maaf ya gaiis updatenya lama
soalnya masih banyak tugas yang harus cepat terselesaikan :)
.
.
.
.
Di tengah-tengah hari-hari yang dipenuhi salah paham yang menggemaskan itu, Adit dan Lina menemukan bahwa puisi menjadi jembatan yang menyatukan perasaan mereka. Adit, yang selama ini menggunakan puisi sebagai cara untuk mengungkapkan isi hatinya dalam catatan rahasia, mulai menulis puisi-puisi baru dengan inspirasi yang tak lain adalah Lina.
"Saya menemukan kata-kata yang belum pernah saya temukan sebelumnya, berkat kamu," Adit mengungkapkan suatu hari, sambil menatap Lina.
"Dan saya... Saya merasa terinspirasi untuk mencoba sesuatu yang baru, karena kamu," Lina membalas, suaranya penuh harapan.
Suatu sore yang hening, ketika sinar matahari menerobos masuk melalui jendela besar perpustakaan dan menari-nari di atas lantai, Adit mengumpulkan keberanian untuk membacakan salah satu puisinya di hadapan Lina. Dengan suara yang gemetar, namun penuh emosi, ia membacakan baris demi baris, kata demi kata, yang setiap satu darinya adalah ungkapan dari perasaannya yang paling dalam.
"Sungguh, setiap kata ini... lahir dari hati saya yang paling dalam," Adit berkata, sebelum memulai.
Lina mendengarkan dengan mata berkaca-kaca, terhanyut dalam aliran kata-kata yang mengalir dari hati Adit ke hatinya. Saat Adit selesai membacakan puisinya, ada keheningan yang hangat di antara mereka, sebuah momen yang terasa seperti seluruh dunia berhenti berputar hanya untuk mereka berdua.
"Itu... itu indah sekali, Adit. Saya... saya juga menulis sesuatu untukmu," Lina berkata, suaranya bergetar.
"Kamu serius? Saya sangat ingin mendengarnya," Adit membalas, antusiasme terpancar dari wajahnya.
Kemudian, dengan tangan yang sedikit gemetar, Lina mengeluarkan selembar kertas dari tasnya. Ini adalah puisi pertama yang pernah dia tulis untuk seseorang, sebuah langkah yang membuatnya merasa sangat rentan namun pada saat yang sama, merasa benar.
"Ini... ini mungkin tidak sebagus puisimu, tapi... ini dari hati saya," Lina berkata, memulai pembacaannya.
Lina membacakan puisinya, sebuah respons puitis yang merangkum perasaannya tentang Adit, tentang perpustakaan, dan tentang perjalanan mereka bersama. Dengan setiap kata yang diucapkan, Adit merasakan kehangatan yang memenuhi hatinya, sebuah perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
"Ini sangat indah, Lina. Sungguh," Adit berkata, matanya bersinar.
"Saya senang kamu menyukainya," Lina membalas, tersenyum lebar.
Puisi Lina adalah cermin dari hatinya sendiri, sebuah pengakuan cinta yang terbungkus dalam kata-kata.
Ketika Lina selesai membacakan puisinya, mereka berdua duduk dalam diam, membiarkan kata-kata yang baru saja dibagi meresap ke dalam ruang di antara mereka. Kemudian, hampir secara bersamaan, mereka berdua tertawa – sebuah tawa ringan yang menggema di seluruh ruangan, memecahkan ketegangan dan mengisi ruang dengan kelegaan dan kebahagiaan.
"Hari ini, puisi telah menyatukan kita," ucap Adit, sambil menggenggam tangan Lina. "Dan saya tidak bisa meminta cara yang lebih sempurna untuk mengungkapkan cinta saya kepadamu."
"Saya juga, Adit. Saya juga," Lina membalas genggaman tangan Adit dan dengan mata yang bersinar berkata.
Hari itu, di tengah rak-rak buku dan lembaran-lembaran puisi, Adit dan Lina menemukan bahwa cinta, ketika bertemu dengan puisi, bisa menciptakan keajaiban. Dan bagi mereka berdua, perpustakaan tua itu tidak lagi hanya tempat di mana mereka bertemu, tapi juga menjadi saksi bisu dari cinta yang tumbuh dari kekikukan, salah paham, dan, yang paling penting, dari kata-kata yang terjalin menjadi puisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Cinta Sang Pustakawan Kikuk
RomansaSINOPSIS Dalam kisah yang memanjang melalui bab-bab penuh warna kehidupan, "Kisah Cinta Sang Pustakawan Kikuk" mengisahkan perjalanan cinta antara Aditiya Rosandi, seorang pustakawan yang kikuk namun berhati hangat, dan Lina Zulfea, seorang pengunju...