Persis tujuh hari dari sekarang kegiatan Family Gathering Puskesmasku diadakan. Kegiatan akan dilaksanakan selama dua hari satu malam di Pangandaran. Aku sebagai ketua pelaksana sibuk memastikan kesiapan acara. Mendaftar ulang daftar nama peserta yang ikut bersama keluarganya, membagikan kaos acara, memastikan kelengkapan perlengkapan yang diperlukan. Meski menggunakan jasa Event Organizer, masih ada detail-detail lainnya yang harus dipersiapkan sendiri.
Aku merinci perlengkapan-perlengkapan pribadi yang harus dipersiapkan peserta. Aku praktis mengerjakan semuanya sendirian. Menghubungi EO, rapat dengan EO membahas detail kegiatan, dan memastikan kecukupan anggaran yang bersumber dari kas bulanan pegawai. Bukan aku tidak mau melibatkan yang lain. Aku sudah membentuk anggota panitia untuk menyiapkan kegiatan. Namun mereka tampak tidak mengacuhkan tanggung jawabnya.
"Lu atur aja deh Nay, kita ngikut aja!"
"Aduh Nay gue lagi repot ini, anak gue sakit. Gue ga bisa bantu dulu ya. Sori banget."
"Mba Kanaya, aku ga bisa pulang telat, takut macet di jalan."
"Kan ada EO Nay, kita ga usah repot lah, serahin ke mereka aja."Begitu alasan mereka tiap aku mintai bantuan. Ya sudahlah. Jangan salahkan aku kalau acaranya nanti tidak sesuai kemauan mereka.
Jumat pukul sebelas malam, kami berkumpul untuk berangkat ke Pangandaran. Besok sabtu tanggal merah, sehingga jadwal pelayanan Puskesmas tidak terganggu. Total seluruh peserta Family Gathering kali ini berjumlah delapan puluh lima orang termasuk keluarga pegawai. Tiga puluh satu pegawai membawa pasangan, dua belas di antaranya membawa satu anak, tiga di antaranya membawa dua anak. Aku mengabsen peserta. Memastikan tidak ada yang tertinggal.
Pak Haikal memimpin do'a sebelum berangkat. "Marilah kita berdo'a menurut kepercayaan masing-masing. Semoga perjalanan kita dilancarkan, selamat sampai di Pangandaran." Peserta lainnya mengamini."Ayo kita berfoto dulu sebelum berangkat." Ajak bu Ayu. "Kanaya spanduknya mana?" Lanjutnya.
Aku mengernyit bingung. Spanduk? Aku memeriksa daftar perlengkapan pada noteku. Tidak ada spanduk. Sepertinya aku lupa memesan spanduk kepada tim EO. Aku benar-benar tidak terpikirkan soal spanduk saat menyiapkan acara. Bagaimana aku bisa lupa?
"Kita ga mesan spanduk bu Ayu. Kelupaan." Aku berdebar-debar menjawab pertanyaan bu Ayu. Takut dihakimi tidak becus. Keringat dingin mengalir di tengkukku. Melirik dokter Arini, selaku Kepala Puskesmas. Memelas.
"Ya sudah, gak apa-apa, mau bagaimana lagi." Dokter Arini menenangkan. Syukurlah.
"Yaah gimana sih Nay, masa itu aja lupa." Bu Ayu mulai menyinyir.
Aku mual mendengarnya. Menyesali kebodohanku. Aku seharusnya mendata lebih teliti. Bekerja lebih baik. Aku kecewa pada diriku sendiri.
"Udah lah Yu, kasian Kanaya udah nyiapin acara sendirian. Lu dari kemaren juga ga bantu apa-apa. Dari kapan hari kan Kanaya juga udah nanyain apa lagi yang dibutuhkan. Ga ada yang nyebut-nyebut spanduk tuh." Mas Jamal bersuara membelaku.
Aku menelan ludah. "Makasih Mas Jamal. Maaf ya bu Ayu." Ucapku menimpali. Bu Ayu diam saja. Merasa tidak enak mungkin.
"Udah ayok kita foto bersama aja ibu bapak, ga pake spanduk gak apa-apa ya!" Bang Samsul ketua dari EO yang kami gunakan menengahi.
Kami berbaris mengatur posisi pengambilan gambar.
***
Pukul satu dini hari, dua bis yang kami tumpangi berangkat menuju Pangandaran. Aku membagikan snack bersama tim EO yang mendampingi kegiatan sebanyak empat orang. Dua orang di bisku, dan dua lainnya termasuk bang Samsul di bis lainnya. Perjalanan menuju Pangandaran lebih banyak diisi peserta dengan tidur dan beristirahat, mengingat kami memang berangkat pada jam tidur pada umumnya.
Rani temanku, ikut serta bersama suami dan anak perempuannya yang masih berusia dua tahun. Andin, putrinya rewel sejak satu jam perjalanan. Sepertinya mabuk darat. Rani telaten merawatnya, menahan kantuk. Aku kasihan melihatnya. Kehidupan setelah menikah tampaknya sangat berbeda dengan kehidupanku sekarang. Aku membayangkan jika diriku berada di posisi yang dijalani Rani saat ini. Apakah aku bisa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Manusia
ChickLitKanaya pikir ia telah menjalani hidup yang sempurna. Namun ternyata, di mata orang lain ia hanyalah robot bernyawa yang karatan, namun masih memaksakan diri untuk tetap berfungsi. Ia rapuh dan harus segera didaur ulang sebelum menjadi tidak berguna...