BAB 06 : Sharon Aslan

0 0 0
                                    

Beban harapan di pundakmu, jagalah. Sebelum kau akan menyesal karena sudah melukai hati mereka yang mempercayakan beban itu padamu.
-King Sharon-



      
“Ayah,...”
      

Tangan Raja Arlon menyentuh wajah putranya itu dengan penuh kasih. Sudah berbulan-bulan Raja Arlon terbaring lemah di atas dipan mewah itu. Penyakit parah yang terus menggerogoti tubuhnya, tak bisa diobati dengan apapun. Rambut hitam lebatnya sudah banyak yang rontok, membuat kulit kepalanya terlihat jelas di balik sisa-sisa rambut yang ada. Bagai kerangka hidup, Raja Arlon terlihat kurus sekali. Entah kemana semua otot yang dulu membalut tubuhnya.
      
“Sharon,.. berjanjilah pada Ayah,..”
      
Sharon yang kala itu masih berusia tiga belas tahun mengangguk patah-patah, menyadari nafas Raja Arlon yang mulai terengah-engah. Permaisuri dan keenam kakak perempuan Sharon yang berdiri di pinggir dipan sambil menahan tangis habis-habisan.
      
“Berjanjilah kau akan menjadi Raja yang agung dan adil,.. Pimpinlah rakyat kita agar senantiasa makmur,..”
      
Raja Arlon tersenyum, memanggil keenam putri dan istrinya untuk mendekat. Satu persatu dari mereka berlutut lantas Raja Arlon mengecup kening mereka, meninggalkan wasiat. Setelah keenam putrinya, giliran sang istri.
      
Raja Arlon menangkup wajah Permaisuri lalu mengecup keningnya cukup lama, menangis dalam diam. Permaisuri sesenggukan, mengusap tangan suaminya itu.
      
“Aku sungguh mencintaimu,..” bisik rasa Arlon.
      
Beberapa saat, Raja Arlon beralih menatap Sharon sambil tersenyum hangat.
      
“Lihatlah calon Raja kita ini,..”Raja Arlon mengusap kepala si bungsu. Sharon hanya diam, menangis.
      
“Kau tau kenapa Ayah memberimu nama ‘Sharon Aslan’?” yang ditanya menggeleng. Sharon tau benar tadi ketika tiba-tiba sang Ayah memanggil mereka semua. Karena pada umumnya orang-orang Daykarao bisa merasakan jika ajal mereka sudah dekat.
      
“Seperti namamu, Ayah berharap kau tumbuh menjadi pemuda padang pasir yang tangguh dalam memimpin layaknya singa,.. Bisakah kau memenuhi harapan Ayah itu, Sharon?”
      
“Aku pasti bisa, Ayah,..”
      
“Ekitna, panggil para petinggi kerajaan dan ambilkan mahkota Ayah,.. Nobatkan Sharon sekarang juga,..”
      
Sharon terbelalak dalam tangisnya, “Tidak, Ayah. Itu terlalu cepat,.. Aku masih—
      
“Ayah yakin kau bisa, nak,..”
      
Hari itu juga Sharon dinobatkan sebagai Raja Suku Daykarao. Mahkota Ruai disematkan di kepalanya—meski masih kebesaran. Tepat ketika Sharon selesai mengucapkan sumpahnya,
      
Raja Arlon tersenyum, “Selamat menjalankan tugasmu, Raja Sharon,..” menghembuskan nafas terakhirnya.

***


      
Avy mengendap-endap hendak masuk ke penginapan Raja Sharon. Masih lengkap dengan pakaian silatnya, namun ditambah dengan kain hitam tipis untuk menutupi wajahnya. Sejauh ini pergerakannya mulus, tidak ada gangguan. Bak seorang ninja, Avy melompat dari satu balkon ke balkon lainnya tanpa bersuara. Bagian istana yang ini lumayan sepi karena dikhususkan untuk tamu-tamu penting, tidak terlalu banyak penjaga.
      
“Sial. Heh, burung. Minggir, atuh!” desisnya.
      
Burung itu tetap diam, mematuk-matuk pagar balkon. Avy mengumpatinya dalam hati, dasar menyebalkan! Namun setelah beberapa saat akhirnya burung itu terbang menjauh. Avy kembali melompat dengan gesit dan kini dia berada di balkon sebuah bangunan tempat Raja Sharon menginap.
      
Riuh rendah terdengar di kejauhan. Beberapa prajurit Saranjana muncul sambil berteriak-teriak—
      
“Siapa kau?”
      
Sebuah pedang terhunus tepat di depan leher Avy. Dia menenggak saliva, perlahan menoleh ke kanan dan mendapati sosok Raja Sharon tanpa mahkotanya. Raja Sharon menatap dengan dingin.
      
“A-aku bukan penjahat—
     
“Lantas kenapa kau mengendap-endap?”
      
“Aku hanya—
      
“Jangan berbohong!”
      
“Huwaaaa!!” Avy kaget dengan bentakan itu hingga kehilangan keseimbangan dan hendak terjatuh, tapi refleks saja dia menggenggam erat-erat pedang Raja Sharon yang masih terhunus. Kedua telapak tangannya tersayat, lumayan dalam.
      
“Gadis bodoh!” Raja Sharon menarik tangan Avy hingga dia terjatu di lantai balkon. Tidak apalah. Daripada harus terjatuh ke bawah sana, huh, mengerikan. Avy mengibas-ngibas kedua tangannya yang terasa begitu perih, darah menetes.
      
“Argh,.. Ungku...”
      
Raja Sharon meninggalkannya tanpa belas kasihan. Avy berusaha menahan tangisnya, rasanya memang perih sekali tapi tidak ada pilihan lain daripada Avy harus jatuh dari ketinggian ini lantas mati atau setidaknya lumpuh. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka dan derap langkah kaki.
      
Avy menengadah kaget ketika dua orang prajurit menangkapnya. Karena tak terima, Avy memanfaatkan kedua kakinya yang masih sehat wal afiat untuk menendang prajurit itu. Dua terbanting, teman-temannya datang membantu.
      
Sial.
      
“Ini kenapa main tangkap-tangkap?!” Avy melompat tinggi lantas menendang dengan sekuat tenaga, dua prajurit lagi tergeletak, mengaduh kesakitan. Masih tersisa delapan. Sekaligus datang menyerang Avy.
      
“Curang itu, mah!”
      
Avy berlari menyelip gesit di antara para prajurit yang berdatangan. Avy pikir dia bisa langsung kabur, ternyata tidak. Avy tidak ingat jelas, dia merasakan kepalanya dihantam begitu keras lalu kehilangan kesadarannya, tergeletak pingsan.
      
Lengang.
      
Prajurit yang tersisa menyeret tubuh Avy menuju singgasana Kaisar. Sebelum itu, Raja Sharon menghentikan salah satu prajurit.
      
“Kenapa dia ditangkap?”
      
“Kaisar Philip membencinya karena dia adalah gadis non-bangsawan yang ingin dinikahi Putra Mahkota Kyle,”
      
Terbelalak, “Apa?!”
      
Prajurit itu bergegas pergi menyusul temannya yang membawa Avy. Raja Sharon terdiam di tempatnya, gemetar.
      
“Sial. Kenapa aku malah menyakiti orang yang tidak bersalah..?!

MONSTRUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang