Sepuluh Tahun Kemudian

1.2K 38 20
                                    

Juni, 2022

Untuk angan yang masih terbayang,
dan kenangan yang tak pernah hilang.

-----------------------------------------

Baru sekitar lima menit aku duduk termenung, hanyut dalam lamunan, memegang termos teh yang hampir habis.

Tiba-tiba sebuah suara memecah lamunanku, "Kursi ini kosong?" tanya suara itu.

Stasiun Tugu Yogyakarta tidak terlihat seperti sedekade silam, tapi selama sepersekian detik aku merasa hidup dalam tayangan ulang yang direkam lambat. Kursi metal tak nyaman, tepukan di pundak, dan kata-kata yang persis kudengar sepuluh tahun yang lalu.

Aku pun hanya bisa menjawab, "Hah? I-iya," sambil menengok ke arah yang punya suara.

Parasnya tidak berubah—alis tebal, rahang tegas, dan mata bulat dengan sorot tajam. Ia tersenyum dan segera mendudukkan diri di sebelahku, kemudian membentangkan tangannya. Aku memeluknya dari samping dan segera melepaskan diri.

"Apa kabar?" tanyaku akhirnya.

Ia tersenyum, lebih lebar, sambil mengangguk, "Baik. Kamu gimana?" meski bernada ceria, suaranya tetap berat.

"Baik juga. Udah lama banget ya, seneng bisa ketemu lagi." jawabku canggung. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa.

Ia hanya menatapku lekat, mengangguk lagi sambil tertawa kecil, "Masih nggak habis pikir, sudah delapan tahun ya, kita nggak ketemu."

Entah karena senyuman manisnya atau tatapan matanya yang begitu dalam, aku jadi tersipu. "Udah ah, yuk cari tempat aja biar bisa ngobrol enak." Aku berdiri untuk memecah kekikukan diriku, ia mengikuti dan berjalan ke luar stasiun.

Sepuluh tahun silam, aku tidak sengaja bertemu Ben di Stasiun Tugu. Aku, yang selalu sampai stasiun jauh lebih awal dari jadwal keberangkatan, duduk melamun di kursi peron. Ben datang beberapa menit setelahku, kebetulan semua kursi tunggu telah terisi, sehingga ia mau tidak mau duduk di sebelahku. Setelah kereta datang, kami tidak sengaja duduk bersebelahan lagi. Saat itu, aku hendak pulang ke Jakarta setelah liburan, sementara Ben yang memang asli Jogja, sedang menempuh perjalanan dinas menuju Bandung.

Dalam perjalanan 8 jam tersebut, aku dan Ben tidak berhenti bercakap. Dari obrolan remeh hingga filosofis, semua mengalir begitu saja, terasa amat natural dan nyaman. Satu tahun berselang, kami resmi berhubungan. Satu tahun setelahnya, kami resmi bubar. Jarak Jakarta dan Yogyakarta, dan pekerjaan Ben sebagai seorang coorporate lawyer yang kian sibuk menjadi penghalang hubungan kami.

Namun pertemuan kali ini bukan tidak disengaja. Meski hubungan kami cukup baik setelah berpisah delapan tahun yang lalu, kami tidak pernah bertemu lagi. Menurut Ben, tidak perlu bertemu kalau tidak ada kabar penting. Kabar penting yang Ben maksud adalah kabar pernikahan. Selama delapan tahun ke belakang, kami hanya berkontak lewat pesan singkat; ketika lebaran atau ketika ulang tahun, itu pun sebatas bertukar satu atau dua kalimat penuh kesantunan. Jadi, kami bertemu kali ini karena memang benar aku punya kabar penting.

Sampai di gerbang stasiun, aku berhenti. Teriknya matahari Jogja dan lelah perjalanan membuatku tak bisa berpikir.

"Kita kemana? Dan naik apa?" aku bertanya.

Ben tersenyum simpul, "Kamu ngajak keluar, tapi nggak tahu mau kemana?"

"Yang warga sini, kan kamu. Ya, kamu dong yang nentuin." sahutku, bernada sedikit lebih ketus dari yang aku harapkan.

"Oke, sepertinya kamu butuh sarapan." Ben kemudian berjalan ke parkiran motor, menginstruksikanku untuk mengikutinya. Motornya masih sama. Honda CL360 peninggalan ayahnya yang telah dipoles ulang. Setelah ia siap di atas motor, aku memegang pundaknya untuk menyeimbangkan badan naik ke jok belakang motor. Rutin yang sudah kulakukan puluhan kali, bertahun-tahun silam. Tapi kali ini, semua terasa berbeda.

Kepingan NarasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang