Aku terbangun di penginapan. Tersentak. Apakah aku baru saja bermimpi? Aku menyadari pakaianku ternyata telah berganti. Sepertinya bukan mimpi. "Mba Kanaya udah bangun?" Ningsih yang sekamar denganku menghampiri.
"Aku kenapa Ning?"
"Kamu tadi hampir hanyut ke tengah laut mba. Kamu ngapain sih masuk ke laut? Kesambet apa mau bunuh diri?."Aku menatap Ningsih penuh tanya. Ningsih menceritakan apa yang terjadi kepadaku. Aku ditemukan terombang-ambing hampir ke tengah laut di bawa ombak. Aku beruntung katanya, seorang pemuda yang tidak jauh dari bibir pantai tidak sengaja melihatku digulung ombak. Pemuda itu langsung lompat berlarian dan berenang menggapaiku yang sudah jauh dari pantai, berusaha menyelamatkanku yang sudah tidak sadarkan diri.
Aku menatap kosong keluar jendela. Langit sudah menggelap pertanda malam telah menyapa. Pendar lampu di luar penginapan membantu bulan memberi cahaya pada malam. Aku mencoba mengingat kenapa aku melakukannya. Apakah memang ada yang merasukiku atau aku memang ingin bunuh diri?
"Ayo makan malam dulu mba, yang lain udah nungguin di luar." Ajak Ningsih.
Aku bangkit dari tempat tidur, mencepol rambutku asal, lantas meraih sweater berwarna biru dongkerku dan memasangnya. "Yuk Ning!"
Aku berjalan beriringan dengan Ningsih menuju ruang makan. Aku sebenarnya cemas membayangkan bagaimana respon orang-orang atas kejadian sore tadi. Apa yang akan mereka pikirkan tentangku? Apakah mereka akan menganggapku merepotkan? Ataukah aku dianggap cari perhatian?Benar saja, sesampainya di ruang makan, berpuluh-puluh pasang mata menatapku. Aku menghampiri meja yang diisi oleh Putri dan Dinda. Tidak tampak olehku batang hidung Rizki, mungkin sedang membakar tembakaunya di luar. Rani yang duduk di meja sebelah menghampiriku, "Lo gapapa Nay?"
Aku memaksakan seukir senyum di bibir, "Gue gak apa-apa Ran."
"Yaelah Nay, lu bosan hidup apa sampe mau mokad?, makanya gue bilang juga apa? KAWIN!" Bang Abdul yang tiba-tiba sudah bergabung bersama kami mengeluarkan celetukannya yang menyebalkan.Sepanjang makan malam, aku disibukkan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan rekan kerjaku yang ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga aku ditemukan tidak sadarkan diri dibawa ombak.
"Mba Kanaya memangnya tadi lagi ngapain kok bisa sendirian aja di sana? Yang lainnya gak pada tau loh kamu kemana, untung aja tadi ada yang ngeliat kamu, selamatin kamu." Dokter Arini, sebagai atasan langsungku mungkin merasa bertanggung jawab atas segala yang terjadi selama kegiatan Family Gathering ini berlangsung menanyaiku. Juga Pak Haikal dan ibu-ibu paruh baya lainnya menanyaiku pertanyaan serupa.
Aku sendiri hanya bisa menjawab, "Saya gak ingat bu, maaf ya sudah merepotkan semuanya."
"Coba aja tadi gak ada yang ngeliat kamu Nay, udah pulang-pulang bawa mayat kita. Kacau deh ini acara." Bu Ayu dan mulut berbisanya menimpali, yang dibalas tatapan tajam oleh yang lain. Bu Ayu salah tingkah merasa salah bicara.
Hatiku mencelos mendengarnya. Aku tidak membalas ucapan bu Ayu, pamit kembali ke kamar ingin beristirahat. Aku teringat percakapan mereka siang tadi, saat kami berganti pakaian setelah kegiatan water sport di Batu Karas. Aku di dalam toilet sedang merapikan pakaian basahku, memasukannya ke dalam laundry bag, saat aku mendengar samar-samar percakapan beberapa orang di luar toilet. "Kalian tau ga sih, Kanaya itu ternyata anak panti asuhan. Dia gak punya keluarga. Yatim Piatu. Kasihan ya." Aku mendengar bu Ayu sedang bercerita disana. Membuatku batal keluar dari toilet.
"Ah masa sih? Dia gak pernah cerita tuh." Seorang perawat lain, bu Ratih, rekannya bu Ayu menimpali.
"Serius, saya denger dari temannya teman saya yang kebetulan orang Padang, pernah satu sekolah sama si Kanaya."
"Pantesan ya, dia kayak gitu." Ujar bu Sekar—seorang bidan, sohibnya bu Ayu.
"Kayak gitu gimana?" Tanya bu Ratih.
"Ya gitu, kayak orang sakit. Mukanya itu keliatan kayak orang capek mulu, kayak orang ga punya semangat hidup, tapi masih aja sok rajin kerja, sok pinter, sok baik, giliran orang mau ngebantuin, dia mana mau. Ga usah, gak apa-apa paling dia bilang. Merasa paling bisa sendiri. Kaku. Kayak robot. Sejak dia masuk kesini bareng saya aja, mana pernah dia izin sakit. Malah ujung-ujungnya muntah-muntah pas rapat. Padahal udah disuruh pulang aja, istirahat. Ujung-ujungnya, kita-kita juga yang repot."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Manusia
ChickLitKanaya pikir ia telah menjalani hidup yang sempurna. Namun ternyata, di mata orang lain ia hanyalah robot bernyawa yang karatan, namun masih memaksakan diri untuk tetap berfungsi. Ia rapuh dan harus segera didaur ulang sebelum menjadi tidak berguna...