Belajar Mencinta

35 4 2
                                    

Satu bulan sudah aku menjalani pengobatan untuk depresiku. Aku menjalani terapi obat-obatan dan terapi kognitif. Dokter Kesehatan Jiwa yang ku temui meresepkan antidepresan yang harus aku minum setiap hari. Selain rutin mengkonsumsi obat, aku memutuskan untuk mulai memperbaiki hidup. Pelan-pelan mencoba melakukan saran dari Pak Rayhan Psikolog itu.

Aku memberi makan seekor kucing yang biasa terlihat di depan kantorku selama seminggu. Anak-anaknya yang beberapa waktu lalu kucing itu susui sudah tidak terlihat. Setelah seminggu melakukannya, anehnya aku mulai merasa terikat dengan kucing itu. Memasuki minggu ke dua, aku berhenti memberinya makan. Kucing itu mengeong menghampiri begitu melihatku datang ke kantor di pagi hari, meminta jatah makan yang seminggu ini dia dapat. Aku mencoba mengabaikannya, pura-pura tidak melihat. Sampai di depan pintu masuk kantor, aku menoleh ke belakang. Kucing itu masih berdiri di tempatnya yang semula, menatapku penuh harap. Hatiku terenyuh melihatnya. Ku hampiri kucing itu dan mengeluarkan makanan kucing yang masih ku simpan di dalam tas. Memberinya makan. Memberikan cinta. Siapa sangka, membuat pagiku terasa lebih baik. Aku terus melakukannya hingga satu bulan berlalu.

"Pagi mba Kanaya! Rajin banget sekarang mba ngasih makan kucing? Gak biasanya." Celetuk Pak Tatang yang melihatku seminggu ini rutin memberi makan kucing. Mengingat biasanya aku selalu menghindar jika melihat kucing. Tidak mau dekat-dekat.

"Pagi juga Pak Tatang! Lagi pengen aja pak hehe." Jawabku nyengir.

Sebuah sepeda motor Honda Vario 160 berhenti di halaman Puskesmas tempatku bekerja. Rani turun dari boncengan sepeda motor yang dikendarai suaminya. Berpamitan dengan mencium tangan suaminya, yang dibalas ciuman di kening Rani oleh suaminya. Aku sedikit baper melihatnya. Akankah aku berkesempatan untuk merasakannya juga? Gadis depresi sepertiku apakah pantas dicintai? Namun bukankah jika aku belum dicintai, aku masih bisa belajar untuk mencintai?

Aku sadar tidak ingin lagi hidup sendiri. Aku ingin memiliki keluarga dan memiliki seseorang di sisiku. Karena itu, dengan berat hati aku meminta Rani untuk mencarikan calon pasangan untukku. Aku menghampiri Rani yang sedang sendirian menghitung stok opname obat di ruang penyimpanan farmasi.
"Rani, lo lagi sibuk ya?" Tanyaku berbasa-basi.
"Yah, seperti yang lo lihat Nay, kenapa?" Tanya Rani.
Aku duduk lesehan di dekat Rani, bersandar ke dinding. "Ran, gue pengen nikah deh, bantu cariiin gue calon suaminya dong!" Pintaku malu-malu, membuat Rani terperangah mendengarnya. "Hah? Lo serius Nay?" Tanya Rani tidak percaya.

"Serius banget Ran, walau gue masih kurang pede sih, tapi seenggaknya gue pengen mencoba."

Rani menatapku tersenyum, "Lo tenang aja, gue pasti bantu kok. Lo mau pasangan yang kayak gimana?"

Aku berpikir sejenak. Selama dua puluh sembilan tahun hidupku sepertinya belum pernah aku memikirkan tipe ideal pasangan yang ku inginkan. Aku bahkan belum pernah jatuh cinta. Lelaki seperti apa yang ku inginkan? "Yang cakep boleh gak?" Tanyaku polos.

Rani mendengus, "Yang cakep biasanya udah ada yang punya Nay." Canda Rani terkekeh.

Aku menghela nafas panjang. "Yang mau aja deh."
Rani tertawa melihat raut putus asaku.

"Tenang aja, nanti gue cariin cowok yang paling oke buat lo!" Ujar Rani.

Aku tersenyum lega. "Makasih ya Ran."

Aku senang Rani mau membantuku mencari pasangan, karena aku sama sekali tidak memiliki ide bagaimana caranya aku bisa mendapatkan pasangan yang tepat di usiaku yang sekarang ini. Laki-laki sepantaran yang aku kenal, seperti teman sekolah ataupun teman kuliah pada umumnya telah menikah. Bekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang didominasi oleh perempuan, kalaupun ada laki-laki itupun juga sudah menikah. Menyisakan para berondong atau pria berusia jauh di atasku—atau duda dengan anak seperti sekretaris camat yang ingin dijodohkan bang Abdul denganku.

Menjadi ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang