Kanaya

106 7 0
                                    

Rintik hujan membasahi bumi di pagi hari. Membuat udara pagi di Jakarta terasa lebih baik. Aku batal mememesan ojek online, meraih payung, lantas berjalan kaki menuju stasiun kereta terdekat. Lima menit berjalan, melintasi genangan air dan menghindari cipratan air para pengendara bermotor, aku sampai di stasiun.
Jam-jam sibuk para pekerja berangkat ke kantor, stasiun kereta penuh sesak. Aku berjalan cepat menaiki tangga, menyalip di antara keramaian, menyeberang peron kereta. Semua orang tampak mekakukan hal yang sama. Terburu-buru menuruni tangga takut ketinggalan kereta.

Aku menarik nafas lega begitu berhasil menaiki kereta sesaat sebelum pintu ditutup. Mencari pegangan agar tidak oleng saat kereta berjalan. Sia-sia. Tidak ada tempat untuk bergerak di dalam kereta. Berusaha menyelinap ke dalam hanya akan menyulitkanku untuk keluar kereta pada pemberhentian dua stasiun lagi. Lebih baik berada di dekat pintu, toh tidak akan lama. Aku memasang kuda-kuda, menjaga keseimbangan diri tanpa pegangan.

Begitu sampai di stasiun pemberhentianku, hujan telah berhenti. Menyisakan gerimis tipis dan genangan air di jalanan. Hujan lewat doang. Aku berjalan menuju kantorku, tidak jauh dari stasiun kereta. "Pagi mba Kanaya!" Petugas Keamanan di depan menyapa. Aku balas tersenyum, "Pagi juga Pak Tatang!"
Aku bergegas menyalakan komputer. Menyelesaikan peta sebaran kasus Demam Berdarah Dengue yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas tempatku bekerja. Harus sudah selesai pukul sembilan pagi ini, untuk dibahas pada rapat koordinasi dengan pihak kecamatan setempat. Baru aku sendiri yang datang di ruangan kantor UKM, sepertinya yang lainnya masih terjebak macet.

Pukul sembilan kurang sepuluh menit aku sudah menyelesaikan pemetaanku. Bersiap-siap berangkat bersama tim Pokja UKM untuk rapat di kantor Kecamatan yang berada di seberang Puskesmas untuk membahas upaya penurunan kasus DBD.
Aku sebagai Epidemiolog Kesehatan bersama mas Jamal, Tenaga Kesehatan Lingkungan dan bang Abdul, Tenaga Promosi Kesehatan mewakili Puskesmas untuk rapat.
Bang Abdul menyikutku begitu sampai di ruang pertemuan, "Sekretaris Kecamatan yang baru katanya duda Nay, lu mau gak? Lumayan doi baru anak satu." Aku melotot padanya. Bang Abdul nyengir kuda, sedang Mas Jamal ikut terbahak di sampingnya.

Bekerja bersama mereka yang sudah menikah memang tidak akan luput dari ajang penjodohan. Di usiaku yang sudah menginjak akhir dua puluhan membuatku menjadi gadis tertua di kantorku yang belum menikah. Dari tiga puluh enam orang pegawai di Puskesmas tempatku bekerja, lima di antaranya belum menikah. Namun empat di antara mereka masih belum melewati seperempat abad sepertiku. Aku praktis menjadi orang yang paling sering diolok-olok untuk segera menikah.

Lu nyari apa lagi sih Nay?
Neng Kanaya udah merit belum?
Ibu Kanaya anaknya umur berapa?
Mapan udah, cakep udah, sayang jomblo!
Gue seumuran lu udah punya anak satu Nay!
Bini gue seumuran lu udah ngelahirin dua kali loh!
Bentar lagi tiga puluh makin susah loh Nay cari pasangan.

Pertanyaan dan pernyataan yang kerap menghantuiku sepanjang hari. Pada awalnya aku biasa saja merespon pernyataan dan pertanyaan semacam itu, menganggap itu sebagai bentuk kepedulian mereka kepadaku. Membalasnya dengan tersenyum ramah, "Mohon doakan saja ya bapak ibu." Lantas lanjut bekerja.
Aku benci membuang-buang waktu untuk menghiraukan ocehan mereka. Seakan mereka sebahagia itu dengan pernikahan mereka. Seakan belum menikah menjadi sebuah kerugian, kesialan. 

Padahal menurutku, hidupku sudah sangat sempurna. Aku lulus menjadi Pegawai Negeri Sipil di tahun yang sama dengan tahun kelulusan sarjanaku. Berdinas di Kota Metropolitan yang menjadi impian banyak orang. Penghasilan yang cukup untuk menyewa sebuah apartemen di pusat kota Jakarta. Aku memiliki paras yang rupawan dan berotak cemerlang. Hidupku tidak kurang apapun, selain pasangan hidup, yang aku rasa tidak begitu aku inginkan. Aku perempuan yang mandiri. Untuk apa menikah? Untuk menambah beban hidup?

"Kerja mulu sih Nay, pantesan aja lu jomblo."
Bu Ayu, salah seorang perawat yang masih berstatus honorer sedang duduk santai di ruang kerjaku berujar.  Mulutnya tajam tidak semanis wajah dan namanya. Membuatku benci harus menghirup atmosfir yang sama dengannya. Wanita berusia di awal tiga puluhan itu tampaknya suka sekali menyinyiriku. Menyindir, entah itu persoalan kerja maupun personal. Membuat emosiku nyaris meletup. Aku menarik nafas dalam, lanjut tersenyum manis. "Nikmatin aja dulu, saya biasa aja kok. Punya uang ini." Balasku tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen laporan yang sedang aku kerjakan. Membuat Bu Ayu menggerutu.

Namun bulan demi bulan, tahun demi tahun, hidupku tidak pernah berubah. Aku terus menjalani rutinitas yang sama. Hidupku hanya untuk bekerja, makan, dan tidur, kemudian bangun lagi untuk melakukan hal yang sama.
Aku suka bekerja. Demi apapun. Tidak masalah jika aku harus terus bekerja. Namun jam kerja yang hanya dibatasi untuk delapan jam saja sehari, masih tersisa enam belas jam. Jika dikurangi waktu untuk makan, berbersih, dan buang air, boleh jadi akan tersisa tiga belas jam. Aku bisa belajar untuk menambah pengetahuan barang satu atau dua jam. Aku bahkan sudah menyelesaikan pendidikan magister dua tahun lalu. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa pada hidupku. Sisanya, mau tidak mau aku gunakan untuk tidur dan scrolling media sosial. Waktu yang sangat panjang.

Ku pikir, bukankah semua orang memang menjalani hidup yang seperti itu. Apa bedanya? Berkeluarga dan tidak berkeluarga? Sendirian dan tidak sendirian? Aku tidak menyadari bahwa perbedaan di antara kedua hal itu memang tidak akan kentara jika hanya dilalui untuk sesaat saja. Tidak akan terasa perbedaannya. Namun jika tahun demi tahun dilalui dengan sendirian saja, setiap hari pulang ke rumah yang kosong, terbangun di pagi hari di ruangan yang sepi, tidak ada suara yang terdengar selain alarm panjang yang melengking di samping telinga, memasak makanan yang sering tidak habis karena hanya dimakan seorang diri, berbicara dengan diri sendiri, bahkan tertawa seorang diri, maka tidak heran orang-orang akan mulai menyebutku gila.

Dan, hidup seperti itulah yang telah aku jalani selama lebih dari sepuluh tahun. Bukanlah waktu yang singkat. Aku sudah hidup seorang diri semenjak lulus Sekolah Menengah Atas. Merantau ke pulau Jawa untuk mengenyam pendidikan tinggi berkat beasiswa yang aku peroleh karena berprestasi. Aku tidak pernah pulang ke kampung halaman semenjak itu. Kampung halaman yang tidak ku tahu apakah memang betul kampung halamanku. Untuk apa pulang kampung? Tidak ada yang menungguku pulang.

Aku tumbuh dan besar di panti asuhan yang berlokasi di Kota Padang, Sumatera Barat.  Aku sudah menjadi yatim piatu sejak dilahirkan ke muka bumi ini. Aku sendiri selalu mengaku sebagai orang Padang jika ada yang menanyai asalku, meski aku sendiri tidak yakin. Lalu aku harus menjawab apa lagi? Aku tidak mengetahui asal usul kedua orang tuaku. Aku hanya diberitahu oleh pengurus panti bahwa aku dititipkan ke Panti Asuhan oleh saudara ibuku ketika aku masih berusia satu tahun. Saudara ibuku itu sendiri menurut kepala pengelola panti asuhan, Ibu  Nurhayati, adalah pendatang baru yang ikut suaminya pindah tempat kerja. Ia berkata akan kembali untuk menjemputku, namun tidak pernah datang hingga aku pergi meninggalkan panti asuhan itu.

Lain dari pada itu, aku tidak mengetahui apapun tentang orang tuaku. Siapa nama apalagi rupa mereka. Hanya satu petunjuk yang aku ketahui, saudara ibuku bernama Sekar. Entah bagaimana caranya aku mengumpulkan kepingan puzzle lainnya hingga menjadi utuh menjawab asal usulku.

Tidak berminat mencari kepingan puzzle-puzzle lainnya, aku kemudian menjalani hidup yang terlalu berfokus pada diri sendiri. Untuk apa mempedulikan orang lain? Toh tidak ada yang mempedulikanku. Aku hidup atau tidak juga tidak akan berpengaruh pada hidup orang lain. Lalu, aku hidup untuk apa? Aku matipun tidak akan ada yang mencari.

***

Rapat koordinasi di Kantor Kecamatan selesai tepat saat adzan zuhur berkumandang. "Upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk harus digencarkan melibatkan lintas sektor, semua pihak harus terlibat. Semoga dengan demikian kita bisa menekan angka penyebaran kasus DBD di wilayah kita." Demikian Sekretaris Kecamatan, Pak Wisnu, mewakili Camat menutup pertemuan. Mengucapkan terimakasih untuk kehadiran peserta rapat.

Aku, mas Jamal, dan bang Abdul pamit kepada Pak Wisnu untuk kembali ke Puskesmas.

Teman kerjaku, Rani-Apoteker, yang seusia denganku mengajak makan siang begitu aku kembali. Aku sudah menitip beli makanan pada Rani. "Nih, makanan lo!" Rani menyerahkan bungkusan makanan, lantas langsung melipir ke ruanganku. Aku menyusul di belakangnya.

Masuk ruangan, aku melihat bu Ayu sedang minum jus, duduk di depan meja Mas Jamal. Ganjen. Sudah beranak masih saja suka Pick Me ke laki orang. "Nay gimana progress persiapan acara Family Gathering kita?" Bu ayu menyambut kedatanganku dengan pertanyaan.

Aku menghela nafas panjang. "Beres bu Ayu. Udah fix dari EO nya. Nanti Itinerary fixnya saya kirim."

Family Gathering. Agenda kantor sekali tiga tahun yang tidak aku sukai. Namun tahun ini aku ditunjuk menjadi Ketua Panitia Kegiatan, dengan dalih "Kamu kan masih belum berkeluarga Nay, jadi banyak waktu kosong lah buat ngurusin acara. Gak terlalu ribet kok kan pakai jasa EO." Begitu kemarin perintah dari Pak Haikal, Kepala Tata Usaha Puskesmas.

Justru itu, aku yang belum berkeluarga ini harus menyiapkan acara keluarga. Ikut saja aku malas.

Menjadi ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang