3. Perkara Fitting

43 3 0
                                    

“Assalamu'alaikum, halo, Ummik ... kenapa pagi-pagi telepon?”

Terdengar kekehan ringan dari seberang telepon. Ummiknya terdengar begitu senang dan bersemangat di pagi-pagi buta. Iya, ini masih ba'da subuh.

“Ummik udah nggak sabar mau ngasih kamu rekomendasi desainer gaun pengantin di Surabaya ....”

Mendengar kata 'pengantin' membuat pundak Fiyya anjlok seketika. Sebuah topik yang selalu sukses merenggut semangatnya.

“Ummik, Ummik ajalah yang urus, saya nurut kok.”

“Ya Allah, ini itu udah terkenal. Rekomendasi dari temen-temen jama'ah abah. Kamu harus coba ke sana,” ucapnya.

“Ummik, Fiyya sibuk ngurusin resto, lho, pulang ke rumah pasti udah capek,” alibi Fiyya.

“Loh, justru itu ... dari pada kamu pulang ke Tuban cuman buat fitting, ngukur baju segala macem, mending kamu cari yang deketan sana. Atau kamu mau sekalian urus dekor? Mau pilih WO sendiri?”

“Mana sempet, sih, Ummik,” ucapnya lelah, “WO sama dekor biar di urus Mbak Syifa aja.  Selera dia bagus, nggak beda jauh sama selera saya.”

“Tapi, fitting baju harus kamu yang datang sendiri, ya?”

Fiyya terdiam. Ummiknya sudah benar-benar memaksa. Dia tidak mungkin mengelak. Dia menghela napas panjang. “Iya, Ummik.”

Dibalik telepon, ummiknya tersenyum lebar. “Nah, gitu, dong, Sayang. Kalo dari tadi nurut, 'kan, semua jadi cepet. Ummik udah terlanjur atur jadwal buat kamu ketemu langsung sama desainernya.”

Kan? Jadi ini yang membuat ummiknya begitu memaksa?

“Desainernya ngatur pertemuan jam 10 pagi. Kamu bisa, ya, ngeluangin waktu buat ketemu?”

Dengan sangat terpaksa, Fiyya mengiyakan permintaan ibunya. Telepon ditutup setelah percakapan itu selesai.

🍁🍁🍁🍁🍁

Fiyya duduk di tepi resto dengan tangan yang sibuk mengaduk-aduk kopi yang mulai dingin.

“Ngapain di aduk mulu?”

Ujar seseorang itu yang akhirnya memecah lamunan  Fiyya. Fiyya lantas menoleh ke arah sumber suara. Dia pun tersenyum tipis melihat kedatangan pria itu. “Eh, Gam, duduk,” tawarnya.

Agam duduk sambil tetap menatap Fiyya. “Tumben kopi item? Biasanya suka yang latte. Lagi mikirin apa?”

Fiyya lagi-lagi hanya tersenyum tipis. Merasa kagum dengan tingkat kepekaan Agam tentang dirinya. “Nggak papa, Gam. Lagi pengen aja.”

“Kalo nggak mau cerita nggak papa. Lagian gue juga bukan siapa-siapa, 'kan?” sindir Agam.

“Eh, ’kan, emang iya?” ucap Fiyya bercanda, dia mencoba mencairkan suasana.

Agam justru memutar bola matanya malas. “Nggak asik lo!”

Fiyya lantas tertawa renyah. “Lagian lo aneh, gue minum kopi itu wajar. Yang nggak wajar kalo gue minum susu Prenagen.”

“Wajar kalo lo minum Prenagen,” balas Agam.

Mata bulat Fiyya melebar. “Wajar dari mananya?”

“Wajar kalo kita udah nikah. Aku nggak akan larang, kok,” goda Agam.

“AGAM!! NGESELIN BANGET!” pekik Fiyya sambil memukul meja.

“Lo kalo salting nggak usah belaga emosi. Salting, salting aja, nggak ada orang juga di sini.”

Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang