Dating Apps

1 0 0
                                    

Aku rebahan santai di atas kasur sambil menatap layar ponselku. Jempolku terus mengusap-ngusap layar ponselku ke kiri, tidak tertarik dengan profil lelaki-lelaki yang muncul di layar ponselku saat aku membuka aplikasi dating berwarna kuning. Aku menyesal menyutujui usulan Rani minggu lalu yang menyuruhku menggunakan aplikasi dating. Seminggu penuh aku menggunakan aplikasi itu dan belum ada satu pun lelaki yang benar-benar membuatku tertarik.
Aku sempat match dengan beberapa lelaki tampan, namun hanya untuk mengobrol singkat dua tiga pesan, dan aku mulai bosan. Muak dengan kalimat pembuka haloo, haai, salam kenal, stay dimana? dan semacamnya. Entahlah. Aku hanya merasa tidak cukup yakin, apakah aku benar-benar perlu melalui cara ini. Hingga akhirnya sebuah profil lelaki berondong berusia dua puluh tujuh tahun menyita perhatianku.
Adi. Seorang staf di sebuah perusahaan konsultan IT di Jakarta. Mental Health Enthusiast tertulis di Bionya. Aku lantas mengusap layar ponselku ke kanan. Match tulisan yang muncul di layar.
Haaloo. Tulisku memulai obrolan.
Haai Kanaya! Salam kenal yaa. Balasnya lima menit kemudian.
Aku bangkit duduk, membangkitkan semangat, bersandar di dinding dengan masih membalutkan selimut di separuh badanku. Mengetik balasan, salam kenal jugaa Adii!
Sebuah pesan dari Farhan masuk bersamaan dengan balasan pesan dari Adi. Aku mengabaikan pesan Farhan yang menanyakan apakah aku sudah tidur, mengusap layar ponselku ke atas. Aku merasa seperti seorang peselingkuh. Tapi apa lagi yang bisa aku harapkan dari hubunganku dengan Farhan? Ia jelas bukan orang yang akan membantuku untuk pulih. Ia bukanlah orang yang tepat untukku bersandar. Aku pun lantas memilih untuk lanjut bercakap-cakap dengan Adi hingga waktu menunjukan pukul sepuluh malam. Aku sudah tidak kuat melawan kantuk yang menjadi salah satu efek samping obat yang aku konsumsi rutin, selain penambahan berat badan. Aku mengakhiri percakapan dengan Adi lantas beranjak tidur, menutupkan selimut ke seluruh tubuku.

***

Adi : Kanaya, nanti sore jadi kan?

Sebuah pesan masuk dari Adi mengingatkanku dengan janjiku untuk bertemu dengannya sore nanti. Aku buru-buru menghabiskan nasi padangku, agar bisa segera mencuci tangan untuk membalas pesan dari Adi. Mengunyah dendeng balado yang alot dengan sekuat gigiku. Meneguk air putih untuk membantuku melunakkan potongan daging yang aku kunyah.

Aku : Jadii yaa

Balasku sepuluh menit kemudian, setelah berjuang keras menghabiskan makan siangku. Aku sedang tidak berselera untuk makan, perutku serasa bergejolak sejak pagi tadi, namun aku harus tetap memaksakan untuk memasukkan makanan ke dalam perutku. Siapa yang akan mengurusku kalau aku jatuh sakit nanti?
Sorenya aku bertemu dengan Adi di sebuah Mall di daerah Tanah Abang. "Adi ya?" Sapaku saat melihat seorang lelaki yang tampak seperti Adi di fotonya. Ia mengenakan kemeja hitam lengan pendek, dengan potongan rambut yang rapi dan klimis. Secara penampilan ku beri nilai delapan untuknya.
Adi tersenyum melihatku. "Hai Kanaya, ga nyasar kan kesininya?" Adi balas menyapaku sambil terkekeh kecil, bergurau.
Aku mengambil kursi di depan Adi dan mendaratkan pantat. "Enggak kok, langsung kelihatan kamunya." Jawabku dengan senyuman.
Adi ternyata memiliki orang tua keturunan Padang. Ia juga kuliah di salah satu universitas di Padang, membuatku cepat terkoneksi dengannya. Kedua orang tua Adi memiliki toko di Tanah Abang, namun gulung tikar saat pandemi melanda tahun lalu. Adi memiliki seorang kakak perempuan yang menderita Anxiety semenjak terlibat pinjol karena suka menggunakan paylater, membuat keluarganya terlilit hutang. Adi mau tidak mau menjadi pencari nafkah utama di keluarganya.
Aku menggangguk angguk mendengarkan cerita dari Adi, bersimpati. Berpikir Adi bisa dipercaya, kepada Adi aku memilih jujur, menceritakan latar belakang diriku yang besar di panti asuhan dan tidak mengetahui asal-usulku. Adi agak terperangah mendengarnya, tidak percaya benar-benar ada orang yang menjalani hidup sepertiku.
"Jadi kamu belum tentu beneran orang Padang dong?" Tanya Adi yang bertopang dagu, disertai dengan wajah yang mengernyit penasaran.
Aku mengangkat bahu, mengukir seulas senyuman pasrah. "Bisa jadi begitu, aku gak tahu, dan sudah gak mau tahu sih."
Adi meraih tanganku yang mengetuk-ngetuk meja, menggenggamnya hangat. "Kamu hebat bisa sampai sejauh ini. Jangan berpikir kamu sendirian lagi ya, ada aku." Ucapnya tampak tulus dengan senyuman yang menenangkan, membuatku berdebar-debar. Aku lantas segera menarik tanganku dari genggamannya, merasa takut dengan kenyamanan yang ia hadirkan begitu cepat. "Hmm, ada kamu maksudnya gimana? Aku takut salah paham." Aku merasa tidak enak karena menarik tanganku tiba-tiba. Takut Adi tersinggung.
Sejenak, Adi menatapku dalam, membuatku salah tingkah. Menyibak rambutku ke belakang telinga. "Aku tahu ini terlalu cepat, di pertemuan pertama kita kalau aku bilang aku suka kamu, kamu pasti gak akan percaya, tapi yang aku tahu sekarang, aku ngerasa sangat tersentuh sama kamu, dan aku ingin nemenin kamu, sebagai apapun yang kamu mau, yang kamu butuhkan. Kalau kamu gak keberatan."
Aku bisa merasakan ketulusan dari ucapannya. Ingin aku menyambut hangat keinginannya itu. Tapi, bukankah aku masih menjalin hubungan dengan Farhan? Kini, aku merasa bersalah kepada Farhan. Apa yang akan Farhan pikirkan tentangku nanti, gadis yatim piatu peselingkuh? Pikiran buruk itu membuat setetes air mataku jatuh. Aku buru-buru mengusapnya mendahului Adi yang sudah mengulurkan tangannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Menjadi ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang