Chapter 5 - High Value Target

32 4 0
                                    

Delapan tahun berlalu semenjak Jim pertama kali masuk sebagai calon tentara di Royal Military Academy Sandhurst. Kakeknya benar, menjadi tentara merubah Jim. Tidak sepenuhnya, tapi cukup untuk membuat kerajaan bangga.

Foto-foto Jim berpesta bersama perempuan sudah berganti menjadi fotonya berbaris mengenakan pakaian tentara. Foto setengah telanjang dengan wajah merah akibat mabuk berat sudah berganti menjadi fotonya bertelanjang dada berpeluh keringat sehabis latihan keras. Istilah Royal Rogue tetap dipegangnya, tapi bukan untuk berita yang negatif. Pamornya di kalangan perempuan-perempuan dunia pun mulai menyaingi Fred. Keduanya resmi menjadi two most eligible bachelors. Sisi sifat lama Jim menyukai hal itu.

Namun setelah Jim lulus dari Sandhurst dan memulai karirnya sebagai tentara, berita tentangnya padam. Kerajaan Britain semaksimal mungkin berusaha agar Jim tidak terdengar di media. Tidak ada yang tau kabar karirnya dan di mana dia bertugas. Ini semua bentuk upaya pengamanan untuknya dan seluruh militer negara.

Di usianya yang baru beranjak dua puluh tujuh tahun, Jim sudah menjadi seorang kapten. Dia memimpin pasukan angkatan udara dan sudah enam kali bertugas di garis depan. Sedikitpun dia tidak membawa embel-embelnya sebagai orang ketiga di Britain. Dia bertugas selayaknya seorang tentara—dia tidur di tempat yang sama, mandi di tempat yang sama, makan makanan yang sama, dan menghadapi resiko yang sama dengan rekan-rekan militernya. Dia dikenal sebagai pilot yang handal dan beberapa kali ikut dalam misi penyelamatan di daerah konflik—menghadapi langsung para teroris yang menyerang. Rekan-rekannya pun setuju, Jim memang pantas mendapatkan jabatan yang dipegangnya terlepas dari dia seorang pangeran. Memakai seragam tentara, Jim tidak ada bedanya dengan siapapun di sekitarnya.

Tapi sayangnya, baru-baru ini berita dimana Jim ditugaskan bocor oleh media Australia. Jim sudah tujuh minggu bertugas di Afghanistan ketika dia dipanggil atasannya dan mendapat berita mengesalkan.

"Atasan sudah memutuskan untuk menarikmu kembali ke Inggris," ucap Major Albert.

Jim menarik nafas kesal tapi tetap dengan sikap tegapnya. "Tugasku masih belum selesai di sini," ucap Jim sebagai bentuk penolakan. Dia tau yang dimaksud dengan atasan adalah kerajaan.

"Musuh sudah tau kalau kau di sini. Membiarkanmu tetap bertugas di garis depan tidak hanya akan membahayakanmu, tapi juga rekan-rekan yang bertugas bersamamu. Kau target yang bernilai tinggi—terlalu tinggi. Sebaiknya kau menurut dan segera mengemasi barang-barangmu."

Jim diam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "siap, Major!"

Jim dipulangkan di hari yang sama dia mendapat perintah tersebut. Rupanya mereka sekhawatir itu sampai harus menarik Jim kembali ke Inggris secepat mungkin. Jujur, dia malu. Gelarnya sebagai seorang pangeran pada akhirnya menghambat karirnya dan dia tidak suka dianggap sebagai target bernilai tinggi. Sekarang dia harus kembali ke Inggris sementara rekan-rekannya tetap di Afghanistan bertaruh nyawa. Kamarnya yang nyaman di Kensington Palace tidak membuatnya merasa lebih baik. Dia rela menukarkan apapun untuk kembali tidur di baraknya di garis depan.

Tapi setidaknya, telfon dari Fred membuatnya merasa lebih baik.

"Jim! Aku sudah mendengar semuanya. Baguslah kau sudah kembali ke Inggris," ucap Fred sarat khawatir. Sudah setahun ini Fred sibuk dengan kerja amalnya di Afrika. Dia ikut membangun rumah sakit di sana.

"Iya, sekarang aku seperti tentara pengecut yang kabur begitu mendapat ancaman," cibir Jim kesal.

Fred berdecak. "Jangan bicara seperti itu. Yang kau lakukan juga demi keselamatan rekan-rekanmu."

Jim hanya mendengus.

"Ngomong-ngomong, aku juga akan kembali ke Inggris," ucap Fred.

"Oh, ya? Kapan?" Jim mulai bersemangat. Setidaknya Kensington Palace akan terasa lebih baik dengan adanya Fred. Sudah hampir setahun mereka tidak bertemu.

"Besok lusa. Tadinya aku berencana pulang akhir bulan, tapi mendengar kau kembali ke Inggris, aku mempercepat penerbanganku. Aku khawatir kau jadi gila tinggal di Kensington tanpa aku." Jim tertawa. Kakaknya benar. "Dan, Jim, aku tidak pulang sendirian."

Kening Jim mengerut dan senyumnya terkulum mendengar ucapan Fred. "Jangan bilang kau sudah ingin segera menurunkan rankingku?" goda Jim.

Fred tertawa. "Kau berfikir terlalu jauh."

Jim ikut tertawa. "Kenapa aku tidak pernah mendengar soal ini sebelumnya?"

"Karena memang tidak ada yang tau. Dan berhubung kau sedang di sana, ini kesempatan yang baik untuk mengenalkannya pada keluarga."

"Mengenalkannya pada keluarga? Jadi keluarga kita belum ada yang tau kau punya pacar?" Selama ini Jim selalu mengira kalau Fred, si calon raja yang baik, akan menemukan jodohnya di kalangan keluarga kerajaan—kemungkinan besar lewat perjodohan.

"Belum. Dan Jim, aku membutuhkan bantuanmu untuk hal itu."

"Maksudmu?"

"Bantu aku agar Pop bisa menerima."

"Memangnya kenapa?" Jim semakin tidak sabar dengan apa yang kakaknya simpan.

"Dia... dia orang Amerika."

Jim diam sejenak. "Oh, wow..." gumamnya tidak percaya. "Menarik." Sangat menarik. Jim belum pernah mendengar calon raja Britain menikah dengan seseorang yang tidak berdarah biru—apalagi orang Amerika. Dan sekarang Fred berniat melenceng dari tradisi? Jim saja terkejut apalagi kakeknya. Ini sangat menarik.

"Sudah berapa lama kalian berpacaran?"

"Enam bulan."

"Enam bulan dan aku baru dengar?!" protes Jim namun tetap girang. Dia benar-benar bangga kakaknya bisa melanggar aturan.

"Kau sibuk menjadi tentara, dan aku tidak mau menyampaikan kabar ini kalau aku belum benar-benar yakin."

"Jadi kau serius dengan—siapa namanya?"

"Beau. Namanya Beau."

Jim menyeringai tipis mendengar nama unik gadis yang membuat kakaknya jatuh hati. "Kau sungguh serius dengannya?"

"Jim, aku mau menikahi gadis ini."

The Royal RogueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang