Afraid

72 4 0
                                    

"maaf, aku tidak bisa melepas atau bahkan menahanmu"


"terimakasih untuk hari ini kak! Janji jangan tinggalkan aku ya?"

Darlino menatap kekasihnya itu dengan senyuman penuh arti setelah itu baru menganggukkan kepalanya perlahan. Banyak sekali keraguan yang terungkap dari pergerakan kecilnya, entah itu dipahami oleh langit atau tidak. Ia menatap punggung kekasihnya yang ditelan pintu rumah keluarganya. Darlino segera melajukan motornya meninggalkan perumahan langit, menuju gedung apartemen yang selama ini ia tinggali.

Jaketnya ia hempaskan sembarangan, tubuhnya ia bawa menuju balkon apartemennya yang berhadapan langsung dengan pemandangan kota dari lantai belasan ini. Darlino menghembuskan nafasnya kasar. Entah untuk apa itu.

Hari ini menyenangkan, sungguh. Dengan melihat langit tertawa lepas sambil membawa boneka beruang hasil bermain game di festival saja sudah membuat darlino senang. Tapi jujur, pikiran pria itu tidak akan membiarkannya hidup dengan sebahagia itu. Ia teringat akan perkataan ayahnya 2 minggu lalu yang cukup membuatnya seperti kehilangan cahayanya itu.

"ayah mau kamu menikah segera, lino! Sudah cukup bermain mainnya!" ucap pria paruh baya yang sedang berdiri didepan darlino, nada bicaranya terdengar tidak ramah

"apa maksud ayah aku bermain main?" ucap sang anak tak kalah

"kamu sudah lupa tentang permintaan mendiang ibumu dulu?"

Oh tidak! Jangan buat darlino membuka luka lamanya lagi. Ia masih ingat betul ucapan ibunya di ranjang rumah sakit, dengan keadaan lemas, ia meminta darlino untuk menjadi penerus perusahaan keluarga mereka, karena memang lino lah satu satunya anak mereka, kalau bukan darlino siapa lagi. Tapi ia tidak pernah tau kalau mengurus perusahaan keluarganya yang berada di luar negeri itu termasuk harus menikahi anak dari kolega yang telah ayahnya pilih!

"kamu harus segera berangkat, bulan depan"

"tapi ayah! Aku punya langit disini! Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja"
"tidak ada pilihan lain, darlino. Cepat atau lambat, kamu memang harus melepasnya"



Tetesan air hujan menyadarkan darlino dari lamunannya. Entah sudah berapa lama ia berdiri disana, membiarkan jiwanya tertarik kembali dimomen beberapa saat lalu, momen ketika ia harus menelan kenyataan secara bulat bulat. Cepat atau lambat, memang ia harus melepaskan langit.

.

.

.

"kakak kenapa melamun? Habis dimarahi pak Christ?"

Darlino tersentak, mendapati langit sedang menepuk nepuk pelan pipinya. Ia menggeleng, menunjukkan senyuman palsunya agar langit tidak ikut khawatir, "enggak. Semua aman kok" setelah itu ia kembali fokus pada pekerjaannya.

Sesungguhnya semua ini berat. Setelah lulus kuliah, darlino diterima bekerja di sebuah perusahaan, tempat yang sama yang mempertemukannya dengan sang pujaan hati yang sampai saat ini masih setia singgah dihatinya. Pekerjaannya disini sebenarnya tidak terlalu berat. Tidak terlalu berat dalam artian darlino masih bisa dengan bahagia mengerjakannya. Tetapi yang membuatnya berat sebenarnya adalah bayang bayang ayahnya yang selalu mengingatkannya bahwa akan tiba saatnya darlino meninggalkan semua ini untuk melanjutkan perjalanan hidup ayahnya. Ya, semuanya. Termasuk langit nya itu.

"kak? Daritadi diem aja, banyak pikiran ya?" malam ini mereka berdua memilih untuk makan malam bersama di sebuah rumah makan, namun yang langit dapati hanya darlino yang mengacak acak isi piringnya tanpa minat sama sekali

all about us, 2min oneshootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang