Farhan dan tante Mayang serempak melepaskan sendok makannya. Terkejut. Membuatku berkeringat dingin.
"Wah ini pacarnya Farhan ya?" Seorang pria yang aku taksir berusia awal enam puluhan tahun memasuki ruang makan. Membuat kami semua menoleh. Sepertinya ia adalah ayahnya Farhan, melihat ia masih mengenakan pakaian golf.
Aku tersenyum kikuk dan beranjak berdiri menghampirinya. "Siang om, saya Kanaya." Sapaku dan menyalaminya. Farhan ikut menyalami ayahnya. "Ini Papaku Heru Nay." Sebut Farhan.
Farhan dan ayahnya berbincang singkat, kemudian ayahnya pamit untuk mandi dan berganti pakaian.
"Ayo habiskan dulu makanannya Kanaya!" Ujar tante Mayang setelah suaminya berlalu ke kamar.
"Iya tante."
Kami melanjutkan makan siang dengan sedikit canggung. Tidak ada yang melanjutkan topik percakapan sebelumnya terkait aku yang seorang yatim piatu dan besar di panti asuhan. Tante Mayang memilih membahas topik lainnya. Tentang kekesalannya pada Farhan yang tidak mau mengikuti jejak karirnya sebagai pengacara, menantu pertamanya yang merupakan putri dari seorang anggota DPR, hingga keinginannya untuk segera menimang cucu sebelum pensiun tidak lama lagi.
Kami pamit kembali ke Jakarta pukul setengah lima sore, setelah berbincang-bincang ringan dengan tante Mayang dan om Heru. "Nanti kapan-kapan datang lagi yaa! Hati-hati di jalan." Ucap tante Mayang saat kami pamit. Om Heru tersenyum melambaikan tangan.
Separuh perjalanan kembali ke Jakarta kami saling diam. Farhan tampak fokus menyetir membuatku sungkan mengajaknya bicara. Aku memilih mengamati jalanan yang akan kutinggalkan di belakang. Memperhatikan lalu lalang kendaraan yang tampak seolah saling berkejaran, bukan antar kendaraan melainkan dengan waktu. Waktu yang tidak akan didapatkan kembali. Aku mengeluarkan ponselku, membuka aplikasi kamera. Merekam jalanan dengan langit jingga, mengabadikan momen yang mungkin tidak akan pernah terulang kembali. Aku yakin sekali Farhan tidak akan membawaku kembali ke rumahnya.
"Kenapa kamu ga pernah bilang?" Tanya Farhan tanpa menoleh ke arahku.
"Bilang apa?" Tanyaku balik, menoleh padanya.
"Kamu yatim piatu." Sahutnya.
"Kamu gak nanya." Jawabku dengan suara bergetar.
"Kalau aku gak pernah nanya, apa kamu gak akan pernah bilang?" Cecar Farhan. Irama nafasnya memburu. Tampak menahan kekesalannya.
Aku menatap lurus ke depan. Meremas ujung baju. "Maaf." Ucapku nanar.
Farhan akhirnya menoleh ke arahku. "Maaf untuk?" Tanya Farhan mengerutkan kening.
"Aku gak bermaksud untuk menutupinya," tapi aku takut kamu berubah pikiran jika tau, "tapi aku belum menemukan waktu yang tepat untuk kasih tau kamu."
"Memangnya kapan waktu yang tepat?"
Kapan waktu yang tepat? Ya aku tau memang tidak akan ada waktu yang tepat. Aku hanya beralasan. Alasan untuk menutupi fakta bahwa aku hanyalah seorang pecundang.
"Maaf." Ucapku lagi dengan suara bergetar menahan tangis
Farhan diam tidak melanjutkan pembicaraan.
***
Farhan masih bersikap seperti sediakala, sekembalinya kami dari Bandung. Menanyai kabarku, mengirimkan makanan enak, menjemputku sepulang kerja, mengajak menonton film. Membuatku bingung, namun juga membuatku melihat secercah harapan.
Farhan teman Rani :
Makan siang di luar yuk,
aku jemput sekarang.Aku membaca pesan whatsapp dari Farhan. Memijat pelipisku yang pening. Aku sedang ingin sendirian di hari liburku ini. Tidak ingin dipisahkan dari tempat tidurku. Apa lagi pergi keluar dan bertemu manusia lainnya. Tapi ini Farhan yang mengajak. Aku tidak bisa berkata tidak. Takut jika harapan yang tersisa akan sirna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Manusia
ChickLitKanaya pikir ia telah menjalani hidup yang sempurna. Namun ternyata, di mata orang lain ia hanyalah robot bernyawa yang karatan, namun masih memaksakan diri untuk tetap berfungsi. Ia rapuh dan harus segera didaur ulang sebelum menjadi tidak berguna...