BAB 01 : Rendang Lezat Buatan Ungku

6 1 0
                                    

Dikasih cobaan eh, malah dicobain. Tapi kalo cobain rendang gratis dengan pemandangan wajah tampan Liam boleh juga.
-Anonymous-


Matahari mulai menampakkan diri dari sisi timur. Pagi hari pertama di Servhia. Avy baru bangun setelah dokter Kirana membangunkannya. Bergerak malas ke kamar mandi, membasuh wajah dan menyikat gigi. Syukurlah. Kemarin malam Avy mengira tidak ada sikat gigi di zaman ini.

Selesai bersih-bersih, Avy dan dokter Kirana datang ke ruang makan untuk sarapan. Nyonya Violauz menyiapkan sup hangat untuk mereka. Sarapan pagi itu berjalan dengan tenang. Hingga selesai sarapan, Ungku menyampaikan keinginannya.
      
“Tidak mungkin kita selalu membebani Nyonya Violauz selama kita di sini. Jadi bagaimana kalau kita membuka kedai?”
      
“Hah? Kedai?”
      

“Ungku mau jual apa?”
      
Ungku tertawa kecil, “Ungku ini orang Minang. Sepertinya rendang akan banyak penggemar di sini,”


***
      

Dengan meminjam peralatan milik Nyonya Violauz, Ungku pergi berburu sendiri di hutan yang sama sekali belum pernah dipijaknya. Lalu tugas Avy dan Liam adalah mengumpulkan rempah-rempah yang sudah dituliskan oleh Ungku dalam secarik kertas. Dengan senang hati Nyonya Violauz menemani mereka belanja ke pasar—sekalian membayar belanjaan itu nanti.
      
“Sebenarnya kalian ini darimana, nak?”
      
“Kami tinggal di sebuah negara, namanya Indonesia. Indonesia punya lima pulau besar dan ribuan pulau kecil. Pulau-pulau itu sangat indah. Ada Raja Ampat, Pulau Komodo, dan masih banyak lagi. Negara kami punya kekayaan alam yang sangat melimpah. Dan makanan yang akan dimasak oleh Ungku tadi adalah makanan terlezat nomor satu di dunia kami,” dengan bangga Liam berbicara.
      
“Terlezat di seluruh dunia? Rasanya pasti benar-benar lezat. Oh astaga, aku jadi tidak sabar untuk mencicipinya nanti,”
      
“Omong-omong Nyonya Violauz, pasar Servhia sangat besar,”
      
“Begitulah, nak. Servhia adalah pusat perdagangan negara ini. Juga tempat produksi bahan pangan terbesar di seluruh negri. Delapan puluh persen bagian kota Servhia adalah lahan pertanian dan pasar. Setiap hari, kami mengirimkan berton-ton bahan makanan ke kota-kota lain,”
      
Avy dan Liam mulai membeli bahan-bahan untuk membuat rendang. Beberapa penduduk masih menatap mereka dengan tidak suka. Satu jam lebih mereka berkeliling dan akhirnya selesai.
      
“Nyonya Violauz, siapa yang memimpin negara ini?”
     
“Saat ini pemimpin kami adalah Kaisar Philip. Dan kami punya keunikan soal mata uang. Nama mata uang akan berganti sesuai dengan nama Kaisar yang sedang memimpin.”
      
Wow! Benar-benar mengejutkan. Kalau di Indonesia terjadi hal yang sama, berarti nama mata uang akan berganti setiap lima tahun? 1 Mega Chan—astaga. Tidak lucu.
      
“Selamat pagi, Baroness Violauz,”
      
“Selamat pagi, Jim,”
      
Sepanjang perjalanan ada saja orang yang menyapa Nyonya Violauz atau bahkan memberikan sesuatu. Makanan, atau sekedar basa-basi mengajak minum teh. Kedudukan Nyonya Violauz sebagai Baroness memang hebat, pantas saja semua orang menghormatinya.
      
“Oh, selamat pagi, Violauz.” seorang kakek tua menyapa. Sepertinya mereka temna dekat, cara bicara mereka tidak formal.
      
“Selamat pagi juga, Tommy,”
      
“Kau sudah dengar berita tentang Putra Mahkota?”
      
Nyonya Violauz mengangguk sebagai jawaban. Pak tua yang dipanggil ‘Tommy’ itu berseru heboh, bilang kalau kabar itu sangat mengejutkan. Avy dan Liam hanya bisa cengar-cengir karena tidak paham apa yang sedang mereka bahas.
      
Hampir setengah jam Nyonya Violauz diajak mengobrol oleh Tuan Tommy. Lalu mereka akhirnya bisa pulang tanpa gangguan lagi.
      
“Selamat datang, Nyonya Violauz,” dokter Bagas yang sedang menyapu halaman rumah menyapa dengan riang. Dalam satu malam mereka semua berhasil beradaptasi dengan baik.
      
Avy dan Liam meletakkan semua barang yang sudah dibeli di atas meja. Mereka tidak paham cara mengolahnya, jadi biarkan saja mereka menunggu hingga Ungku pulang.
      
“Ah, para dokter. Aku sudah ke kantor kependudukan semalam, mereka meminta kalian datang ke sana siang ini. Hanya sedikit pemeriksaan, jika kalian benar-benar mampu bekerja seperti tabib pada umumnya, maka mereka akan meminta kalian bekerja di pusat kesehatan masyarakat kota dan kalian akan diberi gaji,”
      
“Benarkah? Wah, itu kabar yang sangat baik. Tapi omong-omong aku bukan dokter, Nyonya Violauz. Aku adalah apoteker,” kata Ivan.
      
“Itu justru bagus, Ivan. Mereka akan sangat menghargai jika kau bisa meracik obat dengan baik,”
      
Avy dan Liam saling tatap. Tak paham. Mereka memilih duduk di ayunan di belakang rumah Nyonya Violauz. Merenung. Liam merenung menatap pepohonan. Avy merenung menatap ujung jari kakinya. Lengang beberapa menit. Hanya terdengar kicau burung, juga kesiur angin yang melewati hutan bambu.
      
“Av...”
      
“Hm?”
      
“Apa kita bisa keluar dari sini, ya?”
      
“Entah. Mungkin bisa. Tapi gimana caranya kita gak tau. Apa harus ditabrak truk lagi? Atau mungkin kita gak bakal bisa keluar dari sini. Cuma masa depan yang bisa jawab semuanya,”
      
Lengang lagi hingga mereka melihat Ungku kembali dengan membawa hasil buruannya. Dua ekor rusa.
      
“Ungku!”
      
Ungku tersenyum lebar. Dia meletakkan kedua rusa itu di tanah untuk dibersihkan. Para dokter—dan apoteker, ikut girang melihat hasil buruan itu. Nyonya Violauz berdecak kagum.
      
“Kamu ngapain di sini, Liam?”
      
“Eh? Emangnya kenapa?”
      
“Nyonya Violauz bilang dia punya banyak kayu dan papan juga peralatan pembangunan lainnya. Cepat buat kedai untuk rendang kita ini. Bagas dan Parwez, bantu Liam. Dan kau Ivan, bantu aku. Kirana dan Avy buatlah bumbu rendangnya segera.”
      
“Tapi aku gak pande, Ungku,”
      
“Tenang, aku bisa, kok,” dokter Kirana tersenyum lalu melangkah ke dapur duluan. Nyonya Violauz memilih ikut dengan mereka.
      
Meski kesulitan karena peralatan masak yang belum memadai, bumbu rendang itu jadi juga. Tak beda, Liam, Bagas dan Parwez juga bekerja keras membangun kedai rendang dari kayu dan papan yang ada. Penduduk yang berlalu lalang keheranan melihat mereka. Satu dua bertanya apa yang sedang mereka lakukan. Mereka bilang kalau mereka hendak membangun kedai. Bertanya lagi, kedai untuk apa? Dijawab, untuk rumah makan.
      
“Istirahat sebentar, Liam,”
      
“Oke pak dokter,”
      
Kuali besar disiapkan di atas tungku. Dan jika kalian lihat tadi betapa sabarnya Ungku memarut kelapa dengan sebilah pisau hingga menjadi potongan kecil-kecil, astaga. Sebagai ahli silat, tak ayal lagi kalau Ungku memiliki kesabaran tingkat tinggi.
      
Avy menjerang air lalu setelahnya Kirana memeras santan. Sekali lagi Nyonya Violauz terkesima. Belum pernah dia melihat santan.
      
“Kalian... benar-benar dari masa depan...?”
      
“Eh? Memangnya tahun berapa santan ditemukan? Kami berasal dari tahun 2023, Nyonya Violauz,”
      
Tak hentinya Nyonya Violauz memuji, sungguh keajaiban. Mereka benar-benar dari masa depan? Betapa beruntungnya Nyinya Violauz mengenal mereka?
      
“Arum dimana, Nyonya?”
      
“Oh, Arum sedang bersekolah. Kemarin-kemarin aku berencana mengirimnya ke sekolah elit di ibukota, tapi Arum menolak. Jadi dia bersekolah di kota ini,”
      
Avy manggut-manggut, kembali memperhatikan Ungku memotong-motong daging rusa menjadi bentuk dadu-dadu kecil. Ivan menjaga nyala api tetap stabil.
      
“Nyonya, apa ibukota itu megah?”
      
“Sangat, Avy. Sangat. Ibukota begitu luas dan membentang indah. Kastil Kaisar berdiri megah di pusatnya. Ibukota adalah pusat kebudayaan negri, semua orang akan takjub melihatnya. Kastil dengan seribu pintu. Yang di tiap pintunya berjaga seratus prajurit. Meski itu adalah kota besar, tidak sulit menemukan pepohonan di sana. Semuanya berpusat di sana,” mata Nyonya Violauz berbinar ketika menceritakan. Sepertinya ibukota memang semegah itu.
      
“Apa aku boleh ke sana?”
     
“Tentu saja, Avy. Aku sudah berencana membawa kalian ke ibukota untuk membeli beberapa pakaian. Tapi mungkin baru tujuh atau sepuluh hari lagi,”
      
Giliran Avy yang berbinar, tak sabar hendak menginjakkan kaki di ibukota. Menit-menit selanjutnya diisi dengan perbincangan ringan membahas negara masing-masing.
      
Namun karena banyaknya daging rusa yang dimasak, hingga siang hari pun rendang itu belum selesai juga. Para dokter dan apoteker diantar ke kantor kependudukan. Mereka hendak diperiksa dan diuji kemampuannya.
      
“Ungku. Apa kita bisa keluar dari sini?”
      
Ungku menatap Liam, “Entahlah, Liam. Kita tidak tau sebenarnya apa tempat ini dan bagaimana kita bisa terjebak di sini. Alhamdulilah jika kita bisa kembali. Namun kalau tidak? Kita harus hidup layaknya orang pada umumnya di sini,”
      
Entah apa yang membuat hati Liam begitu gelisah. Sejak tadi dia terus bertanya hal yang sama. Pada Avy, Bagas, Kirana dan barusan kepada Ungku. ‘Apa kita bisa keluar dari sini?’
      
“Apa yang membuatmu begitu gelisah, Liam? Rindu Ayahmu? Atau Bundamu?”
      
“Hari ini Bunda ulang tahun. Seharusnya aku udah ngajak Bunda ke rumah pohon yang aku buat...”
      
Avy menatap Liam prihatin. Yah,... sosok ibu. Meski Bunda Liam adalah orang yang paling menentangnya untuk menjadi seorang dokter, Liam tidak pernah bisa membencinya. Sosok bunda Liam yang tegas dan hangat di saat bersamaan, membuat siapapun akan selalu mengingat wajahnya.
      
“Entah gimana kabar Bunda dan Ayah sekarang,.. mereka pasti nyariin.”
      
Avy menyentil kening Liam, “Sejak kapan kamu jadi cengeng begini? Ingat gak, waktu kita kabur liburan ke New York? Kamu baik-baik aja tuh. Kita liburan selama sepuluh hari. Dan ini baru satu hari. Jangan lemah. Aku gak suka,” ketus Avy. Meski begitu, dia tetap menyimpan kekhawatiran mendalam untuk Liam, sahabatnya.
      
“Oh, jadi ternyata kalian kabur selama sepuluh hari untuk berlibur ke New York? Dasar anak-anak nakal.” Ungku pura-pura marah, berusaha menghibur Liam. Tapi Liam tidak tertarik.
      
“Jangan sedih, Liam. Kalau kamu sedih, aku juga ikutan nangis ntar...” Avy memeluk Liam, mengusap punggungnya dengan lembut. Memang berat, sih. Tanpa tau apa-apa, tiba-tiba terjebak di kehidupan abad pertengahan. Bahkan bukan di dunia biasa. Di dunia yang mereka kenal, tidak pernah ada kota yang namanya ‘Servhia’.
      
Usapan lembut Avy manjur. Liam terkekeh ketika melihat Avy menahan tangisnya. Gantian. Giliran Liam yang memeluk Avy.
      
“Aku aja gak nangis, kok kamu nangis?”
     
“Diem. Aku cuma kebawa suasana,”
      
Hingga tiga jam kemudian, tepat ketika Nyonya Violauz dan para dokter serta apoteker kembali, rendangnya telah siap. Aroma kelezatan tercium jelas. Bahkan aroma rendang yang super menggugah itu ikut dicium oleh warga sekitar.
      
Nyonya Violauz menjadi yang pertama mencicipinya. Tertegun, terharu, terisak.
      
“Rasanya,.. sungguh lezat sekali, Datuk... Ini benar-benar lezat....”
      
Ungku tersenyum lebar, “Jadi kami sudah boleh membuka kedai, kan, Nyonya Violauz?”
      
“Segera. Segera saja, Datuk. Biar semua orang tau betapa lezatnya masakan ini,” Nyonya Violauz menyeka air matanya. Ya, saking lezatnya haha.
      
Ungku menyilahkan mereka mengambil sepuasnya. Uh, betapa lezatnya rendang ini. Rendang yang dimasak langsung oleh orang berdarah Minang pekat. Mereka menikmati masakan Ungku dengan penuh keseriusan. Nyonya Violauz bahkan nambah empat kali.
      
Malam harinya, kedai itu resmi dibuka. Meski bangunannya belum sempurna selesai, banyak sekali warga yang berdatangan hendak membeli karena mencium aroma rendang itu. Sebagian memilih langsung makan di sana, terkaget-kaget dengan kelezatannya. Memuji-muji. Lupa kalau kemarin mereka baru saja membenci kedatangan sang koki yang memasak makanan dengan rasa legendaris ini.
      
“Apa nama makanan ini, Baroness?”
      
“Jangan tanya aku, tanyakan saja pada juru masaknya,”
      
“Namanya ‘Rendang’, makanan khas tanah kelahiranku, nun jauh di sana.”
      
Semakin banyak yang mengantri, dalam semalam hampir semua daging rendang yang dimasak habis dibeli. Baru hari pertama buka sudah selaris ini. Dugaan Ungku benar, ada banyak penggemar rendang bermunculan seketika. Ada yang sudah beli datang lagi, beli seporsi lagi.
      
Satu porsi daging rendang diberi harga 27philip. Kalian tau berapa harganya jika dirupiahkan? Mereka juga tidak tau.
      
Bagi para pembeli wajar-wajar saja jika makanan selezat ini berharga mahal. Dan hari itu juga, rendang resmi menjadi makanan termahal di kota Servhia.

MONSTRUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang