamu membacanya?" Adit tampak terkejut, wajahnya pucat.
"Ya, dan aku... sangat tersentuh. Aku tidak tahu kamu merasa begitu," Lina melanjutkan, mencari kata-kata yang tepat.
"Aku takut kamu akan menjauh," Adit mengakui, matanya tidak berani menatap Lina.
"Tidak, Adit, justru sebaliknya," Lina menjawab, memberikan sedikit keberanian pada Adit.
Hari-hari berikutnya di perpustakaan menjadi penuh dengan salah paham yang menggemaskan. Mereka berdua menjadi lebih gugup satu sama lain, seringkali berakhir dengan kekikukan yang lebih dari biasanya. Sebuah pertanyaan sederhana tentang buku bisa berubah menjadi percakapan yang berakhir dengan keduanya tersipu malu dan terdiam, tidak yakin harus berkata apa lagi.
"Apakah kamu sudah membaca buku terbaru dari penulis favorit kita?" Adit mencoba memecah keheningan.
"Uh, ya, aku... aku suka bagian di mana... eh, maaf, aku lupa apa yang ingin kukatakan," Lina menjawab, merasa malu.
Ada satu insiden ketika Adit mencoba mengembalikan suasana ke seperti semula dengan membuat candaan kecil tentang salah satu novel yang mereka berdua suka. Namun, karena kegugupannya, candaannya malah terdengar lebih seperti kritikan.
"Aku tidak bermaksud seperti itu, Lina. Aku hanya mencoba bercanda," Adit mencoba menjelaskan setelah menyadari kesalahannya.
"Aku tahu, Adit. Aku hanya... sedikit terkejut saja," Lina menjawab, berusaha memahami.
Adit, menyadari kesalahannya, mencoba berbagai cara untuk meminta maaf, termasuk dengan meninggalkan secarik kertas yang berisi kata-kata maaf dan sebuah puisi pendek di meja tempat Lina biasa membaca.
"Aku menemukan puisimu, Adit. Itu... itu sangat indah. Aku maafkan kamu," Lina berkata ketika mereka bertemu lagi.
"Terima kasih, Lina. Aku sangat khawatir kamu akan marah padaku," Adit mengungkapkan kelegaannya.
Pada hari lain, Lina mencoba untuk menunjukkan dukungannya terhadap Adit dengan membawa kue yang dia buat sendiri. Namun, karena terlalu gugup, dia tidak menjelaskan bahwa kue tersebut bebas dari bahan-bahan yang diketahui Adit alergi.
"Kamu membuat kue untukku? Tapi, kamu tahu kan aku alergi..." Adit bingung.
"Oh, maaf, Adit! Aku lupa menjelaskan. Kue ini bebas dari semua yang kamu alergi. Aku memastikannya," Lina segera menjelaskan, wajahnya merah karena gugup.
"Benarkah? Wah, aku... terima kasih, Lina. Aku sangat menghargainya," Adit tersenyum, merasa terharu.
Kejadian-kejadian semacam ini terus berlanjut, menambah koleksi momen-momen kikuk namun menggemaskan di antara mereka. Namun, setiap salah paham selalu berakhir dengan mereka semakin memahami satu sama lain. Mereka belajar untuk berkomunikasi lebih baik, untuk tidak takut menunjukkan kelemahan dan kekikukan masing-masing.
"Lina, aku pikir kita menjadi lebih baik
dalam... mengatasi kekikukan ini," Adit berkata suatu hari, sambil tersenyum malu.
"Ya, Adit. Dan itu membuat semua ini... spesial," Lina membalas, matanya berbinar.
Saat-saat salah paham itu, meskipun memalukan pada saat terjadi, perlahan menjadi kenangan yang mereka hargai. Mereka menyadari bahwa setiap momen tersebut sebenarnya menguatkan ikatan di antara mereka, memberi mereka cerita untuk ditertawakan bersama, dan pelajaran tentang arti menerima dan dicintai apa adanya.
Ditengah segala kekikukan dan salah paham, perasaan mereka satu sama lain semakindalam. Tanpa disadari, hari-hari mereka di perpustakaan menjadi lebih berwarna,dipenuhi dengan senyuman-senyuman kecil, tatapan-tatapan yang berarti, dansebuah kebersamaan yang terjalin dari seribu satu kekikukan. Hari-hari salahpaham yang menggemaskan itu, tanpa mereka sadari, telah membawa mereka ke dalamsebuah babak baru dalam hubungan mereka, di mana cinta tumbuh dari rasa salingmemahami dan menerima.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Cinta Sang Pustakawan Kikuk
RomanceSINOPSIS Dalam kisah yang memanjang melalui bab-bab penuh warna kehidupan, "Kisah Cinta Sang Pustakawan Kikuk" mengisahkan perjalanan cinta antara Aditiya Rosandi, seorang pustakawan yang kikuk namun berhati hangat, dan Lina Zulfea, seorang pengunju...